REFLEKSI

MENJADI SEMPURNA | Kotbah 23 Februari 2020

https://komsoskam.com/wp-content/uploads/2019/09/RP-Frans-Situmorang-OFMCap-768x708.jpg
Frans Situmorang OFMCap

Hari Minggu Biasa VII

Im. 19:1-2.17-18; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48

“Haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga”.

Untuk melindungi dan menghormati kehidupan, Taurat mengizinkan hukum pembalasan yang setimpal, supaya orang tidak bertindak sewenang-wenang. Menanggapi hukum ganti rugi ini, Yesus mengajak para pendengar untuk menyikapi segala bentuk kejahatan dan kekerasan dengan kebaikan. Membalas yang jahat dengan yang jahat akan memunculkan kejahatan baru. Yesus menekankan keharusan mengasihi, memberkati yang mengutuk, mendoakan yang menzolimi dan membiarkan diri dianiaya. Menginginkan kebaikan orang tanpa terpengaruh oleh kebusukannya ditawarkan menjadi alternatif. Orang diajak mengupayakan kebaikan tanpa batas, termasuk oleh agama. Kasih yang dibatasi pada kelompok tertentu tidaklah memadai.

Motivasi yang melandasi sikap ini ialah panggilan menjadi anak-anak Allah yang menerbitkan matahari dan menurunkan hujan tanpa menghitung apakah yang menikmatinya orang baik atau jahat. Anak-anak Allah mesti memiliki nilai plus melebihi pola pikir anak-anak dunia ini yang melakukan sesuatu untuk memperoleh balasan.Allah saja yang sempurna dalam kasih dan kebaikan, sebab Dia adalah kasih. Umat Allah diajak menjadi kudus, sebab Tuhan Allah adalah kudus.

Kekudusan itu mengalir dalam kehidupan harian dengan memperjuangkan kebenaran, kejujuran, kesetiaan, kasih; bukan terutama dengan beribadat.Kotbah di Bukit dapat kita dijadikan sebagai upaya meretas matarantai kekerasan, membangun solidaritas dan rekonsiliasi. Pendengar diajak untuk memutus lingkaran kekerasan, kejahatan, permusuhan, balas dendam. Inilah tugas dan panggilan umat Allah yang harus menampilkan wajah Allah yang murah hati dan sempurna dalam kasih. Kita diajak menjadi cerminan Allah yang murah hati dan mahabaik, yang selalu menginginkan perdamaian dan solidaritas di antara ciptaan-Nya.Suatu hari Minggu, seorang pastor membawakan khotbah tentang mengasihi musuh. Pada pertengahan khotbanya, ia berkata, “Saudara-saudari, barangsiapa di antara Anda yang tidak mempunyai musuh, saya persilahkan untuk berdiri.”

Pastor itu menunggu beberap saat, lalu mengulanginya dengan suara yang lebih keras, “Saudara-saudari, barangsiapa di antara Anda yang tidak memiliki musuh, saya minta untuk berdiri.” Setelah beberapa lama menunggu, tiba-tiba seorang nenek yang sudah berusia 80 berdiri. Pastor itu bertanya, “Apakah nenek memang tidak mempunyai musuh? Apa rahasianya?” Nenek itu berkata, “Benar, saya tidak mempunyai musuh. Sayalah perempuan yang paling tua di kampung ini. Dan semenjak lima tahun lalu, semua musuh saya sudah meninggal.”Kita hidup dalam dunia yang tengah disobek-sobek oleh perselisihan, permusuhan, silang sengketa, konflik dan perpecahan. Tragedi kemanusiaan mengancam kesatuan dan persaudaraan.

Kenyataan seperti ini sangat jauh dari rencana Allah yang menghendaki kebaikan kita semua. Di tengah dunia seperti itu, gambaran Allah yang murah hati kerap semakin pudar, karena mereka yang menyebut diri percaya akan Allah turut mencipta mengularnya matarantai kekerasan yang kian sulit diretas.Yesus mengajak para murid untuk merenungkan kembali hidup, tugas dan panggilan mereka untuk menata dunia yang semakin baik dan jauh dari kejahatan dan tindakan anarkis dengan menjadi pelopor kasih, solidaritas dan rekonsiliasi. Kita sadar bahwa upaya ini menuntut pengorbanan. Tetapi, hanya dengan cara demikianlah orang akan semakin mengenal dan percaya kepada Allah yang mahabaik. Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *