Awas, Pemakaman Karakter!!
“Mengapa LEBAH cepat menemukan bunga? Sedangkan LALAT cepat menemukan kotoran? Karena naluri lebah hanya untuk menemukan bunga, sedangkan naluri lalat hanya untuk menemukan kotoran. LEBAH tidak tertarik pada kotoran. Sebaliknya, LALAT tidak tertarik pada harum dan keindahan bunga.
Alhasil, LEBAH kaya akan madu sedangakan LALAT kaya kuman penyakit.” Demikian kata-kata seorang motivator yang menganut kepercayaan, “apa yang kamu pikirkan tentang orang lain atau sesuatu biasanya itu yang kamu dapatkan, sebab kamu memang selalu memandang mereka dengan kacamata pikiranmu itu. Kalau kacamata Lebah ya .. kamu dapat madu .. kalau kacamata Lalat … ya kamu dapat kotoran.” Saya sedikit banyak mengamini juga cara pikirnya itu.
Berawal dari seorang teman …
Pagi hari, ketika tahu seorang teman lagi sibuk-sibuknya, dengan sengaja saya kerjai dia. Saya kirim sms:
“Lagi sibuk ya?” (Itu hanya basa-basi sebab saya tahu ritmenya)
“Iya … memang ada apa ya?”
“Ada yang sangat penting mau kukatakan …”
“Oh … tunggu ya … nanti saya telepon balik …”
“Ok ..” (Dalam benak saya terbayang: dia buru-buru meninggalkan kerjanya, pasti dengan harap-harap cemas. Kemudian dia telepon saya …)
“Ada apa tadi, kok tumben bicara seperti tadi ..”
“Gimana kabarnya? Baikkah?”
“Oh … baik-baik saja … kamu kenapa … lagi ada masalahkah?”
“Endak juga, tetapi memang ada yang sangat penting mau kukatakan untukmu ..”
“Wah … apa itu ya?”
“Iya … penting sekali …”
“Apa?”
“AKU MENGASIHIMU …” (Sengaja saya buat lambat-lambat. Saya tunggu reaksinya. Dalam benak sudah saya bayangkan reaksinya, dan benar saja perkiraan saya itulah yang terjadi …)
“Ihh … itu aja pun… kukira tadi entah apa, … iihhh …” (Lalu dia mulai merepet sana-sini. Saya cengar-cengir saja, sebab sudah memperkirakan reaksi itu sebelumnya.)
Saya katakan “kerjai”, tidak berarti saya main-main dengan kata AKU MENGASIHIMU itu. Konteks kerjai itu hanya dalam hal pemilihan waktu saja, yakni tepat saya pilih ketika dia sibuk. Soal “mengasihi” itu memang betul demikian. Saya sungguh-sungguh dengan kata itu. Pengakuan itu mun¬cul setelah sekian lama mengenal dan bergaul dengannya; setelah ada ragam pengalaman yang terjadi.
Cuplikan cerita tadi bukan bohong-bohongan, tetapi real terjadi. Titik renung yang mau disasar: orang cenderung menganggap berita baik-agung-mulia seperti AKU MENGASIHIMU bukan berita penting, malah dianggap main-main. Sementara kalau saya mengatakan, “Kamu tahu enggak kalau Pastor IT itu tak pernah ibadat harian, dan lihat saja bentar lagi dia akan mengundurkan diri …”, ini pasti dianggap berita penting. Karena begitu pentingnya, tidak lama kemudian akan menjadi menu percakapan tambahan di meja-meja makan. Tampaknya memang tiap orang memiliki “spirit” jurnalis: bad news is good news (berita buruk adalah berita baik).
