Panggilan Mulia Sebuah Keluarga (Yusuf dari Nazaret)
Pagi yang cerah di akhir bulan pertama tahun baru. Aku tiba di kota Nazaret sesudah perjalanan panjang menyusur danau Galilea. Nazaret berasal dari kata Ibrani Nazerat dan dalam bahasa Arab en-Nasira yang berarti “Bunga-bungaan”. Oleh karena itu, St. Hieronymus menyebut Nazaret sebagai “Bunganya Galilea”. Julukan ini memang selaras dengan keindahan perbukitan itu yang menjadi pusat pemerintahan daerah bagian Israel dengan penghuni sekitar 42.000 jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang Arab, tetapi sebagian darinya beragama Kristen. Sebagian lagi orang-orang Yahudi yang tinggal di bagian atas perbukitan atau Nazaret Illit (Nazaret bagian atas).
Tahun 66-70 terjadi pemberontakan Yahudi dan Nazaret dijungkirbalikkan oleh pasukan Romawi pimpinan Vespasianus. Setelah penghancuran Yerusalem karena revolusi Yahudi pimpinan Bar Kokhba tahun 132-135, orang-orang Ibrani melarikan diri dari wilayah Yudea dan tinggal di daerah Galilea. Mereka banyak yang menetap di Nazaret dan lama-kelamaan membentuk satu komunitas Kristen Nazaret. Mereka itulah yang merawat rumah berbentuk gua, tempat dahulu Maria menerima kabar gembira dari malaikat Tuhan. Sekitar tahun 420, di era kekristenan zaman kekaisaran Konstantinus, mereka mendirikan sebuah gereja bercorak Bizantin. Tahun 614 orang-orang Kristen Yahudi itu menyambut baik datangnya orang-orang Persia dan tahun 638 orang-orang Arab masuk menguasai daerah Nazaret.
Tahun 1099, saat para Pejuang Perang Salib pimpinan Tancredi menguasai seluruh wilayah Galilea, Nazaret dibangun kembali dengan banyak biara religius dan gereja, termasuk sebuah basilika di tempat dahulu Maria menerima kabar gembira dari malaikat Tuhan. Nazaret direbut lagi oleh Saladin pada tanggal 14 Juli 1187. Raul dari Coggeshall bersaksi: “Orang-orang Arab itu merebut kota Nazaret dan melumuri basilika tempat Maria menerima kabar gembira dari malaikat Tuhan dengan darah orang-orang Kristen yang mereka bunuh. Lalu mereka menghancurkan kota, menajiskan tempat-tempat suci dan pergi ke arah gunung Tabor.” Para Pejuang Perang Salib membangun kembali kota dan basilika itu tahun 1230 dan 1250. Orang-orang muslim di bawah pimpinan Sultan Baybars pun memporakporandakan kota itu lagi dan menghancurleburkan basilika hingga rata dengan tanah tahun 1263. Sejarawan Abu el-Feda menulis: “Sewaktu masih tinggal di gunung Tabor, pasukan Arab pimpinan Sultan Baybars kembali ke Nazaret untuk merusak kota itu dan menghancurkan secara total basilika.”
Berkat jasa baik penguasa daerah Nazaret, Saida Fakhr el-Din, tahun 1620 para biarawan Fransiskan mendapat izin masuk dan tinggal di tempat reruntuhan basilika. Tahun 1730 mereka boleh membangun kembali gereja di atas pondasi reruntuhan basilika itu. Tahun 1960-1969 gereja itu pun dipugar dan dibangun sebuah Basilika Kabar Gembira, yang masih berdiri megah hingga sekarang dengan arsitektur bangunan Giovanni Muzio dari Milano-Italia. Basilika itu diresmikan dan diberkati oleh Kardinal Garonne pada tanggal 25 Maret 1969.
