ODHA dan Hak untuk Hidup: Langkanya ARV di Masa Pandemi COVID-19
Namanya Tiurma Suci Marbun Banjarnahor. Ia akrab dipanggil kakTiur. Lahir 25 Mei 1982 di desa Sihikkit, Onang Ganjang. Ia seorang ODHA (Orang Dengan HIV/ AIDS). Ia selalu minum ARV (Anti Retro Viral, obat untuk HIV) sesuai dosis. Tidak pernah lupa, tepat waktu, dan tidak pernah putus. ARV lebih dari sekadar obat bagi kak Tiur. ARV adalah penyambung hidup baginya. Namun sangat disayangkan, ketersediaan ARV ditengah pandemi saat ini bagai mencari air di gurun Sahara.
Komsoskam.com – Kepatuhan merupakan faktor utama dalam mencapai keberhasilan pengobatan infeksi virus HIV. Kepatuhan dalam meminum ARV merupakan faktor terpenting dalam menekan jumlah virus HIV dalam tubuh manusia. Penekanan jumlah virus yang lama dan stabil bertujuan agar sistem imun tubuh tetap terjaga tinggi. Dengan demikian, orang yang terinfeksi virus HIV akan mendapatkan kualitas hidup yang baik dan juga mencegah terjadinya kesakitan dan kematian. Namun sayang, disaat pandemi COVID-19 ini kepatuhan itu berbenturan dengan kondisi saat ini. Kenyataan yang menyakitkan bahwa stok ARV di fasilitas kesehatan ternyata kosong.
Kak Tiur dengan suara seraknya bercerita pengalamannya ketika hendak mengambil ARV di salah satu Rumah Sakit di kota Medan. Ia tercengang bahwa obat yang sungguh penting bagi para ODHA (Orang Dengan HIV/ AIDS) tersebut kosong. Ia hanya bisa marah sambil menahan rasa kecewa.
“Obat ARV kosong di rumah sakit itu. Jadinya saya marah-marah. Padahal obat itu penting bagi kami ODHA. Seharusnya pemerintah bisa membuat kebijakan jangan sampai obat itu kosong,” keluhnya.
Begitulah kenyataan di lapangan menunjukkan keterbatasan stok obat ARV yang membantu orang dengan HIV bertahan hidup telah menjadi permasalahan. Munculnya pandemi semakin memperburuk keadaan.
“Saya sering mendapat telepon dari teman-teman ODHA di daerah bahwa mereka juga tidak bisa mendapatkan ARV. Parahnya lagi ada kejadian ARV sempat hendak mau diganti dengan obat lain. Padahal jika diganti maka akan muncul efek bila tidak sesuai dengan tubuh orang yang meminumnya,”tutur kak Tiur.
Sungguh keadaan yang menyedihkan. Seperti jatuh tertimpa tangga. Begitulah ODHA di masa pandemi. Bersyukur masih ada pihak yang mengawasi hal ini,yakni Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia AIDS Coalition (IAC). IAC sudah menyurati Kemenkes agar peduli pada ODHA. Namun hingga saat ini belum ada tanggapan balik.
ARV Langka di Kota Medan
Menurut data jumlah kumulatif ODHA on ARV(baca: ODHA yang mengonsumsi ARV) di kota Medan sampai dengan Desember 2019 berjumlah 4.699 orang (Sumber: Laporan situasi dan perkembangan HIV/AIDS dan PIMS (Penyakit Infeksi Menular Seksual) di Indonesia, Januari – Desember 2019).Ini menunjukkan, bahwa penyediaan ARV untuk kebutuhan para ODHA harus menjadi perhatian serius kita.
Mengenai kelangkaan ARV di kota Medan kak Tiur mengatakan permasalahan kekosongan obat ARV ini sering terjadi lantaran layanan tidak tepat waktu dalam mengirimkan laporan. Akibatnya, stok obat menjadi terdampak, sehingga terjadi kekosongan obat di layanan.
Frans Judea Samosir, S.Psi., M.P.H seorang pemerhati persoalan HIV dan Narkoba di kota Medan mengatakan perlu adanya kerja sama dengan komunitas atau pendamping ODHA.
“Perlu sekali dukungan kita untuk ODHA ya.. Salah satunya peran komunitas atau LSM diperlukan untuk mengawasi ketersediaan ARV”, ucap Frans.
