FOKUSNEWS

MENEMUKAN DAN MERAWAT WARISAN TOLERANSI BERAGAMA

Loading

Meneruskan Warisan Dokumen Abu Dhabi

Pastor James dengan jujur mengakui belum membaca Dokumen Abu Dhabi secara menyeluruh. “Hanya saja, melihat kembali jejak pengalaman sebelumnya, bahwa bagi seorang beriman, dialog tidak pernah ada masalah. Menurut saya, kehadiran kita di tengah mereka sudah menjadi kesaksian selaku umat Kristen. Bahwa kita bisa hidup bersama, tanpa saling mengganggu,” terang Imam Jesuit.

“Dengan membuka layanan pendidikan, kita bisa mendidik kaum muda dari latar belakang keyakinan berbeda. Mereka akan melihat dengan sudut pandang berbeda. Yakni, melihat gereja itu mendidik anak-anak mereka. Iman mereka tidak akan terganggu. Maka, kita tidak perlu menegaskan ciri khas Katolik. Apa yang kita berikan bermutu, tentu baik bagi kemanusiaan,” ucap Pastor yang kini melayani sebagai Rektor Graha Maria Annai Velangkanni di Medan.

Sementara bagi Pastor Alex, upaya dialog Gereja Katolik di KAM dengan keyakinan hendaknya dibenahi lebih baik lagi. “Saya katakan demikian berdasar pada hubungan antar-agama yang ada sekarang dan berdasar pada apa yang sudah dilakukan KAM selama ini. Yang namanya dialog antar-agama yang sesungguhnya dilakukan bersama atas kesadaran berdialog kan sesungguhnya belum ada? Belum ada langkah-langkah konkrit dan terencana untuk berdialog yang rancang dan dijalankan oleh umat KAM,” terang Imam Kapusini.

Menurutnya, “upaya” dialog yang sudah dilakukan KAM selama ini lebih pada aksidental saja, misal kalau ada event-event tertentu. “Seksi HAK sebagai corong KAM dalam hal ini, sejauh saya lihat program mereka tahun 2020 ini, sudah semakin menyasar agama-agama lain kendati sasaran utamanya masih lebih pada umat katolik sendiri, lingkup intern. Ke depan KAM harus berani membuat program yang menyentuh langsung umat yang non-katolik. Masih harus kerja keraslah.”

“Harapan saya sih, kita katolik harus pro-aktif untuk berbuat. Tidak ada alasan untuk tidak atau menunda karena Yesus datang membawa damai ke dunia ini dan Gereja kita semakin mendorong kita untuk menjalin toleransi ini,” tuturnya. “Paus kita Fransiskus sangat concern dengan hal ini. Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah mendekati untuk menjalin relasi dengan sebanyak mungkin mereka yang terbuka bekerja sama untuk mewujudkan toleransi ini. Orang-orang yang belum terbuka dengan hal itu jangan disasar dulu dan jangan diperhitungkan sebagai penghalang.”

Dia melanjutkan, dalam membangun toleransi, kita harus mengenal terlebih dahulu agama-agama lain, karena kalau keinginan untuk mengenal saja tidak ada bagaimana mungkin ada keinginan untuk berdialog dan membina toleransi berdasarkan agama?

“Jadi saya berharap umat katolik itu terbuka mempelajari sedikit banyak tentang agama Islam sebagai langkah awal untuk membangun toleransi. Misalnya, andailah ada seorang muslim yang tidak suka dengan kita, atau menganggap kita tidak suka dengan mereka atau agama mereka, mungkin ketidaksukaan itu adalah titipan dari dari orang lain. Lalu saat kita berjumpa dengan dia, kita ungkapkan pengenalan atau kekaguman kita pada satu poin kecil saja dari iman atau agama mereka, pastilah pada saat itu dia akan menganggap kita teman, dia tidak akan memusuhi kita lagi karena kita menunjukkan pengenalan dan kepedulian kita kepada mereka. Sesimpel itu sebenarnya menjalin relasi dan membangun dialog,” katanya menerangkan.

Pemahaman tersebut, dia mengakui, telah diperoleh semasa mengenyam pendidikan Arabic and Islamic Studies di P.I.S.A.I, Roma, Italy. “Belajar di PISAI memberikan kepada saya panorama umum dan lengkap tentang Islam. Tentu yang pertama Bahasa Arab. PISAI meletakkan dasar metode belajarnya kepada bahasa, berprinsip bahwa tidak mungkin mempelajari dan mengenal Islam dengan baik tanpa mengenal bahasa Arab. Maka memang sekolah kami sangat menekankan faham yang baik akan bahasa tersebut.”

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *