P. DARTO DANIEL IVAN SIMAMORA OFM.Cap. “BERMISI DI NEGERI MUTIARA HITAM”
Belum genap dua tahun menjalani imamat suci setelah menerima tahbisan, P. Darto Daniel Ivan Simamora OFMCap, yang akrab disapa P. Ivan, telah ditugaskan menjadi misionaris. Sejak frater, menjadi misionaris merupakan cita-cita yang tak pernah terbersit dalam pikiran pastor yang lahir pada 23 Oktober 1978 ini. Tetapi Tuhan berkata lain. Maka, ketika Kapitel Ordo Kapusin Propinsi Medan pada Februari 2012 lalu telah memutuskan bahwa Ordo Kapusin Medan menerima permintaan Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, uskup Jayapura untuk membuka karya misi di Keuskupan Jayapura, pastor Ivan menjadi salah seorang yang akan diutus untuk bermisi ke Wamena- Papua.
Masih sangat segar dalam benak Pastor Ivan bagaimana kisahnya pertama kali diminta ordo untuk bermisi ke bumi Cenderawasih itu. Tanggal 7 April 2012, tidak seperti biasanya Pastor Emanuel Sembiring OFM Cap yang kala itu menjabat sebagai Minister Propinsial Kapusin Medan, datang pagi-pagi buta ke Pastoran Saribudolok. Usai misa pagi, Pastor Emanuel Sembiring langsung menemui Pastor Ivan, untuk memberitahukan bahwa ordo mengutusnya untuk bermisi ke Papua. Walau dengan hati yang berat, pastor penyuka lemang ini menerimanya dengan penuh ketaatan karena ia juga mengingat bahwa salah satu spritualitas kapusin adalah siap diutus ke mana saja. Ia menjadi orang pertama yang diutus sebagai misionaris pertama ke tanah Papua bersama dua orang pastor lainnya, yakni P. Marianus Simanullang OFMCap dan P. Cyrus Simalango OFMCap.
Ketakutan tidak Menghentikan Langkah
Mendengar kata Papua atau yang sering dikenal sebagai negeri “mutiara hitam”, akan terbersit dalam benak kita tentang keindahan dan kekayaan sumber daya alam yang kaya raya. Bahkan, kekayaan alam Papua menjadi satu kebanggaan bagi bangsa Indonesia di mata dunia. Namun, antara harapan dan realita sungguh berbeda. Sampai sekarang Papua masih saja dalam kondisi yang memprihatinkan. Kemakmuran dan kesejahteraan belum dapat dicapai. Walau mempunyai sumber daya alam yang melimpah, tetapi angka kemiskinan masih tinggi. Situasi ini mendorong Gereja Katolik untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan sentuhan kasih.
Melalui perutusan yang dipercayakan oleh Ordo Kapusin Medan kepada P. Ivan, Gereja ingin mewartakan kasih Allah ke pelosok tanah negeri mutiara hitam. Bagi Pastor Ivan, tanah Papua merupakan daerah yang sangat asing karena sama sekali belum pernah dikunjunginya. Situasi ini sering membuat pastor yang hobby bermain catur ini merasa ragu dan bahkan takut untuk melangkahkan tugas misi. Ia merasa cemas karena dihantui oleh perasaan yang penuh tanya, apakah akan sanggup beradaptasi dengan daerah baru yang terkenal sangat terpencil dan tertinggal. Memang benar, daerah tempatnya berkarya sungguh masih jauh dari sentuhan dunia modern, tanpa jaringan telekomunikasi, pasokan air bersih yang minim, transportasi yang kurang dan belum dialiri listrik. Namun, bukan P. Ivan namanya jika kalah sebelum bertanding. Melalui optimisme yang kuat dan berharap akan mendapat bimbingan dari Tuhan, ia mampu melawan keraguan dan ketakutannya. Ketakutan dan keraguannya tidak menghentikan langkah misinya.
Beradaptasi dengan Budaya
Perasaan kaget merupakan kesan pertama yang muncul dari diri pastor Ivan ketika menginjakkan kaki dan berhadapan langsung dengan masyarakat asli di daerah misi, tepatnya paroki Musatfak. Paroki Musatfak sebelumnya digembalakan oleh para pastor OFM, namun diserahkan kepada OFMCap sejak tahun 2012. Paroki itu sudah dibuka sejak tahun 1959 lalu. Paroki ini terletak di desa Temai, Distrik Musatfak, yang terletak di lembah Baliem, di kaki pegunungan Jaya Wijaya. Ketinggian daerah ini berada sekitar 1600 dpl sehingga cuaca cukup dingin. Tanah di daerah lembah ini sangat subur, sayang jenis tanaman budidaya amat sedikit.