Secara naluriah, berita negatif memang sering dianggap lebih penting, lebih menarik, dan tentu cenderung lebih lama diingat. Tetapi apakah lebih membangun, lebih menggembirakan? Rasanya tidak. Secara tak sadar, energi dari dalam diri akan dikuras saat mendengar berita-berita negatif, sebaliknya kabar sukacita justru akan menambah energi. Bisa dibuat tes sederhana: tontonlah video pemenggalan oleh ISIS lalu tonton juga cuplikan Kick Andy. Bandingkan perasaan yang muncul setelahnya! Saya telah coba: video ISIS itu membuat mual, muak dan anti-pati, sedangkan video kedua menyegarkan pikiran.
Saya amat-amati, kecenderungan untuk menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi daripada menyebarkan hal-hal positif. Misalnya saja, berita tentang seorang suster yang keluar akan cepat tersebar/menyebar/disebarkan, daripada misalnya berita tentang seorang suster yang kena malaria tropicana karena harus berjibaku di tanah misi. Itu kecenderungan, tetapi haruskah tunduk pada kecenderungan? Tidak rasanya.
Aku mencintaimu atau Aku membencimu
Kalau ada orang yang mengatakan kepada saya, “Pastor aku mencintaimu,” atau “Pastor aku membencimu” saya tidak sekadar menerima informasi yang berguna bagi saya. Kata-kata itu mengerjakan sesuatu dalam diri saya. Kata-kata itu membuat darah saya bergerak, jantung saya berdetak, nafas saya menjadi lebih cepat. Kata-kata itu mempunyai daya untuk menyembuhkan atau malah menghancurkan saya.
Secara ilmiah, kekuatan kata-kata manusia itu sudah dibuktikan: Prof Emoto Masaru (http://www.masaru-emoto.net/english/water-crystal.html) dari Jepang telah meneliti kristal-kristal air selama bertahun-tahun. Kemudian dia menemukan bahwa air yang dihadapannya diucapkan kata-kata syukur, terimakasih, ganteng, cantik atau kata-kata positif lainnya kemudian memiliki kristal-kristal yang sungguh indah dan teratur. Sementara air yang dihadapannya dirapalkan setiap hari kata-kata buruk, misalnya bodoh, pembunuh dst… memiliki bentuk susunan kristal yang jelek dan menyeramkan. Ini menunjukkan bahwa kata-kata manusia itu punya daya yang menghidupkan tapi juga daya yang merusak.
Model Problem Solving dan Appreciative Inquary
Perbincangan sebelumnya, lebih menyangkut gerakan pribadi; ajakan untuk memakai kata-kata positif. Berikut coba kita lihat, dalam konteks gerakan bersama dalam sebuah organisasi (Gereja).
Ada ragam model yang digunakan untuk mengembangkan sebuah organisasi. Model Problem Solving (PS) dan Appreciative Inquary (AI) adalah dua diantaranya. Model AI dimulai pada 1987 oleh Cooperrider DL & Srivastva, S. (1987), pakar tentang organisasi.
Ini merupakan semacam pemberontakan pada model PS, yang dianggap tak memadai lagi untuk membenahi sebuah organisasi. Hakekat AI dan PS sebenarnya sama yakni, ingin membuat organisasi berjalan lebih baik. Namun bagi Cooperrider dan Srivasti model PS tak lagi cocok. Model PS melulu menanyakan apa masalah, dan bagaimana mengatasinya. Model PS masih melandaskan pada asas insentif/ penghargaan (bagi yang berprestasi) dan punishment/hukuman (bagi yang tidak berprestasi). Model PS otoritatif, dan bahkan dianggap jauh dari persuasif. Padahal tujuannya adalah, bagaimana membenahi organisasi.
Nampaknya, akhir-akhir ini sudah semakin banyak perusahaan yang menggunakan metode AI ketimbang PS. Mengapa AI? Model ini memaksa manajamen atau pimpinan perusahaan untuk mendengar, ketimbang menanyakan masalah semata. Model PS, ekstremnya demikian: ketika kita mencoba memecahkan sebuah masalah, sering terjadi masalah itu malah jadi dua (sebab sudah dipecah), lagi pula kemungkinan munculnya resistensi/perlawanan sangat besar dengan model PS. Efek psikologis yang ditimbulkan dari pendekatan ini adalah kita akan merasa bahwa ternyata masalahnya banyak sekali dan untuk memecahkannya akan sulit sekali.
“Menurut kamu, apa yang terbaik, dan apa yang paling berkesan?” demikian kira-kira pesan model AI ini. Model AI ini, menurut dua pakar itu, menuntut kita untuk berkomunikasi langsung, bahkan sampai komunikasi “one on one”. Mendengar siapa saja yang dianggap bisa memberikan ide tentang perbaikan organisasi.
Contoh konkret: Ada seorang bapak yang marah pada anaknya, dan bertanya, “kenapa kamu malas-malas saja?”, dengan nada tinggi. Model AI menuntut, si bapak ini harus menyelami betul apa yang membuat anaknya malas. Si bapak kemudian memilih untuk berkomunikasi dari hati ke hati. Dite-mukanlah, si anak malas karena merasa dilecehkan rekan sekelasnya. Artinya, model AI membutuhkan afeksi, empati, understanding. ( info lain misalnya di http://www.academia.edu/3666487/ Mengenal_Appreciative_Inquiry)
Kemana arah pembicaraan?
Kalau diringkaskan, baik Prof Emoto Masaru maupun pendekatan pengembangan organisasi model Appreciatif Inquary, sama-sama menawarkan: penggunaan kata-kata positif meneguhkan ketimbang kata-kata negatif melelahkan; lebih melihat kemungkinan pengembangan daripada masalah-masalah. Paling tidak ada tiga titik refleksi yang menggugah saya:
Pertama, hati-hati berkata-kata atau menyebarkan kata-kata, terutama dengan kata-kata negatif. Setiap kata yang lepas punya daya tertentu, entah merusak entah membangun. Jangan-jangan komentar-komentar saya malah mematikan/memakamkan karakter orang lain. (Tapi juga saya harus hati-hati dengan tulisan ini sendiri, sebab mungkin akan memancing komentar negatif juga hehe …)
Kedua, sebagai seorang Pengurus Gereja/Pastor yang sering menyampaikan kotbah boleh bertanya: Apakah aku lebih banyak bicara tentang dosa-dosa yang menakut-nakuti (hal-hal negatif ) daripada rahmat yang menyegarkan (hal-hal positif, kemungkinan-kemungkinan)? Apakah kotbahku menggugah semangat umat untuk berbuat baik atau malah berseru dalam hati sembuhkan dahulu dirimu tabib?
Paus Fransiskus berpesan (saya per¬luas pesan itu), “hendaknya wajah-wajah orang Katolik yang pulang dari Gereja (doa lingkungan/pernikahan/ tahbisan/kaul kekal dll) jangan seperti wajah orang yang baru pulang dari pemakaman (bisa juga dibaca-direfleksi¬kan: jangan jadikan Gereja Pemakaman Karakter dengan pintu mimbar kotbah)” Saya perhatikan, soal keceriaan itu sangat banyak dipengaruhi oleh kotbah-kotbah yang disampaikan forhanger/ pastor/uskup. Kotbah yang baik biasanya membangkitkan karakter baik yang ter¬pendam di dalam diri pendengar.
Ketiga, lewat model AI, si Bapak/Pimpinan membuat anaknya merasa telah didengar, dimengerti dan dipahami. Dia tidak hanya menjadi sasaran pertanyaan atau kemarahan (apalagi di hadapan publik misalnya), “Mengapa kamu malas?” karena si anak sudah tahu bahwa ia sedang malas. Dia hanya ingin sesuatu agar kemalasannya, yang dia tahu turut mengganggu dirinya, bisa dia lepaskan.
RD Irfantinus Tarigan
Imam Diosesan Keuskupan Agung Medan