Build a Home, Not Just a House

Tuhan telah menempatkan kita dalam setiap rencana-Nya. Kali pertama mendengar ini, aku menganggapnya tak lebih bualan untuk menghibur belaka, sebab sejumlah pengalaman tak baik di masa silam. Namun, perlahan aku mendapati kebenaran dalam kata mutiara tersebut. Baik dalam pengalaman yang membentuk pengetahuan yang kuperoleh kini, serta pertemuan dengan sejumlah insan yang menguatkan semangat turut dalam pewartaan Kabar Sukacita. Satu di antaranya adalah pertemuan dengan mas Kristinus Munthe.
Mulanya, kami temu dalam Pelatihan Indonesia Menulis pada 2014, yang digagas Komisi Komunikasi Sosial KAM — tempatku bekerja kini. Dari training itu, perbincangan dan bertukar gagasan pun kerap terjadi. Aku juga meminta dia untuk menuliskan artikel, tentang apa saja yang menarik atau penting. Dan Jumat (26/1/2018) kemarin, aktivis sosial di Focolare ini mengirimkan sebuah e-mail. Tersemat di dalamnya:
“Dear Ananta,
Takzim kubaca tulisannya, ternyata dia mengkaji sebuah film teranyar, “The Greatest Showman”. Masih segar dalam ingatanku, karena Sr. Angela Siallagan juga baru beberapa hari sebelumnya meminta artikel tentang film yang sama, untuk kusunting (dalam bahasa Inggris).
Aku sempat dilema memuat tulisan mas Kris. Namun, Istriku, Eva Barus, menganjurkan untuk menerbitkannya di blog pribadi ini. “Walaupun itu murni karya mas Kris, dan dimuat di blog kam, tentu lebih bernilai untuk menyebarkan ilham di dalam tulisan tersebut kepada lebih banyak orang,” katanya. Aku mengangguk.
Terima kasih, mas Kris. Dalam tulisan ini aku belajar, bagaimana menempatkan hati dan fikiran sepenuhnya, saat memetik inspirasi dari sebuah sinema layar lebar. Kita semua saling belajar dan berbagi ilham, sesuai dengan rencana-Nya.
***
“Build a Home not just a House”
Catatan kecil mengenai “Greatest Showman”
Sulit untuk menemukan kutipan dalam Bahasa Indonesia ketika ingin menuliskan catatan kecil setelah menyaksikan film “Greatest Showman”. Awal film sampai akhir film, kata “home” sangat menarik perhatian saya. Kata “home” selalu dihadapkan pada kata “house”.
Pada Cambridge Dictionary kata “house” merupakan kata benda yang mengacu pada rumah. Kata “home” merupakan kata benda yang mengacu lebih kepada hubungan personal dan cara emosional dimana beberapa orang tinggal. Konteks tulisan ini, saya menggunakan “home” sebagai keluarga dan “house”sebagai rumah.
Film Greatest Showman ini menampilkan figure Phineas T. Barnum dalam proses “build a home , not just a house”.
Proses membangun keluarga
Phineas merupakan anak penjahit pakaian yang miskin. Ayah Phineas menjahit pakaian Ayah Charity yang kaya raya. Karena hal ini, Phineas dan Charity sering bertemu di rumah Charity. Relasi Phineas dan Charity berlanjut meski Charity harus pergi ke luar kota untuk sekolah di asrama. Komunikasi diantara mereka dilakukan melalui surat secara intens. Sampai akhirnya Phineas datang ke rumah Charity untuk melamar Charity. Tentu lamaran tidak diterima dengan baik karena perbedaan strata sosial. Namun Charity bersikeras untuk hidup bersama Phineas sehingga Charity memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan hidup bersama dengan Phineas. Mereka hidup bersama dengan keadaan sangat sederhana. Apartemen kecil sederhana yang jauh berbeda dengan rumah Charity yang sangat mewah. This is my home…with you is enough.
Pentingnya komunikasi
Phineas seorang komunikator yang ulung. Dia bisa meyakinkan orang lain akan ide-ide serta impian yang akan dicapainya. Setelah di-PHK-kan karena perusahaannya bangkrut, dengan sedikit melakukan kecurangan, Phineas menjaminkan akta kepemilikan kapal dagang milik perusahaan yang bangkrut tersebut kepada bank untuk modal pinjaman mendirikan Museum Barnum. Museum ini memiliki koleksi binatang awetan yang tidak begitu baik lagi. Walaupun demikian, Phineas mampu meyakinkan Charity dan anak-anaknya akan prospek museum ini. Charity dan anak-anak ikut membantu mempromosikan museum ini meskipun hasilnya tetap kurang memuaskan.
