Ternyata Begini Latar Belakang Deklarasi Dokumen Abu Dhabi
Komsoskam.com – Lahirnya Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Pemimpin Tertinggi Katolik dunia, Paus Fransiskus dan Tokoh Muslim dunia, Sheikh Ahmad al-Taye, Gran Syek Al Azhar, penting untuk dipahami lebih dalam. Untuk bisa menggali muatan dokumen tersebut, kami sertakan kutipan lengkapnya yang memuat latar belakang deklarasi Dokumen Abu Dhabi tersebut. (Dikutip dari Dokumen Abu Dhabi terjemahan DokpenKWI, halaman 8.)
Dalam nama Tuhan, yang telah menciptakan seluruh manusia yang setara dalam hak, kewajiban, dan martabat, dan yang telah dipanggil untuk hidup bersama sebagai saudara dan saudari, untuk memenuhi bumi dan untuk mengenali nilai-nilai kebaikan, cinta, dan kedamaian;
Atas nama hidup manusia yang tidak bersalah, yang telah dilarang Allah untuk dibunuh, dengan menegaskan bahwa siapa pun yang membunuh seseorang, orang itu bagaikan seseorang yang membunuh seluruh umat manusia, dan siapa pun yang menyelamatkan seseorang, orang itu bagaikan seseorang yang menyelamatkan seluruh umat manusia; Atas nama orang miskin, orang melarat, orang yang terpinggirkan, dan mereka yang paling membutuhkan, yang bagi mereka Allah telah memerintahkan kita untuk membantu sebagai tugas yang dituntut dari semua orang, terutama orang kaya dan berkecukupan;
Atas nama anak yatim, para janda, para pengungsi dan mereka yang diasingkan dari tanah air dan negara mereka; atas nama para korban perang, penganiayaan dan ketidakadilan; atas nama mereka yang lemah, mereka yang hidup dalam ketakutan, para tawanan perang, dan mereka yang disiksa di setiap bagian dunia mana pun, tanpa perbedaan;
Atas nama orang-orang yang telah kehilangan keamanan, kedamaian, dan kemungkinan untuk hidup bersama, karena menjadi korban kehancuran, malapetaka, dan perang; Atas nama persaudaraan manusia yang merangkul semua manusia, menyatukan mereka dan menjadikan mereka setara; Atas nama persaudaraan ini yang terkoyak oleh kebijakan-kebijakan ekstremisme dan perpecahan, oleh sistem keuntungan tak terkendali atau oleh kecenderungan ideologis penuh kebencian yang memanipulasi tindakan dan masa depan perempuan dan laki-laki;
Atas nama kebebasan, yang telah dianugerahkan Allah kepada semua manusia dengan menciptakan mereka secara bebas dan menjadikan mereka berbeda berkat rahmat ini;
Atas nama keadilan dan belas kasihan, fondasi kemakmuran dan landasan iman; Atas nama semua orang yang berkehendak baik yang ada di setiap bagian dunia;
Dalam nama Allah dan segala sesuatu yang dinyatakan sejauh ini; Al-Azhar al-Sharif dan umat Muslim dari Timur dan Barat, bersama-sama dengan Gereja Katolik dan umat Katolik Timur dan Barat, menyatakan untuk menerima budaya dialog sebagai jalan; kerja sama timbal balik sebagai kode etik; saling pengertian sebagai metode dan kriteria.
Kami, yang percaya pada Allah dan pada perjumpaan akhir dengan-Nya dan penghakiman-Nya, berdasarkan tanggung jawab agama dan moral kami, dan melalui Dokumen ini, menyerukan kepada diri kami sendiri, kepada para pemimpin dunia serta para pembuat kebijakan internasional dan ekonomi dunia, untuk bekerja keras me-nyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai; untuk ikut campur tangan selekas mungkin untuk menghentikan pertumpahan darah dari orang-orang yang tidak bersalah serta mengakhiri peperangan, konflik, kerusakan lingkungan dan kemerosotan moral dan budaya yang dialami dunia saat ini.
Kami menyerukan kepada kaum terpelajar, para filsuf, tokoh agama, seniman, praktisi media dan para budayawan di setiap bagian dunia, untuk menemukan kembali nilainilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan manusia dan hidup berdampingan dalam rangka meneguhkan nilainilai ini sebagai jangkar keselamatan bagi semua, dan untuk memajukannya di mana-mana.
Deklarasi ini, yang berangkat dari pertimbangan mendalam atas realitas kita dewasa ini, dengan menilai keberhasilannya dan dalam solidaritasnya dengan penderitaan, bencana dan malapetaka, meyakini dengan teguh bahwa di antara penyebab utama dari krisis dunia modern adalah ketidakpekaan hati nurani manusia, penjauhan dari nilai-nilai agama dan individualisme yang tersebar luas disertai dengan filsafat materialistis yang mendewakan manusia dan memperkenalkan nilai-nilai duniawi dan material sebagai pengganti prinsipprinsip tertinggi dan transendental.
