KATEKESEOPINIREFLEKSIREVIEWS

KISAH SENGSARA

Yes 50:4-7; Flp 2:6-11; Mrk 14:1-15:47/Hari Minggu Palma

RP. Frans Sihol Situmorang, OFMCap || Dosen STFT Pematangsiantar

Selama perang, beberapa orang mengunjungi sebuah rumah sakit militer dan mencoba menghibur pasien. Seorang ibu berhenti di pinggir tempat tidur seorang anak muda yang baru kembali dari medan pertempuran. Dengan rasa iba, ibu itu bertanya, “Nak, di mana kamu kehilangan tanganmu?” Tentara yang sangat muda itu menjawab, “Saya tidak kehilangan tangan, tapi saya memberikannya.”

Di awal Pekan Suci, kita mengenangkan sengsara Yesus. Warna liturgi merah melambangkan darah dan cinta yang membara. Kisah Sengsara tidak terutama mau menekankan kengerian, tetapi simpati dan belarasa. Kisah ini mengharukan bukan karena kesedihan dan penderitaan, tapi kelembutan dan kehangatan kasih yang ditampilkan Yesus. Kisah sengsara bukanlah ikhwal kemalangan dan derita, tetapi kisah cinta yang bertahan hingga akhir. Cinta yang tak kenal lelah dan yang takkan berhenti sebelum mencapai tujuannya.

Kisah sengsara mengingatkan kita bahwa kita tetap dapat bahagia dalam mencinta bila rela berkorban.Kisah ini menghilangkan keraguan menempuh jalan kasih, sebab jalan itu mengantar kita pada damai. Lawan Yesus ingin menghabisi dan mengakhiri hidup-Nya. Tetapi, kematian adalah awal kisah baru tentang kemenangan. Allah meninggikan Yesus dan menjadikan segala sesuatu bertekuk lutut kepada-Nya setelah Ia ditinggikan di salib.

Orang yang mencintai dengan pengorbanan yang paling mahal, dengan penyerahan hidupnya, adalah orang benar dan berkenan pada Allah. Prajurit yang menyaksikan peristiwa tersebut bersaksi, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah.” Pengurbanan Yesus menunjukkan bahwa tidak ada kasih yang sia-sia. Penderitaan yang paling konyol di mata manusia dapat menuntun orang pada Allah dan menemukan kebahagiaan dan nilai hidup sempurna. Jalan salib Yesus tidak berakhir di makam, tetapi pada kebangkitan untuk kehidupan kekal. Bagi orang yang berjalan dalam dan bersama Tuhan tidak ada yang mustahil.

Passio mengingatkan kita bahwa beban yang dipikul oleh orang yang murni cintanya sering sangat berat dan tidak jarang seakan mustahil. Yesus sendiri seakan menghindar, “Ya, Bapa, kalau Engkau mau ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Tetapi, kita tidak perlu merasa malu apabila merasa takut menghadapi penderitaan. Pengalaman itu dapat semakin mendekatkan kita pada Allah. Yesus mengajak kita supaya bangun dan berdoa. Kita diberi kekuatan dan keberanian untuk berjalan pada jalan salib.

Sengsara Yesus mengajak kita untuk menampilkan kekuatan dan jati diri kita yang terbaik. Dengan tubuh yang tergantung di antara langit dan bumi, Yesus mohon pengampunan bagi mereka yang menganiaya diri-Nya. Passio mengajar kita untuk mengampuni. Yesus menjanjikan firdaus bagi penjahat yang turut disalibkan bersama Dia. Oleh kematian-Nya, kita para pendosa masuk ke rumah Bapa bersama Yesus. Menjelang ajal, Yesus berkata, “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Passio mengajarkan bahwa sepanjang hayat kita mesti menyerahkan diri kepada Allah. Semoga kisah sengsara Tuhan Yesus meneguhkan kita di jalan pengabdian dan cinta kasih sejati, supaya kelak kita dimuliakan bersama dengan Dia. Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *