KATEKESENEWSOPINIREFLEKSIREVIEWS

IMAN DAN BERIMAN

Loading

Bagaimana kita tahu bahwa kita memiliki iman?

Santo Thomas Aquinas (teolog abad ke-13) mengatakan bahwa iman adalah pengakuan atau penerimaan yang diberikan oleh pikiran (akal budi) akan apa yang tidak dapat dilihat atau dibuktikan tetapi diterima benar atas dasar perkataan dan wewenang orang lain. Kepastian iman itu jelas dan sederhana: kamu memiliki iman jika kamu memercayai perkataan orang lain. Ketika kamu atas iman menerima apa yang dikatakan seseorang, berarti kamu percaya pada apa yang dikatakan orang lain kepada kamu meskipun kamu belum secara pribadi menyaksikannya, mungkin juga tidak memahaminya, atau mungkin merasa sulit untuk memercayainya. Dengan kata lain, iman berarti setuju dengan, percaya, memercayai sesuatu, tanpa bukti kuat, yang kamu sendiri tidak dapat ketahui atau pahami. Contoh konkret adalah tanggal dan tempat lahir kita. Orang yang dapat memberi kesaksian yang benar tentang tempat dan tanggal kelahiran kita adalah ibu yang melahirkan kita dan orang yang melihat kita dilahirkan atau segera sesudah dilahirkan. Petugas pencatatan sipil langsung percaya bahwa ayah kita adalah si A dan ibu kita si Anu dan kita dilahirkan di tempat C pada tanggal D.

Dengan contoh di atas, iman tidak berbeda dari menerima bahwa pandemi covid-19 itu ada walau kita tak dapat melihat dengan mata sendiri atau mengetahui dan memahami dengan akal budi kita. Akan tetapi, memiliki iman (beriman) sedikit lebih rumit. Memiliki iman berarti dapat hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, bahkan pertanyaan yang tidak terjawab. Misalnya, mengapa kejahatan ada di dunia? Mengapa manusia berperang? Mengapa ada terorisme dan teroris, penyakit, pandemi covid-19, bencana alam, musibah seperti jatuhnya pesawat Sriwijaya, dan kejahatan lainnya? Iman tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mungkin ada orang berpikir bahwa jawaban atas kenyataan di atas adalah “Yah, itu kehendak Allah.” Jawaban ini tentu saja tidak memadai pun tidak memuaskan. Iman, bagaimanapun, memberi kita keberanian untuk tetap memiliki pegangan dan bertahan hidup tanpa memiliki jawaban atas segala masalah yang kita hadapai. Alih-alih memberikan seperangkat jawaban atas enigma (masalah misterius dan sulit dimengerti) yang menyakitkan dan rumit, iman menyediakan sarana untuk bertahan, bukan menyerah.

Bagi umat Katolik, iman adalah kebajikan supranatural yang diberikan kepada manusia oleh Allah. Apa yang kita perbuat atau tidak kita perbuat dengan iman, hal itu benar-benar terserah pada kita. Allah menawarkan iman dengan bebas kepada siapa pun dan semua orang, tetapi iman itu harus diterima dengan bebas juga. Tidak ada yang bisa dipaksa untuk memiliki atau menerima iman. Dan ketika iman itu diberikan, setiap individu merespons secara berbeda – pada tingkat yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda. Ada menolaknya, orang lain mengabaikannya, dan yang lain memperlakukannya dengan suam-suam kuku; namun ada juga sangat menghargai iman mereka. Santo Thomas berkata, “Bagi mereka yang percaya, tidak ada penjelasan yang diperlukan, dan bagi mereka yang tidak percaya, tidak ada penjelasan yang memungkinkan” (For those who believe, no explanation is necessary, and for those who do not believe, no explanation is possible).

Baca juga  HARI MINGGU SEBAGAI HARI TUHAN

Iman Katolik melibatkan lebih dari sekedar percaya bahwa Tuhan ada. Iman itu adalah tentang percaya akan Allah dan apa pun yang diungkapkanNya (diwahyukan) dulu, sekarang,  dan nanti. Secara objektif, kita dapat melihat iman sebagai keseluruhan kebenaran yang diungkapkan oleh Allah, yang membentuk dasar bagi ajaran-ajaran Gereja dan yang sering disebut sebagai harta iman (deposit of faith), ajaran-ajaran (doktrin) Gereja. Secara subjektif, kita dapat melihat iman sebagai tanggapan (persetujuan, penerimaan) pribadi terhadap kebenaran yang diungkapkan (diwahyukan) oleh Allah.