Seraya mengakui langkah-langkah positif yang diambil oleh peradaban modern kita di bidang sains, teknologi, kedokteran, industri, dan kesejahteraan, terutama di negara-negara maju, kami ingin menekankan bahwa, terkait dengan kemajuan bersejarah seperti itu, betapapun hebat dan bernilainya hal-hal tersebut, terdapat kemerosotan moral yang mempengaruhi tindakan internasional dan melemahnya nilai-nilai dan tanggung jawab rohani.
Semua ini berkontribusi pada perasaan frustrasi umum, keterasingan, dan keputusasaan yang membuat banyak orang jatuh ke dalam pusaran ekstremisme ateistik, agnostik atau fundamentalisme agama, atau ke dalam ekstremisme fanatik dan buta, yang pada akhirnya memicu bentuk-bentuk ketergantungan dan penghancuran diri individual atau kolektif.
Sejarah menunjukkan bahwa ekstremisme agama, ekstremisme nasional, dan juga intoleransi telah menimbulkan di dunia, baik itu di Timur atau Barat, apa yang mungkin disebut sebagai tanda-tanda “perang dunia ketiga yang sedang berlangsung sedikit demi sedikit”. Di beberapa bagian dunia dan dalam banyak keadaan tragis, tanda-tanda ini telah mulai tampak menyakitkan, seperti dalam situasisituasi di mana jumlah persis korban, para janda dan anak yatim tidak diketahui.
Selain itu, kami melihat daerah lain bersiap untuk menjadi panggung konflik baru, dengan pecahnya ketegangan dan penumpukan senjata dan amunisi, dan semua ini dalam konteks global yang dibayang-bayangi oleh ketidakpastian, kekecewaan, ketakutan akan masa depan, dan dikendalikan oleh kepentingan ekonomi yang berpikiran sempit.
Kami juga menegaskan bahwa krisis politik besar, situasi ketidakadilan, dan kurangnya distribusi sumber daya alam yang adil – yang hanya menguntungkan segelintir minoritas kaya, hingga merugikan mayoritas penduduk bumi – telah melahirkan, dan terus melahirkan, banyak sekali jumlah orang miskin, sakit dan meninggal. Hal ini menyebabkan krisis bencana yang telah menimbulkan korban di berbagai negara, terlepas dari sumber daya alam dan sumber daya orang muda yang menjadi ciri bangsa-bangsa ini.
Dalam menghadapi krisis seperti itu yang mengakibatkan kematian jutaan anak-anak akibat kemiskinan dan kelaparan ada kebungkaman yang tidak dapat diterima di tingkat internasional. Jelaslah dalam konteks ini bagaimana keluarga sebagai inti dasar masyarakat dan umat manusia sangat penting dalam melahirkan anak-anak ke dunia, membesarkan mereka, mendidik mereka, dan membina mereka dengan pendidikan moral yang kuat dan rasa aman di rumah.
Menyerang lembaga keluarga, meremehkan atau meragukan peran pentingnya, adalah salah satu kejahatan paling mengancam di zaman kita. Kami juga menegaskan pentingnya membangkitkan kesadaran beragama dan perlunya membangkitkan kembali kesadaran ini di dalam hati generasi baru melalui pendidikan yang sehat dan kepatuhan pada nilai-nilai moral dan ajaran agama yang benar.
Dengan cara ini, kita dapat menghadapi kecenderungan yang individualistis, egois, saling bertentangan, dan juga mengatasi radikalisme dan ekstremisme buta dalam segala bentuk dan ungkapannya.
Tujuan pertama dan terpenting dari agama adalah percaya pada Allah, untuk menghormati-Nya dan untuk mengundang semua perempuan dan laki-laki untuk mempercayai bahwa alam semesta ini bergantung pada Allah yang mengaturnya. Dia adalah Pencipta yang telah membentuk kita dengan kebijaksanaan ilahi-Nya dan telah menganugerahi kita karunia kehidup-an yang harus dilindungi.
Ini adalah anugerah yang tidak seorang pun berhak untuk mengambil, mengancam atau memanipulasi demi kepentingan dirinya. Sesungguhnya, setiap orang harus menjaga anugerah kehidupan ini dari awal hingga akhir alamiahnya. Karena itu kami mengutuk semua praktik yang mengancam kehidupan seperti genosida, aksi terorisme, pemindahan paksa, perdagangan manusia, aborsi, dan eutanasia. Kami juga mengutuk kebijakan yang mendukung praktik-praktik ini.
Lebih-lebih lagi, kami dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah. Realitas tragis ini merupakan akibat dari penyimpangan ajaran agama.
Hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik agamaagama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang, dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan laki-laki agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama.
Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan picik. Karena itu, kami menyerukan kepada semua pihak untuk berhenti menggunakan agama untuk menghasut (orang) kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan untuk menahan diri dari menggunakan nama Allah untuk mem-benarkan tindakan pembunuhan, peng-asingan, terorisme, dan penindasan.
Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan bersama kami pada Allah yang tidak menciptakan perempuan dan laki-laki untuk dibunuh atau saling berkelahi, atau tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Allah, Yang Maha-kuasa, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang-orang. (Baca juga butir-butir dokumen Abu Dhabi)