Para warga yang hidup di daerah Musatfak, termasuk umat katolik, hidup dalam balutan tradisi yang kental. Setiap aspek kehidupan mereka sangatlah tradisional baik sandang, pangan maupun papan. Para umat tinggal di rumah tradisional yang disebut honai, mengenakan pakaian tradisional yang dinamai holim, yakni koteka bagi laki-laki dan Sali-Yokal bagi perempuan. Makanan mereka pun masih sederhana, yakni sayur mayur, umbi-umbian, ikan dan daging peliharaan ataupun hasil buruan. Mereka memakai benda-benda tajam berbentuk panah dan tombak. Kesan pertama melihat benda-benda tajam itu tentu menimbulkan kengerian. Namun, tak bisa menilai segala sesuatu hanya dari luar. Walau kesan pertama menakutkan, namun ternyata masyarakatnya yang dijumpai oleh pastor Ivan, sangat ramah dan sungguh antusias menyambutnya sebagai gembala mereka. Maka, langkah awal yang dilakukan oleh pastor Ivan dalam memulai misinya adalah beradaptasi dengan budaya setempat agar ia bisa diterima sebagai gembala yang memimpin mereka. Dan memang, langkah awal ini sukses dilakukan oleh pastor Ivan. Ia sangat dicintai oleh umat yang digembalakannya.
Berjalan Kaki
Transportasi di Paroki yang digembalakan oleh pastor Ivan masih sangat minim sehingga orang yang bepergian mesti berjalan kaki. Setiap warga dan termasuk pastor Ivan harus berjalan kaki ketika berkunjung dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bahkan, ketika kerasulan mengunjungi umat, pastor Ivan harus berjalan selama kurang lebih empat jam dan jalur yang dilalui pun amat liar yakni hutan gambut, bukit berbatu, sungai deras, jalanan curam dan rawan ancaman warga.
Akses menuju gereja-gereja stasi juga harus ditempuh dengan berjalan kaki, naik sampan melewati sungai deras atau pun dengan pesawat perintis karena medan pelayanan yang sangat sulit. Masyarakat di musaffak mencapai 4300 jiwa dan semuanya adalah Katolik. Karena itu Pastor Ivan memiliki tanggung jawab dan tugas yang sungguh besar bagi pemeliharaan kehidupan rohani maupun jasmani umatnya.
Situasi sulit ini mendorong pastor Ivan mengarahkan warga dan bekerjasama dengan pemerintah untuk membuka akses jalan yang akan menghubungkan desa yang satu dengan desa yang lain. Melalui usaha yang ekstra, pastor Ivan merintis pembukaan jalan agar bisa dinikmati warga. Bekerja sama dengan pemerintah dan Ordo Kapusin Medan pastor Ivan menyewa sebuah alat berat untuk membantu proyek pembukaan jalan. Operator alat berat ini tak lain adalah pastor Ivan sendiri. Ia rela belajar mengoperasikan alat berat yang belum pernah dioperasikan sebelumnya agar proyek jalan itu selesai. Dengan demikian masyarakat semakin terbantu untuk memasarkan hasil bumi mereka dan dengan itu pula perekonomian masyarakat semakin meningkat dan sejahtera. Dengan gigih pastor Ivan memecah tumpukan batu padas dan meratakan jalanan agar bisa dilalui kendaraan. Dengan membuka jalan ini, ia juga ingin membuka jalan bagi pewartaan di tengah masyarakat yang ia layani agar mereka semakin mengenal kasih Kristus dalam hidup mereka.
Menjadi “Bapa Bidan”
Jam dinding masih menunjukkan pukul 02.00 dinihari saat ketukan pintu itu terdengar berkali-kali. Suhu udara mencapai 10°C mencoba menerobos masuk hingga ke sumsum tulang paling dalam. Suara ketukan yang cukup keras sering kali membuat Pastor Darto Daniel Ivan, yang kerap dipanggil P. Ivan terjaga dari mimpinya. Ia segera beranjak dari pastoran dengan membawa sebuah senter dan tak lupa juga memakai jaket tebal seperti yang sering dipakai oleh orang-orang eropa ketika sedang menghadapi musim salju. Dari katub mulutnya tampak uap udara mengepul tipis. Walau terganggu dari tidurnya, P. Ivan tetap memberi pertolongan pertama sesuai dengan kemampuannya.