Mungkin ada di antara kita berkomentar, “Tapi apa maksudmu dengan kebenaran yang diungkapkan? Apa itu kebenaran yang diwahyukan Allah?” Kebenaran yang diungkapkan adalah kebenaran yang diwahyukan, direvelasikan. Wahyu atau revelasi adalah pengungkapan kebenaran supranatural Allah yang diperlukan untuk keselamatan manusia. Kata “wahyu” yang berasal dari bahasa Latin revelare berarti mengungkapkan. Beberapa di antara wahyu (revelasi) itu adalah kebenaran yang tidak pernah kita ketahui berdasarkan ilmu pengetahuan, sains atau filsafat. Pikiran manusia tidak mampu mengenal revelasi itu tanpa intervensi (campur tangan) Ilahi. Karena itulah, Allah mengungkapkannya kepada manusia. Misalnya, kebenaran tentang Trinitas Maha Kudus adalah kebenaran bahwa hanya ada satu Allah dalam tiga pribadi (bukan tiga Allah). Kebenaran ini adalah sesuatu yang tidak pernah bisa ditemukan oleh kecerdasan manusia sendiri; Allah sendiri harus memberitahukannya.

Wahyu lain, seperti adanya (ekistensi) Allah, dapat diketahui dengan menggunakan akal budi manusia saja. Allah juga mengungkapkan kebenaran-kebenaran ini secara langsung karena tidak semua orang memahaminya pada saat yang sama dan dengan cara yang sama. Inti dari wahyu-wahyu ini dapat diketahui oleh siapa saja berdasarkan akal budi.  Seseorang tidak bisa mengklaim dia tidak tahu bahwa melakukan pembunuhan itu salah. Berdasarkan akal budi, orang waras tidak melakukan pembunuhan.

Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dapat diperoleh dari apa yang disabdakan atau dikatakan atau difirmankan oleh Allah. Sabda atau Firman Allah adalah wahyu Allah kepada umatNya.

Apa itu Firman Tuhan? Umat Katolik percaya bahwa Firman Allah datang dalam dua bentuk, yakni sabda yang ditulis dan sabda lisan. Sabda yang ditulis dikenal juga sebagai Alkitab atau Bibel. Sabda lisan adalah Tradisi Suci atau sabda yang diucapkan dan tidak tertulis.

Baca juga  KEPADA KAISAR DAN KEPADA ALLAH || Hari Minggu Biasa XXIX

Baik sabda lisan maupun sabda yang ditulis berasal dari sumber yang sama dan yang mengomunikasikan pesan yang sama yaitu kebenaran. Sabda lisan dan sabda yang ditulis tidak bertentangan satu sama lain; umat Katolik pun bukan menerima yang satu dan menolak yang lain, melainkan menerima keduanya, sebab keduanya memiliki kemitraan bersama. Di saat Alkitab diam tentang perkara tertentu atau artinya ambigu (membingungkan) atau diperdebatkan, sabda lisan (Tradisi Suci) tampil untuk mengklarifikasi perkara tersebut. Umat Katolik percaya bahwa firman Allah mencerminkan apa yang ada dalam pikiran-Nya, dan karena Allah adalah segala kebenaran dan segala kebaikan, firman-Nya menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Umat Katolik memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap Firman Allah.

Katolik dengan hati-hati membedakan antara tradisi manusia belaka dan Tradisi Suci yang terinspirasi secara ilahi. Tradisi manusia adalah hukum buatan manusia yang dapat diubah. Contoh tradisi manusia adalah umat Katolik tidak makan daging pada hari Jumat selama Prapaskah. Selibat bagi para imam Gereja Barat (Latin) adalah tradisi manusia yang dapat dihilangkan, atau dimodifikasi, atau dipertahankan oleh paus mana pun.

Tradisi Suci dianggap sebagai bagian dari Firman Allah yang tidak tertulis karena telah dipercayai selama berabad-abad, sejak zaman Gereja Apostolik. Gereja Apostolik itu merujuk pada periode dalam sejarah Gereja mulai dari abad pertama (saat para rasul masih hidup) hingga abad kedua (sebelum umat Kristen generasi kedua meninggal). Ini disebut Apostolik karena para rasul hidup pada waktu itu.

Salah satu contoh Tradisi Suci adalah dogma tentang Asumsi (Pengangkatan) Maria ke surga. Dogma adalah kebenaran yang diwahyukan yang didefinisikan oleh Gereja secara meyakinkan; dogma ini menjadi sebuah doktrin di mana umat beriman berkewajiban menerima dan memercayainya. Meskipun tidak eksplisit dalam Alkitab, pengangkatan Maria ke sorga berarti bahwa tubuh dan jiwa Maria diangkat ke sorga oleh Putra ilahinya. Meskipun tidak secara resmi didefinisikan (ditetapkan) hingga tahun 1950 oleh Paus Pius XII, ajaran ini telah diyakini (dan tidak pernah diragukan) oleh umat Katolik sejak zaman para rasul. Contoh lain dari Tradisi Sakral dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran yang didefinisikan dalam konsili-konsili ekumenis Gereja, dari Nikea (325) hingga Vatikan II (1962–1965).

Beriman berarti menerima kebenaran lisan dan tertulis yang diwahyukan Allah kepada manausia. Apa yang dikatakan oleh Allah dapat diterima benar, sebab Allah tidak dapat keliru. Kebenaran iman inilah yang kita nyatakan dalam syahada (kredo). RP. Ivo Simanullang OFMCap, Ketua STFT Santo Yohanes Pematangsiantar

Facebook Comments

Leave a Reply