KUASI PAROKI ST. FRANSISKUS XAVERIUS – SIMALINGKAR B, MEDAN : MULANYA BAGAI BIJI SESAWI

“Keyakinanlah yang memindahkan gunung, bukan fakta.” (Annette Simmons penulis buku “Whoever Tells the Best Story WINS”).
“Sungguh di luar kebiasaan, Stasi Simalingkar B menjadi kuasi Paroki,” tutur Albertus Matondang kepada Menjemaat, pada Senin (26/9/2016). “Biasanya umat lah yang mengajukan permohonan menjadi gereja Paroki kepada Keuskupan. Namun, bagi (gereja) kami berkat kebijakan hirarki di Keuskupan Agung Medan.” Sebelumnya Matondang membuka percakapan, bahwa dia baru saja mengantar cucu ke sekolah St. Ignasius. Seorang kakek yang bangga.
Purnawirawan Polri tersebut tak menutupi sumringahnya menjelaskan sedikit riwayat gereja yang berada di kelurahan Simalingkar B, kecamatan Medan Tuntungan. “Padahal pada mulanya jumlah umat masih sedikit. Namun, seiring waktu kini bertambah banyak.” Katanya. “Minggu semalam, ada satu keluarga baru yang bergabung. Sementara dua minggu lalu, ada tiga keluarga yang memperkenalkan diri seusai misa.”
Sebelumnya pada Minggu (17/7/2016), telah dilaksanakan Inaugurasi Paroki St. Fransiskus Xaverius – Simalingkar B, Medan dengan misa yang dipimpin oleh Vikep Medan Hayam Wuruk, RP Harold Harianja OFM Cap. Bersama kon-selebran, Parokus St. Fransiskus Assisi – Padang Bulan, RP Andreas Gurusinga OFM Conv, Parokus St. Yohanes Paulus II – Tuntungan, RP Mario Lumban Gaol OFM Conv, Parokus Simalingkar B, RD Sebastianus Eka Bhakti Sutapa dan Pastor Rekan RD Desman Marbun dan perwakilan Kuria, RD Fernandus Saragi.
Penelusuran sejarah dan pesona gereja Simalingkar B semakin lengkap tatkala Koordinator Katekese (Honorius Sihaloho) dan Ketua DPP Simalingkar B (Monang Siregar) turut datang. “Hanya saja kami belum layak lah disebut DPP, sebab SK-nya juga belum resmi turun. Kemarin (Minggu, 25/9/2016), Pastor Paroki Romo Eko sendiri masih dilema. Beliau bilang sementara ini lebih cocok disebut Dewan saja,” Siregar menjelaskan kedudukan mereka.
Siregar dengan bernas menguraikan, kuasi Paroki Simalingkar B memiliki tiga stasi “Yakni: Stasi Induk St. Fransikus Xaverius – Simalingkar B (sebelumnya bergabung dengan Paroki St. Fransiskus Assisi – Padang Bulan, Medan) , Stasi St. Fransiskus Assisi – Durin Pitu dan Stasi St. Stefanus – Keloni (kedua stasi tersebut sebelumnya bergabung dengan Paroki St.Yohanes Paulus II – Tuntungan, Medan),” ujar bapak yang berprofesi Pengawas di Dinas Pendidikan tersebut.
Ketika ditanyakan harapan dan semangat apa yang hendak dibangun sebagai ciri khas kuasi Simalingkar B ke depannya, Siregar mengatakan dewan pastoral beserta umat kuasi paroki Simalingkar seia sekata menumbuhkan semangat liturgi. “Kami tidak memungkiri sejumlah umat Simalingkar B senang menghadiri misa di Gereja paroki Hayam Wuruk dan Katedral karena merasakan rangkaian ibadah yang khusyuk,” terangnya. “Jadi, mengapa kita tidak ciptakan saja semangat dan ciri khas tersebut di gereja ini. Ini hanya perihal niat dan semangat untuk terus berlatih. Supaya umat pun rindu untuk beribadah ke gereja kuasi Paroki Simalingkar B.”

