Sekolah, Sebuah Taman
“Kamu mengumpulkan anak-anak pintar dan pandai untuk membesarkan nama sekolahmu atau kamu mengumpulkan anak-anak untuk kamu didik dan besarkan?” Pertanyaan ini pernah saya dengar beberapa tahun lalu. Ternyata, kelak pertanyaan tersebut menjadi acuan tatkala saya dipercaya mengelola sekolah. Bagi saya pribadi mengelola sekolah seumpama juru taman mengelola bunga-bunga di sebuah taman. Konteks taman ialah tanaman hijau, bunga beraneka macam, dengan mahkota warna-warninya.
Kita tahu bahwa salah satu alasan orangtua menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah, pertama-tama karena “ketidakmampuan” mereka dalam mendidik anak-anak mereka. Tentu harus diakui bahwa orangtua telah memberi pendidikan dasar kepada anaknya. Jika dibuat perumpamaan dalam khasanah pertanian, orangtua menyemai benih yang kemudian telah bertunas.
Guru adalah juru taman. Ia berupaya tunas tersebut tumbuh subur dan tahan dari segala cuaca dan serangan hama. Juru taman sebagaimana Guru mendidik anak-anak atau murid-muridnya. Mereka (Guru dan sekolah) berupaya agar murid-murid memberi keindahan bagi nama keluarga dan diri murid itu sendiri. Maka ada anggapan sebagian orangtua bahwa anak mereka membesarkan nama sekolah harus ditinjau kembali. Tanpa sekolah dan tanpa guru, dapatkah anak-anak menjadi makhluk sosial? Dapatkah anak-anak menjadi bunga yang indah?
Zaman millineal berbeda dengan era baby booming. Di zaman millineal, sebagian besar anak bertumbuh dalam lingkungan homogen, artinya: setiap anak menjadi pribadi dan dilengkapi dengan fasilitas mandiri. Sedangkan anak yang lahir dan dibesarkan di zaman baby booming bagaikan aneka bunga yang tumbuh di taman. Keanekaragaman inilah yang kelak mereka menjadi makhluk sosial di era millineal.
Pendidikan dasar yang diperoleh anak dalam keluarga seperti: kebiasaan bertegur sapa, memanggil orang yang lebih, tata cara berbusana, tata cara berdoa, dan lain sebagainya. Anak-anak yang telah dibibitkan dan disemai oleh orangtua di dalam keluarga mereka, kelak akan ditanam di sekolah.
Perlu dipahami bahwa sekolah adalah sarana pendidikan formal yang diselenggarakan oleh lembaga resmi. Anak-anak belajar akan nilai, seperti nilai kejujuran, kerjasama atau gotong royong, nilai kemanusiaan, nilai bakti kepada Tuhan, nilai keterbukaan, dan nilai keadilan. Penting dan utama mereka belajar disiplin.
Kata disiplin berasal dari bahasa latin yaitu discipuli yang artinya murid. Sehingga dapat diartikan bahwa murid harus memiliki sifat kemuridan. Dengan demikian anak-anak atau murid-murid ini dapat menjadi pribadi yang unggul, dewasa, dan berakhlak mulia serta berbudi sosial. Meminjam istilah latin yang mengatakan “homo homini socius” atau “manusia adalah mahluk sosial bagi sesamanya”. Betapa harmonisnya taman tersebut.
Sekolah tempat menanam murid-murid, telah disiapkan oleh Guru yang mumpuni. Sebutan Guru bukan hanya mengajar ilmu pengetahuan tetapi juga membiasakan murid-murid untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri pribadi mereka. Tempat menanam adalah taman.
Sebelum menanam, sekolah menyiapkan lahan atau sarana prasarana dan juga menyiapkan tukang kebunnya atau juru taman, yaitu: Guru, staf tata usaha, pesuruh, satpam, dan juga orangtua murid. Juru taman menseleksi tanaman itu, apakah cocok dan pantas ditanam di taman. Jangan sampai salah, menanam bunga teratai di atas pasir, atau menanam kaktus di atas lumpur. Ataupun menanam bunga anggrek di atas kompos, pasti mengalami gangguan pertumbuhan. Biarlah bunga anggrek tumbuh di batang pohon besar, inilah simbiosis mutualisme, juru taman menanamkan nilai tolong menolong kepada bunga-bunga tersebut, sebagaimana guru menanamkan sikap tolong menolong kepada murid-muridnya.
