Mengelola gosip !

Ada analisis kecil-kecilan tentang ‘gosip-menggosip’ , bukan penelitian dengan hitung-hitungan statistik yang lengkap dengan perhitungan margin error-nya. Niat saya sekadar mengkaji gosip secara serius, tanpa masuk ke ranah penilaian moral tentang gosip. Tapi juga tak lepas dari ‘viral-nya’ katekese Paus Fransiskus tentang gossip: “… lidah itu membunuh sama seperti belati. Waspadalah! Penggosip adalah terroris, sebab dia melemparkan bom dengan lidahnya, lalu pergi diam-diam, tetapi kata-katanya itu, bom itu, menghancurkan nama baik orang lain. Jangan lupa: menggosip adalah membunuh” (Le Dieci Parole, 2019). Mamma mia … keras sekali kata-kata itu! Katekese itu kemudian dibagi-viralkan umat beriman di jejaring facebook atau Whatsapp-nya. Saya duga-duga, tentu sambil senyum-senyum dalam hati: barangkali mereka korban gosip, lalu kata-kata paus menjadi sebentuk serangan balik cerdas; aahhh … mungkin juga sekadar mengingatkan: jangan menggosip!!!
Demi mempermudah lingkup analisis, saya memutuskan untuk mencari informasi di kalangan para Suster dan Pastor saja. Ada empat jenis pertanyaan saya: adakah gosip-menggosip di kalangan religius? terkait apa biasanya? alasan/fungsi menggosip? efek gosip? Saya kirimkan pertanyaan ke banyak orang melalui whatsapp. Ada 25 orang yang memberikan jawaban balik. Maka tentu anda bisa punya pemikiran: analisanya hanya berlaku untuk 25 orang atau mengambilnya sebagai gambaran umum. Terserah anda hehee …
Semua responden mengatakan kalau di komunitas religius juga ditemukan gosip-menggosip, meskipun bukan sebuah ‘kebiasaan’. Ada beragam isinya: problem/kegagalan/kekurangan pihak ketiga yang tak hadir saat pembicaraan tetapi juga terkadang kesuksesan orang ketiga bisa menjadi bahan gossip. Kemudian, setelah membaca dan menganalisis jawaban yang diberikan, saya menemukan bahwa alasan gosip-menggosip itu bisa dimasukkan dalam klasifikasi yang dibuat oleh E.K. Foster (2004, DOI: 10.1037/1089-2680.8.2.78): pertukaran informasi, sekadar untuk hiburan, perekat pertemanan antara penggosip-pendengar (sebab itu, gossip biasanya terjadi antar teman karib), menancapkan pengaruh (misalnya dengan cara membanding-bandingkan), kontrol sosial (misalnya, soal bagaimana berperilaku sesuai aturan), dan sebagai sarana pelepas marah serta rasa gelisah. Kalaulah fungsinya demikian, maka bisa dikatakan bahwa gossip merupakan proyeksi situasi batiniah (kecemasan, kemarahan, keinginan dll) yang diekspresikan ke luar, dan kemudian jika lawan/konteks bicara memberikan dukungan maka gosipnya akan berkembang (cf. Chua & Uy, 2014, http://www.na-businesspress.com/AJM/ChuaS_Web14-3.pdf). Tiada responden yang melihat efek positif dari gossip.
Meskipun, gosip sering disematkan sebagai prilaku khas para wanita, tetapi sepertinya tidak sepenuhnya benar. Penelitian empiris menemukan bahwa perbedaan frekuensi gosip antara wanita-pria kecil saja (Robbins & Karan, 2009, DOI: 10.1177/1948550619837000). Sebab itu, kalau mengikuti katekese paus, dalam satu atau dua kesempatan“lidah kita pernah membunuh seseorang” hehee. Para tulang dan nantulang janganlah terlalu mengernyitkan dahi merasakan nada-nada moralistis-pesimistis saya. Bayangkan situasi di gereja atau tempat kerja anda: bagaimana gosip bergulir di situ? apa jenis dan efek-nya? Mari coba gunakan gosip yang bergulir sebagai lahan pembelajaran untuk manajemen komunikasi yang lebih baik atau pengembangan diri/organisasi. Caranya?
Gosip itu selalulah sebuah instrumen. Tiada orang menggosip hanya untuk sekadar menggosip, selalulah ada sesuatu yang dicari dibaliknya: entah informasi, entah hiburan, entah mau menancapkan pengaruh atau malah sebagai ekspresi kemarahan. Sebab itu kita perlu menemukan ‘sesuatu di balik gosip itu’. Misalnya, kalau gosip seputar Mr. X yang cari perhatian sama si bos, maka bisa jadi nuansa kecemburuan-persaingan sosial sedang berkecamuk dan si penggosip ingin mendapat perhatian, atau malah ini menjadi pertanda kekurangmampuan si bos dalam memilah informasi.
Terkadang gosip digunakan juga sebagai sarana pelepas stress atau kemarahan. Bawalah dalam pikiran anda misalnya soal gosip tentang sebuah rumah sakit atau sekolah katolik!! Misalkan, kalau pergi ke rumah sakit x berarti cuma mengantar nyawa, bahh ngeri ya … dan gosip pun bergulir. Pihak terkait tentu akan panas telinga-hati, dan mungkin membombardir dengan gosip-gosip tandingan, yang biasanya tak akan sukses. Tentu direktur yang matang bisa mencoba menginventaris ragam gosip yang berseliweran, menganalisanya, melihat benar tidaknya, kemudian memutuskan langkah perbaikan. Bisa jadi hanyalah masalah kurangnya keramahan di meja resepsionis, tetapi bisa juga memang bisa benar adanya hanya saja pihak terkait tenggelam dalam cerita sukses masa lalu. Moga-moga tulisan ini tidak jadi sumber gosip baru ya heheee …