Gembala Berbau Domba
21 April 2024 | Hari Minggu IV Masa Paska – B | Kis 4:8-12; Mzm 118:1+8-9.21-23.26+28cd+29 ; Yoh 10:11-18
Kata gembala tidak asing bagi kita. Gembala punya peran penting untuk menjaga kawanan atau ternaknya. Tetapi tidak semua gembala sama tingkat perhatiannya pada kawanannya. Ada kalanya gembala lengah sehingga ternaknya bisa merusak tanaman orang lain tetapi gembala yang begitu perhatian mengikuti, menjaga serta menuntun ke rumput yang hijau dan sumber-sumber air. Dalam Injil hari Minggu ini (IV/B) Yesus menjelaskan perbedaan antara gembala sebagai pemilik dan upahan. Keduanya sama-sama gembala tetapi tingkat perhatian dan pemberian dirinya tidak sama.
Pertama, rasa memiliki. Pemilik tentu merasa bertanggung jawab dan memberi diri sepenuhnya lahir dan batin. Sedangkan upahan mungkin punya dedikasi tetapi sekedar untuk mendapat upah, motivasi ekonomis. Itu berarti pemilik sungguh punya dedikasi penuh.
Kedua, bobot cinta. Gembala mempunyai cinta (agape), cinta pengorbanan diri demi domba. Cinta itu mau memberi dan berkorban. Sedangkan upahan, mempunyai bersyarat, mau mencintai supaya mendapat balasan. Memberi sesuatu untuk mendapatkan imbalan.
Ketiga, berani ambil resiko. Gembala berani mengambil resiko, bahkan kehilangan nyawa demi keselamatan kawananan dombanya. Sedangkan upahan tidak ambil pusing dengan nasib dan hidup dombanya karena memang ada ‘jarak’ antara kawanan dengan dirinya. Dia tidak mau mengambil resiko. Kalau ada serigala, atau perampok, lebih baik lari dan kehilangan pekerjaannya dari pada mati.
Yesus menyebut diri “Akulah Gembala yang baik” (Yoh 10:11). Benar bahwa Yesus itu gembala baik, Dia sampai rela mati di kayu salib demi keselamatan umat manusia yang dicintai-Nya sampai sehabis-habisnya. Sabda Yesus ini, harus direnungkan lebih dalam lagi “Kamulah gembala baik”. Kini sebutan gembala dialamatkan kepada kita. Kita umat beriman dipanggil untuk menjadi gembala satu sama lain.
Kita dipanggil dan ditugasi menjadi gembala baik bagi mereka yang dipercayakan kepada kita. Kita gembala satu sama lain yang saling memperhatikan dan saling menuntun. Sebagai sesama umat, kita pun ikut bertanggung jawab akan hidup menggereja sesama kita. Sebagai orangtua menjadi gembala kepada anak-anaknya, sebaliknya juga anak-anak kepada orangtua ketika mereka sudah tua (lansia). Guru kepada anak-anak didiknya, pemimpin kepada bawahannya, sesama pegawi dengan rekannya yang saling menyemangati dalam tugas dan tanggung jawabnya.
Gembala sungguh menjadi gembala yang saling memberi diri bila dekat dengan sesamanya dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sepenuh hati. “Jadilah Gembala baik” dalam istilah Paus Fransiskus: “Jadilah Gembala Berbau Domba” (Evangelii Gaudium). Dekat dengan sesama jemaat, bersekutu dan saling meneguhkan satu sama lain dalam hidup iman. Amin.