Juru Taman di Sekolah Katolik
Sekolah katolik mendidik (mengedukasi) murid-murid untuk mencapai nilai-nilai Katolik. Seperti: tolong menolong, kedisiplinan, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, menghormati, dan mempunyai semangat kerasulan. Kelak diharapkan murid-murid akan berbunga di taman sekolah ini. Juru taman (Guru) akan memangkas ranting-ranting kering tak berguna, mengumpulkan daun-daun kering, dan memelihara bunga dan buah dari tanaman itu. Dan juru taman yang super dan luar biasa, akan mengubah daun-daun kering menjadi pupuk, ranting kering dibentuk dan diolah menjadi hiasan. Pun Guru dengan semangat kerja luar biasa akan mengubah kelemahan murid menjadi kekuatan murid yang maha dahsyat. Dengan demikian murid akan mampu berkembang di tengah zamannya.
Sekolah katolik dalam konteks kerasulan zaman kini juga menyampaikan pesan kekristenan kepada orang dewasa, yaitu: menjadi pendamai. Karena tak dipungkiri bahwa orang itu sudah lanjut usia tetapi masih mempunyai sifat-sifat kekanak-kanakan (infantil). Sifat-sifat kekanak-kanakan tersebut antara lain: mudah cemburu, tidak sabar, dan menuntut. Bukan hal mudah untuk diterapkan tetapi membutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk mengedukasi mereka. Dengan demikian dalam menghadirkan pendidikan di keluarga selaras dengan pendidikan di sekolah.
Adakalanya saya harus mengakui bahwa anak adalah “kencana wingko”, istilah dalam budaya Jawa, kencana adalah emas berlian mutu manikam, wingko adalah kepingan atau pecahan genting atau beling. Ini yang harus diperjuangkan oleh Juru Taman untuk memelihara murid menjadi gelas yang bermutu, meski sifatnya mudah retak. Perawatan tanaman oleh juru taman dilakukan berbeda terhadap semua murid. Ada yang seperti bunga mawar, ada yang seperti bunga nusa indah, ada yang seperti pucuk merah, ataupun bougenville.
Juru taman akan mengelompokan bunga-bunga tersebut dalam jenis dan cara merawatnya. Demikian sekolah akan mengklasifikan dan mengelompokan murid-murid sesuai minat dan bakat mereka. Tentu sekolah akan memberi perhatian yang lebih untuk tanaman hias yang kurus dan tidak berbunga, sedang tanaman yang sudah menghasilkan bunga akan dipelihara sehingga atas jerih payah juru taman, bunga itu akan membuat sukacita dan kegembiraan bagi setiap orang.
Memang tak bisa dielakkan pemikiran bahwa taman yang indah akan begitu indah begitu saja; tetapi harus diingat bahwa taman adalah ekosistem. Di dalam taman, selain ada bunga yang indah juga ada kupu-kupu, ulat, kumbang, lebah, dan serangga pengerat akar, serta belalang. Kupu-kupu itu indah dan molek, terbang di antara bunga-bunga, tetapi siapa sangka kalau kupu-kupu berasal dari ulat yang melahap daun-daunan hijau. Artinya untuk memberi keindahan memerlukan pengorbanan.
Demikian ungkapan sekolah sebagai sebuah taman merupakan usaha-usaha pimpinan sekolah untuk menciptakan suatu keindahan. Ia mendorong dan memupuk murid-murid menjadi bunga-bunga yang kelak membuat keharuman bagi sesame. Siapa yang bangga? Pertama-tama ialah orangtua anak-anak tersebut. Sebagai intisari, saya mau mengambil ungkapan, “Biarlah mereka menjadi besar dan aku semakin kecil”. Dan pada akhir tulisan ini, mari kita dendangkan lagu “Semua bunga ikut bernyanyi”.
Pematangsiantar, 14 Juni 2021
Oleh: Br. Yohanes de Britto V.Rismario, BM.