Selintas sejarah
Gereja stasi simalingkar B didirikan pada tahun 1974, saat itu stasi ini masih bergabung dengan Paroki St. Antonius dari Padua – Hayam Wuruk, Medan. Namun pada tahun 1975, stasi ini berpindah domisili paroki, karena digabung dengan Paroki St. Fransiskus Assisi yang baru dibangun pada tahun tersebut. “Pastor Paroki kami pun berganti dari Ordo Kapusin ke Ordo Konventual,” kenang Sihaloho.
Kali pertama berdiri, umat di stasi Simalingkar B masih sekira 25 Kepala Keluarga (KK). “Pertumbuhan jumlah umat dengan lekas naik,” imbuh mantan Ketua DPS Simalingkar B yang menilai bertambahnya jumlah umat karena keberadaan perumahan rakyat di wilayah tersebut.
Siholoho mengaku tak bisa melupakan kenangan kala ia ditegur Pastor Paroki, RP Antonio Razzoli. “Saya ingat, waktu itu tahun 1997, pada misa hari Minggu banyak umat yang berdiri di luar gedung gereja. Pastor menegur saya, kenapa umat tidak diajak masuk ke dalam. Saya lalu jawab, jumlah umat sudah terlalu banyak dan gedung gereja sudah tidak bisa menampung,” ujar Sihaloho.
Pastor Razoli tertegun. Dan tak lama kemudian dia membentuk Panitia Pembangunan Gereja Simalingkar B yang baru pada Mei 1997. “Dalam cekatan Pastor Razoli memimpin kami agar dapat membangun gedung gereja yang baru. Kami juga terkesan dengan teladan tokoh gereja di Simalingkar B, bapak Cara Sembiring, yang juga termasuk pengurus di gereja kami,” ia menambahkan.
“Entah mengapa pada akhir tahun 1997, Pastor Razoli mengajak temu diskusi dengan seluruh pengurus dan panitia pembangunan. Pastor mendorong agar kami lekas membeli dan mengumpulkan bahan bangunan sebelum tahun 1998. Dia mengatakan, harga bangunan akan melonjak sangat mahal pada tahun tersebut. Dan benar saja, tahun depannya krisis moneter turut menimpa negara kita,” kata Sihaloho, yang berperan sebagai Bendahara dalam Panitia Pembangunan Gereja Simalingkar B.
Walaupun krisis moneter, akan tetapi tidak terlalu berdampak pada proses pembangunan. Sehingga pembangunan gereja Simalingkar B tepat rampung dalam tempo dua tahun. “Padahal di saat yang bersamaan, Paroki Padang Bulan juga tengah membangun gedung gereja yang baru.Kami bersyukur atas anugerah Tuhan, sosok Pastor Razoli, serta para umat yang rela berjuang demi pembangunan gereja baru ini, seperti bapak Cara Sembiring, sehingga mendirikan gedung gereja yang baru seperti mukjizat biji sesawi. Awalnya kecil, namun kini semakin besar dan menyongsong peran sebagai gereja paroki.”
Matondang juga terkenang, saat peletakan batu pertama gereja baru di Stasi Simalingkar B oleh (saat itu) Mgr. A.G. Pius Datubara OFM Cap. Opung Pius menyampaikan bahwa ia yakin gereja stasi ini kelak akan menjadi gereja paroki. “Kini luas areal kuasi Paroki Simalingkar B sekira 2,5 hektar. Belum termasuk areal di gereja lama. Kami para umat kuasi Paroki Simalingkar B siap untuk membangun gereja kita lebih baik untuk pelayanan pastoral bersama.”
***

Suatu sore (tahun 1999), saat hendak melaporkan hasil pertanggungjawaban dana pembangunan gereja Simalingkar B, Sihaloho bertamu ke Pastoran Padang Bulan. Dia disambut Pastor Razoli yang tengah mengaduk secangkir kopi. “Bagaimana laporan pertanggungjawaban dananya, bapak Sihaloho?”
“Ini bukunya, Pastor. Tercantum di dalamnya jumlah penggunaan dana total Rp539 juta.”
“Wah. Cocok betul dengan perhitungan yang saya buat. Kalau begitu mari kita minum kopi dulu,” sahut Pastor Razoli, disusul derai tawa keduanya yang berbaur dengan aroma harum kopi.
(Laporan teks: Ananta Bangun | Foto: Ananta Bangun & Feri Tarigan)