Satu peristiwa ketika membawa tidur kedua putrinya, kedua putrinya menyampaikan masukan yang baik demi kemajuan Museum Barnum. “Kita perlu sesuatu yang hidup…yang sensasional”. Kata-kata putrinya ini sungguh mengena dalam diri Phineas. Muncullah ide untuk menampilkan orang-orang yang aneh dalam museum. Phineas mengumpulkan dan menyeleksi bakat orang-orang aneh ; orang cebol, orang tergendut, orang tertinggi, orang dengan tato di seluruh tubuh, manusia berbulu/anjing, perempuan berkumis dan berjanggut, orang albino dan negro yang pandai trapez. Mereka semua sangat terpesona oleh kata-kata Phineas yang mampu mengangkat martabat mereka. Mereka awalnya sangat sinis dan pesimis pada tawaran Phineas.
Kunjungan ke museum melonjak drastis. Banyak orang yang penasaran untuk melihat keunikan orang-orang seperti yang diiklankan Phineas di papan pengumuman. Para penonton juga sangat antusias dan sangat terhibur akan penampilan Phineas dan teman-teman anehnya itu. Banyak yang senang dan ada pula yang tidak senang. Kritikus teater menganggap penampilan Phineas dan teman-teman sebagai sebuah penipuan. Meskipun demikian penonton tetap berdatangan dengan antusias untuk menyaksikan pertunjukan mereka. Keuntungan besar diperoleh Phineas dari pertunjukkan itu.
Haus akan pengakuan
Phineas akhirnya bisa membeli rumah impian yang mereka kunjungi sejak kecil. Sebuah kejutan buat Charity dan anak-anak. Rumah besar dan mewah yang dekat dengan rumah orang tua Charity. Pembelian rumah ini tidak terlepas dari pembuktian akan keberhasilan Phineas kepada orng tua Charity bahwa Phineas mampu membahagiakan Charity. Di sini titik kelemahan Phineas sebagai manusia yang tiba-tiba sombong atas keberhasilan usahanya.
Phineas semakin haus akan pujian dan ketenaran. Untuk memuaskan rasa haus akan pujian dan ketenaran itu, Phineas menjalin relasi dengan Philip Carlyle penulis skenario ternama dari keluarga kaya. Phineas membuat kerjasama dengan Carlyle agar pertunjukan Phineas terkesan berkelas sehingga orang kaya mau datang ke pertunjukan tersebut. Usaha ini tampaknya berhasil karena Phineas mulai masuk dalam pergaulan orang-orang kaya. Keberhasilan Carlyle yang menguntungkan Phineas yakni diundangnya Phineas dan teman-teman oleh Ratu Elisabeth ke Istana Buckingham. Pada jamuan Ratu Elisabeth tersebut, Phineas juga bertemu dengan seorang penyanyi soprano klasik yang dikenal sebagai “burung nightingale Swedia” Jenny Lind. Atas desakan Phineas, Carlyle mengenalkan Lind pada Phineas. Phineas berhasil meyakinkan Lind untuk mengadakan tur konser di Eropa.
Ambisi Phineas tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan penolakan dari masyarakat kalangan atas. Kritikus teater yang menempatkannya pada “Pangeran Para Penipu” bukanlah tujuannya. Phineas ingin mendapat tempat di masyarakat kalangan atas. Ambisi tersebut merenggangkan komunikasi Phineas dengan Charity dan anak-anaknya. Charity merasa hancur atas sikap Phineas. Bagi Charity, apa yang dilakukan Phineas sudah cukup memberi kebahagiaan bagi dirinya dan anak-anak. Namun bagi Phineas hal itu belum cukup dan semua dilakukan demi anak-anaknya.
Teman-teman anehnya di pertunjukan juga semakin tidak mendapat tempat dalam diri Phineas. Phineas memberi tanggung jawab kepada Carlyle untuk mengurus pertunjukan dan para pemain sirkus tersebut. Para pemain sirkus merasa semakin tidak diperhatikan oleh Phineas. Hati mereka merasa hancur…”jangankan berbicara, menyapa saja pun tidak”. Phineas membuat pertunjukan sebagai alat untuk memperoleh dana yang dapat dipergunakan untuk membiaya tur konser Lind untuk kalangan masyarakat atas. Konser berhasil dengan baik di beberapa kota. Merasa cukup berhasil, dengan sombongnya Phineas mengusir orang tua Charity dari jamuan pasca konser Lind di kota. Phineas harus meninggalkan Charity dan anak-anak demi mendampingi Lind selama konser. Karena intensitas pertemuan selama konser, Lind jatuh hati pada Phineas. Phineas menyadari dampak buruk akibat perasaan Lind padanya. Phineas memutuskan untuk pulang dan meminta Lind untuk melanjutkan konser tanpa dirinya. Pada akhir konser sebelum Phineas pulang, Lind sengaja mencium Phineas di depan penonton sehingga menebarkan skandal melalui berita.
