Arti Penting sebuah permainan Tradisional
Dalam psikologi perkembangan anak, permainan adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam dunia anak. Boleh dikatakan bahwa permainan masa kecil meskipun tampak sepele merupakan miniatur atau gambaran realitas di masa depan yang akan dihadapi oleh anak kelak ketika ia dewasa.
Dalam dua mata kuliah yang saya dapatkan, psikologi perkembangan dan psikologi proses pemahaman anak, saya awalnya merasa kecewa. Saya berpikir koq malah mempelajari hal yang tampak sepele ini: dunia anak dan realitas mereka. Ternyata, perasaan yang saya alami ini dialami juga oleh teman-teman yang lain yang mendorong mereka akhirnya bertanya kepada dosen yang mengajar kami: “Mengapa kita menghabiskan energi mempelajari masa kecil anak & mengapa tidak fokus saja pada masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh orang-orang dewasa saat ini?” Dengan tenang sang dosen menjawab: “Justru karena kita prihatin dan peduli dengan masalah-masalah aktual orang dewasa saat ini maka perhatian pada realitas anak-anak mendesak. Segala kesuksesan dan kegagalan di masa dewasa, meskipun bukan seluruhnya, bisa ditelusuri pada bagaimana umumnya perkembangan dan kehidupan seseorang ketika ia masih kanak-kanak. Itu sebabnya, mata kuliah ini sangat penting”. Kesadaran inilah yang membuat saya kembali merefleksikan jauh ke belakang di masa kecilku dulu.
Satu hal sepele yang sedang hilang dalam dunia anak saat ini adalah aspek permainan khususnya permainan ‘tradisional’ yang banyak melibatkan gerakan tubuh dan aturan-aturan. Froebel, seorang pedagog Jerman, mengatakan bahwa melalui permainan, si anak sebenarnya sedang membangun relasi dengan dirinya sendiri, dengan objek dan kenyataan di luar dirinya, dan dengan orang lain. Sebagaimana kita alami juga, permainan itu bukan sesuatu yang asal jadi. Meskipun sepele tetapi setiap permainan membutuhkan komitmen, perlu menetapkan tujuan dan lumrah terjadi bagi mereka yang berhasil dalam permainan akan diberi penghargaan atau hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Dalam permainan seorang anak sedang menguji kemampuan diri sendiri dan untuk itu ia harus berusaha sekuat tenaga dan akal, mengembangkan inisiatif dan bersikap proaktif. Bahkan suatu waktu ia harus menghindari rasa frustrasi kalau misalnya kalah atau tidak berhasil.
Dengan kehadiran teknologi digital (game) anak-anak memang tetap bermain dan merasa happy. Tetapi sebenarnya tetap juga ada aspek yang hilang. Coba anda bandingkan dengan kisah yang ditulis oleh Maria Montessori (ahli pedagogi Italia) ini: seorang anak berusia sekitar 1,5 tahun berada di sebuah taman. Ia berusaha mengisi ember dengan kerikil. Ketika pengasuhnya menggendongnya untuk membawanya pulang, dia mulai menangis kesal. Menyadari ini, pengasuh itu lalu mengisi ember dengan maksud memuaskan keinginan sang anak. Ternyata tidak! Si Anak ingin melakukannya sendiri. Dia ingin mencapai tujuan pribadi, mengkoordinasikan gerakan, melatih kekuatan otot mengangkat benda, memakai mata untuk beradaptasi dengan jarak. Dalam dunia permainan serentak terjadi perkembangan kognitif, sosial, motorik dan emosional seorang anak.
Permainan merangsang aspek kompetitif, kolaborasi, siap berisiko, fiksi dan fantasi, menuntut keterlibatan penuh, rasa senang dan kebebasan. Singkatnya, permainan merangsang berbagai aktivitas dan pengalaman eksistensial kemanusiaan. Untuk itulah saya kira mengapa aktivitas-aktivitas out-bound atau kegiatan adventure eksplorasi alam tetap laku bahkan semakin menjamur akhir-akhir ini. Masalahnya, untuk semua ini dibutuhkan biaya yang tak sedikit dan cenderung berlaku hanya untuk kalangan terbatas bila dibandingkan dengan permainan ‘tradisional’ yang dapat diperoleh kapan saja asalkan ada kesepakatan bersama.
Para pendidik di sekolah dan orang tua hendaknya menyadari hal ini. Teknologi digital tetap ok tetapi harus disadari kelemahannya (membuat anak menjadi pasif dan penikmat). Katanya, kalaupun teknologi digital itu tidak lagi terhindarkan doronglah anak-anak bukan sekadar penikmat (konsumen) tetapi menjadi produsen yang dapat menghasilkan game baru. Inilah yang pernah ditekankan oleh Seymour Papert (ahli Matematika dan komputer AS) dalam sebuah wawancara pada tahun 1997. Menurutnya, salah satu keberhasilan anak-anak milenial adalah ketika ia bisa menciptakan video-game sendiri. Kesalahan televisi, media, bahkan sekolah, terletak pada penyajian pengetahuan yang memanjakan anak; anak-anak hanya mengkonsumsi, tetapi tidak didorong untuk memproduksi. Tetapi bagaimana persisnya?
Benny Ardi Manurung,OFMCap*)