Pentingkah Mengajak Orang Muda Ke Gereja?
3,495 total views, 2 views today
Ketika aktif di KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) salah satu tugas yang paling sulit dan memusingkan kepala adalah mengajak mahasiswa katolik untuk bergabung dan mengikuti kegiatan yang kami rencanakan. Sulit, karena KMK tak menjanjikan keuntungan materi; memusingkan kepala, karena pengurus harus membuat organisasi semenarik mungkin.
Kesulitan itu sebenarnya mendatangkan keuntungan bagi pengurus. Sebab, sejak muda sudah ‘dipaksa’ untuk berpikir kreatif, yang tentu saja membentuk karakternya. Namun tak banyak pengurus (di OMK maupun KMK) yang berpikir demikian – dan tak mudah memang. Apalagi menghadapi orang yang keras kepala, tak mau berbuat malah mengejek, tak pernah kerja dalam kepanitiaan dan waktu kegiatan fotonya yang paling banyak – curhat colongan. Hehe.
Di masa sulit seperti itu, pertanyaan yang paling sering muncul adalah pentingkah mengajak mereka peduli pada organisasi atau kelompok di dalam gereja, toh juga gereja tak akan bubar tanpa mereka?
Jawabannya adalah penting!
Sebagai bagian dari orang muda katolik, saya akan menjabarkannya dari sudut pandang dan cara anak muda menyampaikannya. Mungkin akan berbeda dengan para pastor atau orangtua, tetapi saya yakin muaranya sama : kebaikan.
Alasan pertama kenapa anak muda penting diajak peduli pada gereja adalah keadaan lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar yang terdiri dari beragam agama dan budaya, akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Anak muda yang sedang mencari jati diri, bila tak diarahkan dan diberi pandangan yang baik dari gereja, bisa kesasar.
“Semua agama kan sama!” Benar. Semua agama mengajarkan kebaikan (untuk hal ini, saya tak akan membahas lebih panjang). Pandangan itu sangat baik untuk menunjukkan toleransi. Tetapi, berdasarkan pengalaman pribadi, banyak teman yang berkata demikian hanya untuk menutupi kemalasannya. Menutupi kecuekannya terhadap ajaran gereja.
Alasan yang berikutnya adalah dunia yang cepat berubah. Teknologi yang berkembang pesat, memberi dampak luas pada kehidupan manusia. Ada yang siap menghadapinya, sebagian lagi sedang belajar, sisanya tidak siap. Saya kira sebagian besar anak muda siap menghadapinya. Lalu kenapa perkembangan teknologi justru mengharuskan anak muda dekat dengan gereja? Jawabannya, untuk mengatasi ketergantungan.
Sejauh yang saya amati – saya tidak akan membahas dari sisi psikologis atau kesehatan, tetapi dari segi hubungan antar manusia. Pernah dengar pernyataan “menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh”? Dengan kata lain, teknologi mengikis rasa kebersamaan kita sebagai manusia. Dan saya yakin, hidup menggereja bisa mengatasinya. Minimal, mencegah kemungkinan yang lebih buruk dari dampak ketergantungan pada teknologi. Misalnya, manusia yang merasa lebih berkuasa dari yang lain atau yang memaksakan memenuhi kepentingan pribadinya dengan memanfaatkan teknologi tanpa memikirkan orang lain. Kita bisa saksikan ‘kesewenang-wenangan’ ini dalam film Transcendence.
Yang terakhir : impian. Saya tertarik ketika mendengar jawaban seorang anak yang ingin menjadi seorang Youtuber setelah ditanya presiden Joko Widodo tentang cita-citanya. Apa yang menarik? Kita tak mendengar lagi, “menjadi dokter”, “menjadi Presiden”, “menjadi tentara”, yang kita dengar, mungkin tak pernah terpikirkan sama sekali di masa kecil. Teknologi yang mengubahnya.
Dari jawaban itu saya mencoba menarik kesimpulan, bahwa untuk menetapkan cita-cita, seorang anak tak mempertimbangkan manfaat bagi orang lain. Tentu kita tak akan mendengarkan lagi percakapan seperti ini : “Kenapa ingin menjadi …(dokter, presiden, guru…)?”“Supaya bisa mengobati orang lain,…Supaya bisa membawa kemajuan,… supaya bisa berbagai ilmu,”
Untuk itu, anak muda perlu diajak ke gereja agar tak salah menetapkan impian. Saya tak mengatakan menjadi Youtuber, Selebgram, selebtwit adalah cita-cita yang salah. Yang saya khawatirkan, motivasi yang keliru untuk meraih cita-cita itu. Mikhael Natal Naibaho