“Bapa Pater, Bapa Pater, Ibu mau kasih bongkar”, ucap seorang bapak tengah menunggu di beranda pastoran yang berbentuk rumah panggung sederhana. Bapak tersebut memberi tahu bahwa istrinya mau melahirkan. Dengan segera Pastor Ivan berlari menuju ke rumah singgah wanita hamil yang ia dirikan persis di samping pastoran yang dipimpinnya. Rumah itu hanya diterangi listrik kecil yang bertenaga surya. Dengan peralatan yang ada Pastor Ivan membantu proses persalinan. Berbagai usaha dikerahkannya untuk memberi pertolongan pertama.
Mendirikan Rumah Singgah dan Klinik Sederhana
Tingginya angka kematian ibu dan anak di daerah Papua, tepatnya di Paroki St. Fransiskus Asisi- Musasatfak, membuat hati pastor Ivan pilu dan iba. Maka, sebagai seorang gembala yang berbau Kapusin, ia tidak hanya tinggal dalam rasa iba dan simpati, tetapi ia menunjukkan bukti nyata melalui perbuatan kecil dan sederhana, yakni memberikan keselamatan jiwa bagi umat yang digembalakannya. Karena itu, Pastor Ivan berinisiatif mendirikan sebuah rumah singgah bagi para wanita hamil atau ibu yang hendak melahirkan. Ia juga mendirikan klinik sederhana yang dikelola oleh paroki St. Fransiskus Asisi Temia, distrik Musatfak, tempat ia berkarya sebagai Pastor Paroki. Para Ibu hamil yang tinggal di rumah singgah ini umumnya berasal dari pedalaman yang jauh dari sentuhan akses pelayanan kesehatan. “Selama ini banyak ibu dan bayi yang meninggal saat proses melahirkan karena minimnya tenaga medis dan sarana kesehatan. Satu-satunya yang membantu ibu melahirkan hanyalah dukun beranak yang sering kurang profesional”, ungkapnya dengan penuh ketulasan.
Berbagai usaha dilakukan oleh P. Ivan untuk mendirikan rumah singgah dan klinik. Dan setelah mendirikan sarana sederhani itu, ia mulai menjalin kerja sama dengan beberapa tenaga medis untuk menjadi koleganya. Maka ketika P. Ivan tidak merasa sanggup untuk menolong ibu yang akan melahirkan, ia kerap meminta bantuan kepada tenaga medis dari berbagai puskesmas yang jarak tempuhnya, tidak seperti yang kita bayangkan. Tetapi tenaga medis tidak selalu ada. Maka, para ibu yang akan melahirkan diarahkan untuk tinggal beberapa waktu di rumah singgah, sampai ada tenaga medis yang akan menolong. Mereka diberikan asupan giji yang cukup agar tetap kuat untuk menjalani proses persalinan. Tak hanya dengan para tenaga medis, P. Ivan juga menjalin relasi dengan pemerintah demi mendapatkan obat dan sarana-sarana untuk kesehatan.
Awalnya pastor Ivan ragu terlibat dalam proses persalinan melihat posisinya sebagai seorang Pastor yang sama sekali tak melek dengan hal-hal yang berbau medis. Namun, ia memberanikan diri demi menyelamatkan nyawa manusia. Sebagai seorang imam di tempat terpencil dan serba terbatas ia dituntut untuk serba tahu. Pastor penyuka kopi pahit ini belajar membantu persalinan secara otodidak dari buku-buku, internet dan dari para tenaga medis tatkala berkunjung ke kota kecamatan. Cinta kepada umat yang digembalakannya menggerakkan hatinya untuk berbuat lebih banyak dan berani keluar dari zona nyaman. Berkat kegigihan dan keberaniannya, ia mampu memberi senyuman baru kepada banyak ibu karena telah membantu melahirkan anaknya.
Memeluk yang Sakit
Angka kematian di daerah Paroki yang digembalakan oleh P. Ivan cukup tinggi. Tidak hanya terjadi pada ibu dan bayi, tetapi juga pada masyarakat secara umum. Banyak orang menderita sakit seperti, HIV/AIDS, asma, sinusitis, borok, ayan dan lain-lain. Pastor Ivan mencoba membuat analisis sosial sederhana tentang penyebab kematian tersebut. Dari analisis sederhana yang dibuatnya, P. Ivan sampai pada kesimpulan bahwa penyebab utama kematian adalah kurangnya asupan giji dan imun tubuh sehingga membuat masyakarak gampang sakit.
