REFLEKSI

Tongkat …

Loading

Tiap tahun itu berarti dan bermakna, tapi mungkin tahun 2020 akan lebih menancap pada kenangan, dan akan berulang dalam cerita. Dia akan akan tersegel dengan nama khas: tahun pandemi covid-19. Di penghujung tahun covid itu sendiri, di beberapa wilayah di Sumut, kita masih bisa merasakan tensi pertandingan perebutan kursi kepala daerah. Sekarang, riuh rendah kampanye telah berlalu, pemilihan telah berlangsung. Seperti kata Pengkotbah, untuk segala sesuatu ada masanya, maka sekarang waktunya untuk (menunggu) realisasi janji-janji. “Boh …”, kata orang Italia untuk sebuah ekspresi ragu dan bimbang. Lalu, saya pun katakan boh …, apalagi kalau merenung-renung tentang kampung halaman sendiri di dataran tinggi karo sana, boh … mungkin seperti auto-pilot saja, dan semoga saya salah, tetapi boh …

Pernah suatu kali beberapa orang dalam rombongan peziarah Indonesia ke Vatikan, bertanya ke saya, “mengapa dalam lambang kepausan ada dua kunci dan satu mahkota?” Boh … itu lambang kuasa untuk dunia dan surgawi. Ringkas saja saya katakan, karena tidak tahu juga penjelasan persisnya. Kemudian saya mencari tahu! Dalam sejarah dunia-eropah dan Gereja, paling kentara sekitar abab pertengahan, ada pemahaman kira-kira demikian: Allah menganugerahkan dua jenis kuasa kepada paus yakni kuasa spiritual dan sekular-duniawi; paus kemudian ‘membagikan’ kuasa sekular itu kepada para raja untuk memerintah di daerah masing-masing. Simbolisasinya bisa dilihat, misalnya, di film-film yang menggambarkan abad pertengahan: paus atau perwakilannya memberi atau meletakkan mahkota pada para raja.

Baca juga  Kesederhanaan Paus Fransiskus, Melawan Kemewahan Penguasa

Sejarah mengajarkan bahwa banyak resiko dalam mentalitas ‘perkawinan antara jabatan ilahi-sekuler’ itu. Sebab itu, abad modern berkata: business is business, kalau sedang bisnis ya bisnis, ndak masuklah ranah gereja-ilahi. Resikonya? Kita kurung Yang Ilahi di gereja biar bisa tentram memainkan kongkalikong dan patgulipat. Maka kita bisa melihat dengan gamblang, kalau ada pejabat yang begitu dermawan ke gerejanya, tetapi mengeruk yang bukan haknya di tempat lain. Lalu jadilah Sakramen Tobat semacam obat penenang rasa bersalah, tanpa pernah sungguh membawa pertobatan batin dan tindakan. Sehingga, kadang saya berpikir bahwa mentalitas abad pertengahan itu tak selalu juga buruk: mereka menerima kalau jabatan-kuasa mereka itu dalam semangat praktis-spiritual.

Kalau bermain simbolisasi, maka jabatan atau kuasa itu sering dilambangkan dengan tongkat. Sekadar contoh: tongkat komando atau tongkat gembala seorang uskup.  Saya teringat dengan tongkat Musa dalam Kel 4: 2-4,17: “TUHAN berfirman kepadanya: “Apakah yang di tanganmu itu?” Jawab Musa: “Tongkat.”  Firman TUHAN: “Lemparkanlah itu ke tanah.” Dan ketika dilemparkannya ke tanah, maka tongkat itu menjadi ular, sehingga Musa lari meninggalkannya. Tetapi firman TUHAN kepada Musa: “Ulurkanlah tanganmu dan peganglah ekornya” — Musa mengulurkan tangannya, ditangkapnya ular itu, lalu menjadi tongkat di tangannya. [Allah berfirman] “… bawalah tongkat ini di tanganmu, yang harus kaupakai untuk membuat tanda-tanda mujizat.”

Baca juga  TAHUN PASTORAL KEEMPAT: KELUARGA SEJAHTERA (1)

Ada dinamika menarik dalam kisah kitab itu! Ketika tongkat di lemparkan ke tanah, dia menjadi ular. Saya merenung: tanah adalah lambang kerapuhan-kelemahan, bisa dalam bentuk korupsi atau nepotisme sanak famili-teman. Ular padang gurun biasanya sangat berbisa dan mematikan, sehingga  tentu saja Musa lari ketakutan. Tetapi kata Allah “peganglah ekornya”. Musa kemudian melepaskan diri dari ketakutannya dan memberanikan diri untuk masuk ke dalam bahaya, dalam iman kepada Allah. Musa menangkap ular, lalu seketika berubah menjadi tongkat. Dalam kisah-kisah selanjutnya, kita bisa membaca bagaimana tongkat itu pada akhirnya digunakan sebagai sarana penyelamatan untuk menuju ke Tanah Terjanji.

Tak usah terlalu terkejut, kalau dalam ranah gerejawi pun, ‘tongkat’ sering jadi ular berbisa. Sebab tanpa iman, tongkat akan menjadi ular menjalar menakutkan, tetapi dengan iman ular menjadi tongkat di tangan. Lebih dari sebelum-sebelumnya, rasanya tahun ini kita sungguh butuh tongkat pembuat mujijzat itu, untuk bangkit kembali.

Hati-hati dengan tongkat …

 

RD. Irfantinus Tarigan
Facebook Comments

Ananta Bangun

Pegawai Komisi Komsos KAM | Sering menulis di blog pribadi anantabangun.wordpress.com

Leave a Reply