Kebijakan Kemenkes tentang Pengadaan ARV di Masa Pandemi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam protokol pelayanan layanan HIV/ AIDS selama pandemi COVID-19 menyatakan bahwa pemberian obat ARV untuk masa dua – tiga bulan dapat dipertimbangkan bagi ODHA yang stabil secara selektif dan hanya dilakukan jika persediaan ARV mencukupi. Selanjutnya, pemberitan multi-bulan ARV (dua – tiga bulan) diprioritaskan bagi ODHA yang tinggal di wilayah episentrum COVID-19.
Mengutip dari laman WHO (https://www.who.int/), ODHA yang mengetahui status HIV mereka disarankan untuk mengambil tindakan pencegahan yang sama seperti populasi umum (misalnya memakai masker, sering mencuci tangan, etika batuk, hindari menyentuh wajah, menjaga jarak, mencari perawatan medis jika bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan COVID-19 dan tindakan lain sesuai rekomendasi pemerintah). ODHA yang menggunakan obat-obatan ARV harus memastikan bahwa mereka memiliki paling sedikit 30 hari stok ARV jika suplai tiga sampai enam bulan tidak tersedia dan memastikan bahwa status vaksinasi mereka diperbaharui (vaksin influensa dan pneumokokus).
Simplifikasi rejimen ARV, pemberian obat ARV lebih dari satu bulan (tiga-enam bulan) untuk pasien dewasa, anak-anak, remaja dan ibu hamil serta ibu menyusui termasuk populasi kunci (pengguna narkotika jarum suntik, pekerja seks komersial, dan penghuni rutan dan mereka yang tinggal di lingkungan tertutup) memberikan manfaat untuk keberlangsungan logistik dan akan mengurangi frekuensi kunjungan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penularan selama wabah berlangsung.
ODHA dan Hak Asasi Manusia
Keadaan langkanya obat ARV bagi ODHA khususnya di kota Medan adalah tanggung jawab negara dalam memastikan hak asasi manusia para ODHA untuk mendapatkan pengobatan yang layak terpenuhi, termasuk di masa pandemik ini. Para ODHA harus mendapatkan akses yang sama untuk pelayanan kesehatan seperti warga negara lainnya untuk memastikan layanan terkait HIV berlanjut tanpa gangguan.
“Satu hal yang perlu ditekankan bahwa pemerintah harus memastikan keseimbangan yang tepat antara melindungi kesehatan, mencegah gangguan ekonomi dan sosial, dan menghormati hak asasi manusia,” ujar Frans.
Sulitnya mendapatkan fasilitas kesehatan contohnya ARV bagi ODHA adalah bentuk diskriminasi pada pelayanan kesehatan kita. Ini menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam kaitan tanggung jawab negara untuk memberikan pelayanan publik yang sama bagi semua warganya. Padahal sudah ada beberapa aturan yang berupaya menjamin ODHA untuk terpenuhinya hak-hak mereka.
Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia disebutkan bahwa setiap kebijakan, program, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat dari ODHA dan keluarganya.
Indonesia menjamin pemenuhan Hak Atas Kesehatan melalui Undang-Undang Kesehatan no. 36 tahun 2009. UU ini menjamin kesehatan masyarakat Indonesia dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang kompeten dan berasaskan nondiskriminasi.
“ODHA sudah cukup terpuruk dengan keadaannya. Maka dari itu penderita dapat diberikan dukungan dalam pengobatan secara fisiologis maupun psikologis. Agar penderita tetap semangat untuk tetap menjalani pengobatannya,” tutur Frans.
Membicarakan hak asasi ODHA adalah juga membicarakan mengenai advokasi untuk mereka. Posisi ODHA yang lemah karena sering mengalami stigmatisasi, menjadi salah satu alasan sehingga diperlukan advokasi baik oleh ODHA sendiri maupun organisasi masyarakat sipil.
“Saya selalu mengajak teman-teman ODHA lainnya untuk bersuara. Jika ada hal yang perlu dibutuhkan, saya selalu mendorong mereka untuk kritis. Jika bukan ODHA sendiri yang peduli, siapa lagi. ODHA yang tahu obat apa yang dibutuhkannya, maka ia harus aktif mendapatkan obat ARV yang membantunya meneruskan hidup,” pungkas kak Tiur.
Sry Lestari Samosir
Penulis merupakan peserta terpilih dari “Program Jurnalisme Pelayanan Publik di Masa COVID-19” oleh GIZ Jerman dan KemenPAN RB.