Tuhan ditemukan Dalam Ketenagan
Pernahkah anda bertanya bagaimana proses syuting sebuah video klip di medsos (youtube, facebook, dll)? Kalau Anda berminat dalam bidang editing video atau sejenisnya, Anda pasti tahu betapa rumitnya menghasilkan video yang maksimal dan berkualitas. Dalam pengalamanku sendiri pun, beberapa dari video yang kuedit dengan susah payah setelah kutonton ulang lebih sering tidak menjawab ekspektasi yang sudah dibayangkan sebelumnya.
Pengaruh kecanggihan teknologi merembes luas tanpa kita sadari dalam hidup beriman kita. Kita makin terbiasa dengan proses editing misalnya tanpa sadar iman pun ikut terdampak efek editan. Seorang tampak berdoa khusyuk di depan altar barangkali dengan rosario di tangan sementara wajah menghadap Yang Ilahi terbenam dalam misteri-Nya. Seorang dengan jubah gemerlap menghiasi beranda atau status aplikasi media sosial. Begini kesan foto yang biasa dipertontonkan. Tetapi sungguhkah demikian sedang terjadi? Kalau mau dirunut ke belakang tak jarang ada banyak proses mendahului yang dilakukan untuk menghasilkan foto yang mengundang decak kagum sedemikian. Percayalah! Butuh tukang jepret yang mahir dan sejumlah adegan dan scenario yang dirangkai yang membuat kita ikut hanyut seperti yang tampak dalam gambar. Pentingkah itu? Menurutku sangat penting. Kalau tidak ada yang mengunggahnya bagaimana kita tahu dan menikmati situasi itu, bukan?! Hanya masalahnya kita cenderung tinggal pada sekadar rapi tetapi artifisial itu. Kita lupa bahwa dimensi beriman jauh lebih dalam dari sekadar editan semata.
Dalam “Giovani e sacro. L’esperienza religiosa dei giovani alle soglie del XXI secolo”, Mario Pollo mengkritik fenomena materialistis dan rasionalistis yang cenderung mengaburkan rasa kesakralan dalam kehidupan beriman kita. Nostalgia akan yang sakral sedang mendapat tantangan dari fenomena zaman dan justru semakin meluas dalam budaya sosial saat ini. Sebenarnya dalam iman tradisional kita pun, rasa mistis akan kesakralan adalah ciri dari cara berada Tuhan yang hadir dan dialami sebagai mysterium tremendum et mysterium fascinosum (sekaligus menggentarkan dan menenangkan; cf. Rudolf Otto). Lihatlah misalnya kalau Anda berjalan-jalan di sekitar pinggiran danau Toba, masih banyak kita temukan di sana sesajen orang Batak (pangir, daun sirih, telor, dll) untuk mengungkapkan rasa hormat bagi angka sijolojolo tubu di hadapan Yang Mahatinggi (Mulajadi Nabolon). Kalau kita kehilangan aspek ini, maka iman kita bisa jatuh ke arah rasionalisme kosong.
Kebalikan dari fenomena ini juga berbahaya. Pengalaman iman yang terdegradasi dari yang sakral biasanya berkaitan dengan atribusi ke suatu tempat, benda, atau orang tertentu dengan karakteristik tertentu yang dapat kita definisikan sebagai magis-takhayul. Di mana letak perbedaannya? Misalnya, rosario kita gunakan sebagai hal yang suci tetapi kita tetap sadar bahwa itu hanyalah sarana berdoa karena ada pribadi tertentu (per Mariam ad Iesum) di baliknya. Kalau pun Anda bisa mengusir setan dengan menggunakan rosario, itu bukan karena rosario in sé yang bekerja tetapi karena ada Rahmat Tuhan yang hadir dalam ungkapan-ungkapan iman itu. Hal lain misalnya sepeti pengakuan orang ini: Ada sebuah objek, sebuah gantungan kunci bersalib, yang selalu saya miliki, terutama saat saya mengikuti ujian di universitas; Saya menganggapnya sebagai jimat keberuntungan. Tanpa itu aku tidak yakin bisa lulus.
Dalam ilmu psikologi ini dikenal dengan istilah sistem perlindungan “selimut Linus”: ungkapan yang mengacu pada suatu objek yang diatribusikan pada semacam sifat antropomorfis, yang mampu memberikan rasa aman yang kuat kepada pemiliknya. Ungkapan ini berasal dari kartun terkenal tentang karakter Peanuts, sebuah strip yang dibuat oleh Charles M. Schulz pada 1950-an. Di sana terdapat karakter-karakter dari prinsip-prinsip kebijaksanaan yang mendalam, termasuk Linus yang legendaris dan selimutnya yang terkenal, sebuah instrumen tak terpisahkan yang ia sendiri definisikan sebagai “keselamatan”. Inilah yang disebut “objek transaksional”, yakni jembatan antara anak dan tahapan yang menandai jalur pertumbuhannya yang tetap digenggam pun saat ia sudah dewasa.
Orang beriman yang benar adalah mereka yang berada di antara kedua sisi itu: beriman dan berakal budi. Jangan kehilangan aspek sakral dan magis dalam ber-Tuhan karena penjajahan pikiran sebagaimana kecenderungan manusia akhir-akhir ini. Memang Tuhan hadir dimana saja, namun Dia juga mempunyai tempat-tempat yang dikhususkan (bdk. 2Samuel 7:1-17), dan di dalam hadirat-Nya ada juga benda-benda bahkan pribadi (seorang imam misalnya) yang dikuduskan dan dikhususkan. Dalam bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa lain pada umumnya, kata kudus mengandung makna dipisahkan/dikhususkan. Dalam kitab suci, segala sesuatu kudus (orang atau benda) kalau Allah membuatnya kudus. Israel disebut kudus karena dipilih oleh Tuhan, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya (bdk. Ul 7:6b).
Sekarang, kalau Anda melihat salib apa yang Anda rasakan? Biasa saja? Kalau Anda berada dekat altar bagaimana perasaanmu? Ketika Anda masuk ke gereja, berlutut dan melihat tabernakel bagaimana Anda merasakan mysterium tremendum kehadiran-Nya? Masihkah biasa-biasa saja? Kalau Ya, mungkin penggalan reff. syair lagu dari Madah Bakti 376 yang biasa kita nyanyikan ini bisa kita refleksikan ulang lagi: “Rasa damai dalam hati datang dari Tuhan, maka Tuhan ditemukan dalam ketenangan”. RP. Benny Manurung,OFMCap