Koinonia Virtual di Masa Pandemi: Peduli terhadap Channel-channel Katolik
Kita adalah Gereja. Gereja adalah kita: himpunan orang-orang yang digerakkan untuk berkumpul oleh Firman Allah. Kita bersama berhimpun membentuk Umat Allah dan menjadi Tubuh Kristus dengan menyambut santapan surgawi dalam Ekaristi (bdk. KGK 777).
Di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini, dunia dan segala elemen di dalamnya sangat menderita, termasuk Gereja. Saya akan menyoroti secara khusus bagaimana, fungsi koinonia (persekutuan), satu dari 5 tugas (Pancatugas) Gereja yang sangat terimbas oleh covid-19.
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus pernapasan yang dapat menyebabkan penyakit ringan hingga sedang, mulai dari flu biasa hingga sindrom pernapasan seperti MERS (Middle East Respiratory Syndrome) dan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Pada Desember 2019 yang lalu, virus corona baru teridentifikasi di Wuhan, China. Virus tersebut dikenal sebagai sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit yang ditimbulkannya disebut penyakit coronavirus 2019 (COVID-19). Pada Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah Covid-19 sebagai pandemi.
Virus Covid-19 menyebar terutama melalui tetesan air liur atau cairan dari hidung saat orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus Covid-19 akan mengalami penyakit pernapasan ringan hingga sedang dan sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus. Orang tua, dan mereka yang memiliki masalah medis seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, dan kanker lebih mudah menjadi tempat penularan penyakit ini. Cara terbaik untuk mencegah dan memperlambat penularan adalah dengan mengetahui dengan baik tentang virus Covid-19 dan penyebarannya. Cara untuk mengetahui apakah anda terjangkit atau tidak Covid-19 bisa dilakukan melalui Rapid Test, Swab Test – PCR.
Koinonia di tengah pandemi
Sebagaimana disebut tadi, Koinonia adalah satu dari Pancatugas Gereja. Pancatugas Gereja itu menyangkut: aspek Liturgia (ambil bagian dan terlibat dalam menghidupkan peribadatan yang menguduskan), Kerygma (mewartakan Kabar Gembira), Koinonia (berhimpun dan membangun persekutuan), Diakonia (memajukan karya cinta kasih/pelayanan) dan Martyria (panggilan untuk bersaksi sebagai murid-murid Tuhan Yesus Kristus).
Satu hal yang sangat membedakan Teologi Katolik dari Gerakan Reformasi (Lutheran) adalah bahwa Gereja Katolik menekankan keselamatan yang dialami sebagai satu kebersamaan: satu tubuh dan satu kepala dengan Paus sebagai pemimpin tertinggi. Dasar Persekutuan ini adalah kesatuan sebagai anak-anak Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh KudusNya.
Kata “Koinonia” sendiri berasal dari bahasa Yunani (“koin”) yang berarti mengambil bagian. Dalam Kis 2:41-42 digambarkan bagaimana persekutuan umat beriman yang pertama yang berkumpul sehati sejiwa dan memecahkan roti sebagai ciri khas komunitas yang baru ini. Oleh karena itu Konsili Vatikan II membarui pemahaman teologis dari Gereja bentuk piramide hirarkis (institusi) menjadi suatu persekutuan ataupun paguyuban umat beriman (Umat Allah). Gereja tampak sebagai Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Lumen Gentium art. 4), yang berkat sakramen Baptis setiap orang dinisiasikan menjadi anggota Tubuh Kristus dan membentuk sebuah paguyuban yang kita sebut Gereja. Disebut juga bahwa setiap umat beriman menjalankan tri-tugas Kristus di dunia ini sebagai imam, nabi dan raja dari Kristus sendiri (art. 31).
Oleh karena itu, ketika kita berkumpul dan berdoa kita sedang menampakkan Gereja yang hidup (bdk. Mat 18:20). Dan dimana pun kita berkumpul, dalam cita rasa iman kita harus selalu ingat bahwa kita bersama-sama adalah bagian dari Gereja Universal dimana Paus sebagai pemimpin tertinggi.
Koinonia virtual
Dalam situasi covid-19 saat ini, Gereja sebagai lembaga yang terdiri dari kumpulan manusia, harus mematuhi protokol social distancing dan menghindari perkumpulan-perkumpulan dalam skala besar. Meskipun sepele, tapi hal ini sesungguhnya sangat berpengaruh bagi Gereja dalam banyak hal, khususnya pada aspek koinonia. Ungkapan kesatuan fisik: berkumpul di gereja, mengadakan pesta (paroki, stasi, lingkungan, keluarga), kunjungan, rapat-rapat, dsb kini dibatasi dan harus terikat pada protokol keamanan. Belum lagi, ungkapan kedekatan yang menjadi simbol perekat dan kekompakan lahiriah seturut kultur setempat (bersalaman, pelukan, dll) kini digantikan oleh budaya baru atas nama kesehatan. Covid-19, selain membatasi jarak dan kedekatan, makin lama bila tidak disadari juga akan melemahkan ikatan kebersamaan sebagai bagian dari sebuah persekutuan.
Untungnya saat ini kita hidup di zaman teknologi digital. Bayangkan seandainya kita hidup pada masa pandemi Flu Spanyol tahun 1920 atau wabah Kolera 1820. Saat ini justru Internet membuat kita terhubung satu sama lain dengan sangat gampang. Sejak proyek ARPANET militer USA secara resmi dinonaktifkan pada tahun 1990, Internet telah menjadi sebuah peradaban baru dan meluas di zaman kita. Blog yang sebelumnya dimiliki PyraLab dan kemudian diakuisisi oleh Google pada tahun 2002 menandai munculnya era baru demokratisasi kebebasan berpikir dan berekspresi; termasuk WordPress yang rilis kemudian pada 2003. Tahun 2004, facebook muncul bagai kecepatan cahaya. Tak lama kemudian muncul aplikasi youtube (2005), whatsapp (2009), instagram (2010), line (2011), telegram (2013), dll.
Saudara-saudari, saya memakai terlalu banyak kata hanya untuk menyarankan kita pada seruan (militansi) ini: di masa pandemi ini mari mengefektifkan panggilan Koinonia kita dengan mendukung channel-channel Katolik (entah Youtube, fb, wa, ig, dll). Mari kita prioritaskan dukungan pada channel-channel institusional (milik keuskupan, ordo/kongregasi tertentu, komisi, sekolah, lalu akun-akun pribadi) yang dengan satu dan banyak cara berusaha mempersatukan kita. Nilainya memang tetap tidak bisa mengimbangi pertemuan kita secara fisik di gereja atau di tempat lain. Namun, sebagai alternatif keterbatasan dan kesulitan pandemi ini tidak mengurangi naluri keberimanan kita.
Ketika kita hadir di dalamnya, rasakanlah sentuhan kesatuan (koinonia) sebagai bagian dari Gereja Universal yang saat ini sama-sama berjuang di masa pandemi ini. Barangkali sajian dan materi yang ada di dalamnya kurang menggiurkan dibanding konten-konten artis terkenal, tetapi ketika panggilan pada kesatuan ini memanggil, kita akan merasakan sentuhan iman yang menggetarkan jiwa.
Beberapa hari terakhir ini saya ikut dalam doa bersama orang muda lewat aplikasi virtual zoom. Saya merasa sangat tersentuh oleh banyaknya orang muda yang hadir lewat doa bersama, khususnya lagi bahwa acara itu diorganisir oleh kaum muda (bdk. Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Orang Muda Sedunia 2020).