Sekitar 200 m sebelah Timur Laut dari Basilika Kabar Gembira terdapat sebuah gereja yang pada tahun 1914 dibangun di atas reruntuhan gereja dari tahun 1858 dan dikenal dengan nama Gereja Keluarga Kudus. Di bagian tengah gereja itu ada dua tangga menuju ruangan bawah tanah yang diyakini dulunya rumah Yusuf. Di tempat itu Arkeolog Fransiskan Prospero Viaud, dalam penggalian tahun 1900-1908 menemukan Bak Pembaptisan dari periode Kristen Yahudi yang dipahat pada bebatuan dengan setiap sisinya berukuran 2 m dan 2.5 m dalamnya. Di salah satu sisinya terdapat 7 anak tangga, sebagai simbol dari 7 karunia Roh Kudus. Di dasar bak terdapat sebuah mosaik persegi enam (simbol dari sekelompok koor malaikat) dengan satu batu terletak di tengah (simbol Kristus batu penjuru Gereja) dan sebuah kanal air (simbol sungai Yordan dan pembaptisan Yesus). Di ruang bawah tanah itulah dahulu Yusuf-Maria tinggal sebagai suami-istri, juga sekembalinya mereka bersama Yesus dari pengungsian di tanah Mesir (Mat 2:13-15,19-23).
Berkaitan dengan Yesus yang dalam bimbingan keluarga Nazaret Yusuf-Maria itu Mat 1:18-25 memperkenalkan tentang quis dan quomodo atau siapa itu Yesus dan bagaimana identitas-Nya diperkenalkan? Dalam Mat 1:18 tercatat: “Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami istri.”
Masyarakat Yahudi memiliki adat perkawinan yang terdiri dari dua tahap, yaitu erusin dan nisu’in. Tahap pertama perkawinan terdiri dari upacara janji pranikah/kontrak perkawinan dan masa pertunangan (erusin). Pada tahap ini pasangan secara resmi saling berjanji yang mengikat satu sama lain dan memberikan hak-kewajiban sebagai suami-istri, meskipun mereka belum tinggal serumah dan belum diperbolehkan berhubungan seks.
Kontrak/perjanjian perkawinan yang disebut ketubah ditandatangani oleh suami/mempelai laki-laki dan ayah dari mempelai perempuan dengan disaksikan istri/mempelai perempuan, kedua belah pihak keluarga dan kedua saksi yang telah ditentukan. Ketubah ini berisi rincian kewajiban suami terhadap istrinya, yaitu pihak suami akan bertanggungjawab penuh terhadap kehidupan istrinya, misalnya mempersiapkan rumah (papan), menyediakan pakaian (sandang) dan memberi makan (pangan). Oleh karena itu, ketidaksetiaan pihak istri terhadap janji perkawinan selama masa pertunangan dikategorikan zinah dan dikenakan sangsi kepadanya, bahkan hukuman mati. Dalam Ul 22:23-24 tercatat hukum kemurnian perkawinan: Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan – jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa istri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
Tahap kedua perkawinan adalah nissu’in yang terdiri dari berhubungan seks dan pesta perkawinan. Setelah beberapa lama tinggal secara terpisah, mempelai perempuan diantar ke rumah suaminya dan mereka berdua berdiri di bawah naungan tudung nikah yang disebut khupah (Kej 24:66-67; 29:22; Hak 14:10; Kid 3:6-11; 1Mak 9:39; Tob 8:19b; 10:8). Khupah adalah lambang rumah baru yang dibangun oleh pasangan suami-istri tersebut. Pada malam pertama pertemuan itu mereka tidur bersama atau bersetubuh, lalu hari berikutnya menyelenggarakan pesta dan tahap perkawinan pun selesai.
Penginjil Matius menceritakan bahwa Yusuf dan Maria masih berada dalam tahap pertunangan. Artinya, sesuai hukum kemurnian (Ul 22:23-24) tersebut Maria harus tetap perawan selama masa pertunangannya. Maka, kenyataan bahwa Maria telah mengandung (yang bukan karena hubungan seks dengan Yusuf) benar-benar telah membuat Yusuf kebingungan, karena kasus ini bisa dikategorikan perzinahan dan hukumannya rajam. Oleh karena itu, untuk mencegah kesalahpahaman pembaca, Penginjil Matius tegas dan jelas memberitahukan bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus. Namun persoalannya bukan pada pembaca, tetapi saat peristiwa itu terjadi Yusuf sama sekali tidak mengetahuinya, sehingga ia bermaksud menceraikan Maria. Meski demikian kehamilan seorang gadis yang masih bertunangan dan bukan digauli tunangannya, bisa terjadi karena gadis itu secara bebas berhubungan seks dengan laki-laki lain atau diperkosa. Untuk itu berlaku hukum Ul 22:25-27 berikut: Tetapi jikalau di padang laki-laki itu bertemu dengan gadis yang telah bertunangan itu, memaksa gadis itu tidur dengan dia, maka hanyalah laki-laki yang tidur dengan gadis itu yang harus mati, tetapi gadis itu janganlah kauapa-apakan. Gadis itu tidak ada dosanya yang sepadan dengan hukuman mati, sebab perkara ini sama dengan perkara seseorang yang menyerang sesamanya manusia dan membunuhnya. Sebab laki-laki itu bertemu dengan dia di padang; walaupun gadis yang bertunangan itu berteriak-teriak, tetapi tidak ada yang datang menolongnya.
