MENGASIHI SESAMA

Dian, bangga dengan Darma, suaminya. Ia tersanjung atas kasih yang full dan tulus dari Darma. Mereka tetap memegang teguh perjanjian sebelum menikah. Makan malam bersama di rumah. Darma, mengharapkan hal yang sama dari istrinya. Cinta yang full dan tulus. Tulisan indah dari tinta emas, terajut dalam bingkai kenangan foto pernikahan mereka, yang terpajang di ruang keluarga “FULL LOVE, LOVE FULL” seakan menjadi saksi: Truly Love Darma dan Dian.
Saudaraku! Kasih selalu berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan. Agama-agama, samawi dan agama-agama asli selalu mengajarkan hal itu. Kasih, terjadi dalam dan melalui interaksi antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan. Interaksi yang mendatangkan hidup rukun-damai, indah, saling menghargai, mendukung, dan melindungi satu dengan yang lain. Hidup menjadi bermakna. Dalam iman, kita percaya bahwa: ALLAH ADALAH KASIH. Allah yang menciptakan MANUSIA, DAN MEMBAHARUI MANUSIA ITU DENGAN KASIHNYA AGAR SEMAKIN HARI MANUSIA SEMAKIN MENJADI MANUSIAWI KARENA RELASI DAN INTERAKSI DENGAN SESAMANYA, ALAM SEMESTA DAN ALLAH SEBAGAI PENCITA.
Bagaimana mengukur kasih? Sebagaimana kita mengasihi diri sendiri. Setiap kita mencintai diri maksimal, alias tidak setengah-setengah. Kita selalu menginginkan agar yang terbaiklah, terjadi atas diri. “Kasihilah sesamamu, manusia seperti dirimu sendiri”. UKURAN KASIH KITA TERHADAP SESAMA YA CINTA KEPADA DIRI ITU. Dengan cara ini kita hendak mengatakan BAHWA MANUSIA (AKU DAN DIA AKU DAN MEREKA) MERUPAKAN CIPTAAN YANG TERBAIK. LIMPAHAN KASIH TUHAN YANG FULL, TIDAK SETENGAH-SETENGAH.
Agar semua mendapatkan kasih Tuhan dengan porsi yang sama, maka perlu ada PRIORITAS KASIH dalam sebuah kebersamaan. Realitas bahwa kadang bahkan sering kita berada dalam ‘kesulitan’. Kita mengalaminya dan akan mengalaminya. Kita pernah merasa TAK BERDAYA dan dalam perjalanan ke depan sebagai manusia kita bisa merasakan hal itu lagi. Anda dan saya, sebagaimana orang-orang Israel, tertantang untuk SALING MENGASIHI KARENA TUHAN TELAH LEBIH DULU MENGASIHI KITA, “Orang asing janganlah kau tindas dan kau tekan, sebab kamupun dahulu adalah orang asing ditanah Mesir. Seorang janda atau anak yatim janganlah kamu tindas.” Rasul Paulus, kepada umat di Tesalonika, mengatakan bahwa: tantangan dan kesulitan hidup, itu tidak berarti KASIH TUHAN terhadap manusia menjadi kurang atau kulitasnya turun. Tidak! Justru hal itu menunjukan bahwa apapun yang terjadi, tidak mengurangi atau membatalkan kasih Tuhan terhadap umat. Iman kita kepada-Nya justru menjadi makin tangguh, berkhat ‘batu ujian’ itu. ”Dalam penindasan yang berat kamu telah menerima Firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya.”
Saudaraku dalam kehidupan bersama, di keluarga, komunitas, kelompok-kelompok sosial lainnya, pasti selalu saja ada aturan agar kehidupan bersama berjalan baik dan tertib. Aturan-aturan yang demikian bukan untuk MENGIKAT KEBEBASAN kita. Justru MEMBUAT KEBEBASAN ITU MENJADI BERMAKNA. KEBEBASAN YANG BERTANGGUNG JAWAB. Kita menghiraukan, mengingatkan, mendukung sesama secara khusus yang berada bersama, agar hidup sesuai tatanan yang ada, tidak liar dan semau gue. Anda dan saya tentu tidak suka dihina oleh orang lain, yakinlah orang lain juga tidak akan suka kalau dihina, oleh anda dan saya. Anda dan saya senang kalau dihargai oleh teman-teman dan colega kita, pasti mereka juga suka dihargai oleh kita, Tuhan sudah dahulu mencitai kita, mari kita mewartakan pengalaman cinta Tuhan kepada orang lain dengan mencintai dan menghargai mereka, pertama-tama kepada orang yang dekat dengan kita. “Pada kedua hukum inilah, tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi.” (Hari Minggu Biasa Yang ke 30 – 2020)