Situasi ini mendorong pastor ivan untuk meghimpun para perawat dari berbagai puskesmas untuk bekerja sama memerangi tingginya penyebab kematian. Pastor yang memang hobi blusukan ke kampung-kampung ini mempelajari ilmu medis secara otodidak agar dapat menjadi “bidan dan dokter” bagi yang sakit. Setidaknya ia dapat memberi pertolongan pertama bagi pasien sebelum diserahkan ke pihak puskesmas. Metode pengobatan awal Pastor Ivan adalah dengan pijat reflexi. Lama-kelamaan ia membuka klinik untuk menyediakan pasokan obat-obatan. Berkat usaha dan kepeduliannya, ia pernah mendapat penghargaan dari USAID, sebuah lembaga pembangunan internasional dari Amerika Serikat atas jasanya bersama tim peduli kesehatan masyarakat (KINERJA) mendirikan Forum Peduli Kesehatan Kabupaten Jaya Wijaya. Program itu diketuai secara langsung oleh Pastor Ivan dan didukung oleh pemerintah Kabupaten Jaya Wijaya. Selain itu, Pastor Ivan juga pernah menerima penghargaan dari pemerintah Kabupaten Jaya Wijaya dan WVI (World Vision Indonesia) sebagai tokoh inspiratif atas jasanya membangun kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Salah satunya wujudnya adalah menganimasi masyarakat membuat apotik hidup.
Memanusiakan Manusia
Umumnya anak-anak di paroki yang dilayani oleh pastor Ivan memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan sekolah. Namun fasilitas dan tenaga pendidik sangat kurang. Karena itu pastor Ivan menghadirkan diri sebagai guru untuk mengajar anak-anak sekolah sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan belajar mengajar masih berlangsung di honai, rumah tradisional masyarakat Papua.
Pastor Ivan menampung anak-anak yang punya kegigihan dalam belajar, khususnya anak-anak yatim piatu. Gembala kapusin ini mendirikan kamar-kamar baru untuk anak-anak tersebut. Kamar itu ditempel di dinding kiri dan kanan pastoran yang memang berdinding kayu. Pastoran sangat sederhana dan kecil, hanya berukuran 6×6 m saja. Rata-rata ada enam orang anak yang ditampung di pastoran. Selebihnya anak-anak itu diserahkan ke asrama milik suster yang berada di kabupaten. Ada pula anak yatim yang dikirim ke Panti Asuhan di Jaya Pura. Sebagian lagi ditempatkan di rumah katekis di paroki. Yang paling mumpuni akan dikirim ke luar Papua, seperti ke Manado, Sumatera Utara, Flores dan Yogyakarta. Pastor Ivan bersama Paroki yang digembalakannya menjalin kerja sama dengan tarekat suster dan mencari akses dimana anak-anaknya bisa diasuh. Sistem asuh seperti ini telah dimulai sejak tahun 2013. Sudah banyak anak yang awalnya terlantar dan tidak mendapat pendidikan memperoleh pendidikan yang layak. Biaya mereka umumnya disokong oleh Gotaus, sumbangan temporal, donatur tidak menetap, paroki dan hasil dari kelompok tani keluarga anak.
Berkubang demi Umat
Selain menyokong kehidupan rohani umat, Pastor Ivan Simamora juga turut membangun kehidupan sosial ekonomi umat. Ia ingin agar kehidupan umatnya sejahtera secara ekonomi. Maka salah satu karya pemberdayaan umat adalah dengan membentuk kelompok tani dan kelompok ternak. Kelompok kategorial tersebut dibentuk untuk menciptakan ketahanan pangan. Mereka diajari membudidayakan tanaman holtikultura, termasuk mengajari mereka menanam padi di sawah. Sedangkan kelompok ternak bertugas memelihara Babi dan ikan. Hasil ternak dan kebun digunakan juga untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Kegiatan ini didukung penuh oleh PSE keuskupan dengan menyuntikkan dana bagi mereka.
Pastor yang lahir tiga puluh delapan tahun yang lalu ini benar-benar mengemban tugasnya sebagai gembala. Ia adalah gembala yang berbau domba, rela berkubang demi umat yang digembalakan dan rela bercebur menyelamatkan domba-dombanya yang masuk dalam lumpur masalah. Karena itu umat sangat mencintai gembalanya dan selalu merindukan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Benarlah ia meniru teladan Sang Gembala utama sebagaimana motto hidupnya “Tuhanlah Gembalaku, takkan kekurangan aku”! Fr. Indra Tamba OFM.Cap.