Persoalannya, bagaimana bisa mengetahui bahwa kehamilan gadis yang masih bertunangan itu karena berhubungan seks secara bebas dengan laki-laki lain atau karena dipaksa? Laki-laki tunangannya berhak membawa kasus itu ke pengadilan dan persidanganlah yang akan menentukan gadis itu bersalah atau tidak, berzinah atau diperkosa, harus dihukum atau dibebaskan. Nah, Yusuf sebenarnya mempunyai hak untuk membawa perkaranya ke pengadilan, tetapi ia tidak mau menggunakan haknya, “karena Yusuf, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Mat 1:19).
Kata “tulus hati” terjemahan dari kata Yunani dikaios. Penginjil Matius umumnya mengaitkan dikaios bukan dengan kelakuan moral, tetapi pelaksanaan hukum (bdk. Mat 9:13; 13:17; 23:29). Yusuf disebut tulus hati, karena ia tahu bahwa Maria tidak bersalah (menurut hukum kemurnian Ul 22), tetapi ia merasa tidak pantas menjadi ayah dari anak yang akan dilahirkan Maria. Oleh karena itu, Yusuf tidak mau mencemarkan nama istrinya dengan mendakwa Maria telah berzinah dan membawanya ke pengadilan untuk diperiksa di hadapan umum.
Yusuf bermaksud menceraikan Maria “dengan diam-diam”. Penceraian dengan diam-diam tidak dibenarkan oleh hukum. Supaya sah, perceraian harus dibawa ke pengadilan dan dikukuhkan dengan surat resmi (Ul 24:1). Oleh karena itu, ungkapan “dengan diam-diam” bukan dimaksudkan tanpa saksi, tetapi tanpa memperkarakan di pengadilan atau tanpa membuat pernyataan macam-macam tentang perkara itu. Yusuf tidak mau membuat dakwaan bahwa Maria telah berzinah dan membawanya ke pengadilan demi perceraian perkawinan mereka.
Saat sedang mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat 1:20-21).
Dalam konteks pemahaman orang Yahudi, mimpi Yusuf harus dilihat sebagai “penerangan ilahi”. Lewat mimpi-penglihatan itu Yusuf menerima pesan dari malaikat yang menyangkut tugasnya dan asal-usul kandungan Maria. Yusuf mendapat tugas untuk mengambil Maria menjadi istrinya dan menamai anak itu Yesus. Karena pemberian nama kepada anak itu hak utama seorang ayah, maka melalui pemberian nama tersebut Yusuf telah mengangkat dan mengakui Yesus sebagai anaknya sendiri (bdk. Kej 17:19; 1Taw 22:9; Yes 8:3), sehingga Yesus masuk dalam garis keturunan Daud. Nama Yesus sendiri berasal dari nama Ibrani Yesyua, bentuk singkat dari Yehosyua, yang berarti “Allah menyelamatkan”. Artinya, sebagaimana dikutip dari Mzm 130:8, Yesus itulah yang akan membebaskan umat Allah dari dosa-dosa. Penyelamatan Yesus berarti penghapusan dosa sekaligus peniadaan segala rintangan yang mengganggu hubungan manusia dengan Allah. Penginjil Matius menegaskan peran Yesus ini sejak awal, karena umumnya orang Yahudi mengharapkan Mesias bukan sebagai pembebas dosa-dosa mereka, tetapi pembebas bangsanya dari penjajahan Romawi.