Kejatuhan…
Phineas kembali ke kotanya untuk menemui Charity dan anak-anaknya. Ketika sampai di kotanya, Phineas menemukan bahwa gedung pertunjukkannya habis terbakar karena beberapa pemabuk yang tidak suka dengan keberadaan pemain aneh di sirkus terlibat perkelahian dengan pemain sirkus. Carlyle menderita luka bakar akibat kebakaran itu.
Belum selesai meratapi kebakaran, Phineas diterpa isu skandal dengan Lind melalui media. Lind juga menghentikan tur konsernya sehingga meninggalkan hutang yang banyak buat Phineas. Phineas menjumpai Charity untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Phineas kembali ke rumah dan menjumpai Charity yang telah berkemas untuk pulang ke rumah orang tuanya. Usaha pertunjukkan yang dirintisnya hancur. Keluarga yang dimilikinyapun menghilang. Phineas meratapi hidupnya dengan mabuk-mabukan di kedai minuman.
This is me…sebuah pemulihan diri
Akhir segmen film ini menyuguhkan banyak pernyataan yang sangat mendalam. Sangat benar pernyataan kritikus teater yang sangat sinis pada Phineas dan akhirnya mengakui bahwa yang dilakukan oleh Phineas adalah “perayaan pertunjukkan kemanusiaan”. Kritikus itu mengapresiasi Phineas yang berhasil mengumpulkan berbagai orang dengan berbagai bentuk, asal dan warna kulit. “sungguh mengagumkan walaupun saya tetap tidak menganggapnya sebagai sebuah pertunjukkan seni.
Para pemain sirkus mencari dan menemukan Phineas dalam kedai minuman. Mereka memberi dukungan pada Phineas untuk bangkit kembali dan memulai lagi bisnis pertunjukkan. Mereka sempat kecewa pada Phineas namun menyadari bahwa Phineas telah mengumpulkan mereka dalam sebuah keluarga (home) yang baru. “Bahkan orang tua kami menyembunyikan kami dari dunia luar. Kamu mengangkat martabat kami sehngga kami berani keluar dan menunjukkan inilah diri kami”. Mereka menyadari bahwa mereka sekarang menjadi bagian sebuah keluarga dari latar belakang yang berbeda. Layaknya sebuah keluarga maka penting untuk memberi dukungan ketika anggota keluarga lain terpuruk.
Carlyle juga memperbaharui relasi dengan Phineas melalui bantuan keuangan sehingga menjadi rekan kerja Phineas. Dukungan ini menyadarkan Phineas dari suasana hati yang meratap atas peristiwa yang menimpanya. Foto Phineas beserta Charity dan anak-anak yang tergantung di kedai minum itu juga menyadarkan Phineas atas kesalahannya.
Phineas menemui Charity di pantai tempat mereka sejak kecil bertemu dan berkomunikasi kembali. Dalam pembicaraan tersebut Charity memaafkan perbuatan Phineas yang ambisius tersebut. Phineas pun berani menyatakan kesalahan dan permintaan maaf pada Charity. Cerita berakhir bahagia…Phineas memulai kembali membangun keluarganya.
Banyak hal yang dapat dipetik dari film musical “Greatest Showman” ini. Tokoh Phineas menunjukkan pentingnya komunikasi yang tulus dan intens dalam menjalin relasi. Komunikasi artinya mendengar dan didengarkan tidak penting itu lebih muda atau lebih tua sehingga harus dihormati.
Jalinan komunikasi yang terbentuk ini harus disertai kesetiaan dan rasa saling percaya. Charity memberi kesetiaan dan kepercayaan penuh pada Phineas dan impian yang ingin diwujudkannya. Kekuatan dari kesetiaan dan kepercayaan itu senantiasa menyadarkan Phineas sehingga terhindar dari skandal perselingkuhan.
Tidak ada yang pernah membuat perbedaan dengan menjadi seperti orang lain. Kita tidak perlu menyesal dengan latar belakang hidup keluarga dan strata sosial. Inilah diriku dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam diriku. Ambisi untuk mendapat pengakuan seringkali mengerdilkan diri dan hidup dalam kemunafikan. Perlu kesadaran diri dan perjuangan untuk lepas dari jebakan ambisi ini saat berada pada puncak kesuksesan.
Yang terpenting dari pernyataan Charity sehingga menyadarkan Phineas akan pemenuhan kehausan ambisinya yakni “kamu tidak perlu setiap orang untuk mencintaimu, cukup beberapa orang baik”.
Sering kali kita berusaha agar setiap orang mencintai kita tanpa menyadari bahwa ada beberapa orang baik di sekitar kita yang senantiasa mencintai kita dengan tulus. Orang-orang tersebut tidak lain adalah keluarga (home).
Maka bangunlah keluarga…tidak sekedar rumah dimanapun kita berada. (So build a home, not just a house)
Ditulis oleh: Kristinus Munthe