Berkenaan dengan asal-usul kandungan Maria, jelas tertulis bahwa “anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” Penginjil Matius pun telah memperkenalkan Yesus sebagai keturunan Daud, tetapi tidak dikatakan bahwa Yusuf memperanakkan Yesus: “Matan memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus” (Mat 1:15-16). Yesus bukan diperanakkan oleh seorang laki-laki, Yusuf, tetapi dikandung dan diperanakkan oleh Roh Kudus. Maria mengandung dari Roh Kudus, sehingga anak yang akan dilahirkannya disebut Anak Allah. Penginjil mengetengahkan gagasan tentang Anak Allah berkaitan dengan perkandungan dan peranakan Yesus oleh Roh Kudus.
Tulisan lain dalam Perjanjian Baru mengetengahkan gagasan tentang Anak Allah berkaitan dengan kebangkitan Yesus: “… Anak-Ku Engkau! Aku telah memperanakkan Engkau pada hari ini” (Kis 12:32-33); “…menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Rm 1:3-4). Injil Sinoptik juga mencatat pewahyuan Yesus sebagai Anak Allah terjadi saat pembaptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis dan suara Tuhan menyatakan: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk 1:9-11//Mat 3:13-17//Luk 3:21-22).
Perkataan malaikat kepada Yusuf agar mengambil Maria sebagai istrinya karena “anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus” bermuatan kristologis: Yesus adalah Anak Allah. Rujukan ini awalnya dikaitkan dengan kebangkitan dan pembaptisan-Nya, tetapi dalam kisah Kanak-kanak Yesus dikaitkan dengan saat dikandung-Nya. Yesus menjadi Anak Allah bukan saja saat kebangkitan dan pembaptisan-Nya, tetapi sudah sejak saat dikandung oleh Maria karena Roh Kudus.
Penginjil Matius menambahkan pada pesan malaikat: Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” – yang berarti: Allah menyertai kita (Mat 1:22-23). Kutipan nubuat ini merujuk pada warta kenabian Yesaya: “Seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamai Dia Imanuel” (Yes 7:14). Kata Ibrani Immanu El artinya “Allah menyertai kita”. Kata Yunani parthenos, yang berarti “perawan” searti dengan kata Ibrani almah, yang artinya “anak dara atau gadis dalam usia siap kawin”. Dengan demikian apa yang dinubuatkan oleh Nabi Yesaya kepada Raja Ahab sebagai tanda, yakni seorang perempuan muda akan mengandung, kini telah tergenapi dalam diri Maria, seorang perawan yang mengandung.
Penginjil menjelaskan keperawanan Maria itu dengan mengetengahkan bahwa Yusuf melaksanakan perintah malaikat dan tidak bersetubuh dengan Maria: “Ia mengambil Maria sebagai istrinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki” (Mat 1:24b-25). Apakah ini juga berarti Yusuf tidak mengadakan hubungan seks dengan Maria sesudah melahirkan Yesus? Berdasarkan keterangan ayat ini saja tidak bisa dipastikan, namun Gereja Katolik yakin bahwa Maria benar-benar tidak pernah berhubungan seks selama hidupnya, sehingga ia tetap perawan murni. Dogma tentang Maria Tetap Perawan dalam Lumen Gentium 57 yang mengangkat ajaran St. Agustinus dari Hippo (354-430) mengatakan: “Maria tetap perawan, ketika ia mengandung Putranya (virginitas ante partum), perawan ketika ia melahirkan-Nya (virginitas in partu), perawan ketika ia menyusui-Nya; pendek kata ia selalu perawan.”
Mengapa Kitab Suci begitu sedikit berbicara tentang Yusuf? Tentang Maria saja Kitab Suci berbicara sedikit, apalagi tentang Yusuf. Maksudnya, Kitab Suci Perjanjian Baru itu bukan buku biografi tentang Yesus, apalagi tentang Maria dan Yusuf. Kitab Suci Perjanjian Baru adalah buku kesaksian iman Gereja Perdana yang mengakui bahwa Yesus itu Tuhan. Oleh karena itu, Kitab Suci Perjanjian Baru hanya berbicara tentang perkara-perkara yang ada sangkut-pautnya dengan pengakuan iman itu. Bahkan berkaitan dengan perkara Yesus pun tidak semuanya dibicarakan dalam Kitab Suci, misalnya kehidupan Yesus antara usia 12 hingga (30-an?). Nah, karena itulah baik kehidupan Maria, Yusuf dan siapapun akan dibicarakan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru sejauh bersangkutan dengan pengalaman dan kesaksian iman Gereja Perdana. Selamat merayakan Tahun Santo Yusuf.