KATEKESENEWSOPINIREFLEKSIREVIEWS

MERANGKUL REALITAS KINI TANPA KEHILANGAN DIRI SENDIRI

Loading

Kalau dulu filsuf Perancis, Rene Descartes, berkata “cogito ergo sum” (dengan berpikir maka aku ada), sekarang dunia kita mengenal istilah “video ergo sum” (aku melihat maka aku ada). Realitas kita di era digital global ditandai oleh aspek visual; sejauh dilihat oleh  mata dan mengundang sensasi.

Apa sebenarnya makna realitas? Realitas adalah kenyataan kompleks yang ada di sekitar kita. Ketika realitas atau kenyataan itu direduksi hanya sejauh “visual” maka ia kehilangan artinya yang sejati. Realitas menjadi sesuatu yang berada di awang-awang (manipulasi): sejauh menarik mata dan memuaskan naluri. Manusia kerap lupa diri bahwa kenyataan di dunia jauh lebih kompleks dari pada teori yang bisa dirumuskan dengan kata-kata indah. Kenyataan hidup menuntut sebuah komitmen dan tanggung jawab.

Benar bahwa dalam hidup ini kita sesekali perlu berfantasi mengenai masa depan yang lebih indah. Inilah yang dibahasakan oleh filsuf Bernard Lonergan dengan mengatakan bahwa setiap individu pada dasarnya adalah ketegangan antara apa yang ada (real) dan apa yang seharusnya (ideal). Di satu pihak, kaki kita berpijak pada realitas saat ini tetapi di pihak lain kita memiliki sebuah imajinasi, cita-cita di masa depan. Kalau mau lebih lengkap arti realitas kita sebagai manusia terbentuk pada tiga fakultas: masa lalu yang membentuk kekinian kita dan harapan atau cita-cita di masa depan yang menjadi prospek saat ini. Kata filsuf, yang di depan selalu lebih baik.

Kalau kita tahu seluk beluk ilmu komunikasi, sesungguhnya bisa dikatakan bahwa dunia digital adalah dunia yang gampang didikte. Dunia virtual memang didasarkan pada keinginan dan minat kita. Mungkin kerap kita tidak sadar, selekas kita mendaftarkan akun dan data pribadi ke media digital (WA, e-mail, fb, dll) yang konon katanya privat sesungguhnya data-data pribadi itu dalam arti tertentu tidak lagi privat. Kita masuk ke dalam jaringan sebuah dunia yang kita sebut internet. Ketika anda meng-klik dan tertarik pada produk A, maka produk-produk sejenis akan ditawarkan ulang kepada anda di berbagai tampilan yang lebih menggoda.

Baca juga  Rekoleksi Asrama Sehat Putera dan Puteri Tiga Binanga

Perkembangan teknologi mengefektifkan komunikasi tetapi sekaligus berisiko menjauhkan manusia dan merenggangkan relasi yang merupakan sasaran dari komunikasi itu sendiri. Zygmunt Bauman, seorang sosiolog Polandia, berpendapat bahwa ruang yang dirancang teknologi bersifat artifisial dan  tidak langsung. Adalah keliru mempercayai bahwa teknologi dapat menjanjikan surga di bumi, sebagaimana diungkapkan oleh Neil Postman, seorang penulis AS yang anti teknologi dan konon tak memiliki komputer pribadi. Neil Postman menyebut teknologi membuat manusia mabuk “ekstasi konsumsi”.

Di hadapan realitas dunianya, sekurang-kurangnya manusia memakai 5 indra untuk mempersepsikan sekitarnya: lewat indra jasmaniah manusia menjadi sebuah tanda unik sebagai berada di dunia, lewat persepsi estetiknya manusia menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang memiliki rasa keindahan, lewat rasio kritisnya manusia mampu mengambil jarak dan bertransedensi atas dunia, dengan perasaan moralnya ia memiliki kapasitas refleksi dan komitmen etis yang kemudian dilengkapi oleh sensus religius-nya.

Hal yang tak bisa dilepaskan kalau berbicara mengenai teknologi adalah mengenai konsumsi. Konsumsi adalah kebutuhan yang sangat kita perlukan. Di dalamnya, uang berperan penting. Kalau konsumsi terkait kebutuhan maka konsumerisme adalah jebakan karena ukurannya bukan lagi kebutuhan tetapi kepuasan semata: telepon genggam masih berfungsi baik segera menjadi tua ketika model barunya keluar, sepatu tidak lagi modis meski masih berfungsi baik bila kita melihat orang lain memakai keluaran barunya, dll. Masalahnya banyak orang mengidentifikasikan dirinya dengan identitas yang lebih ketika ia mendapatkan produk-produk terbaru yang meskipun tidak dibutuhkannya. Hal inilah yang dikritik oleh sejarawan AS, Cristofer Lasch, khususnya ketika ia melihat bahwa iklan-iklan produk tertentu mengaburkan mata kita: diharumkan oleh suasana yang fantastis.

Baca juga  MARIA DI DALAM AL-QUR’AN (MARYAM)

Konsekuensi dari semua ini adalah “penerimaan pasif” yang membuat kita tidak nyaman, karena jumlah informasi membuat kita mengandalkan kepastian visual yang dapat dikenali dan membawa sensasi. Alangkah indahnya hidup bila kita sepandangan dengan penyair Fernando Rielo yang bercita-cita membentuk “hati nurani yang gembira”, karena hanya lewat situasi batin yang demikian kita mampu mencintai, merenungkan, menciptakan kembali, dan hidup bersama dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan itu sendiri.

Orang-orang muda khususnya adalah mereka yang rentan terjebak dalam godaan pusaran teknologi. Erich Fromm (psikolog Jerman) mengundang manusia untuk menjadi pribadi yang aktif secara otentik. Artinya adalah kemampuan mengungkapkan secara maksimal kemampuan dan potensi yang dimiliki dengan mencintai dan memberi serta melampaui penjara diri sendiri yang terisolasi. Orang-orang muda hendaknya mampu mengembangkan “hasrat mereka yang membebaskan”, yang seharusnya justru semakin memanusiakan mereka dan membuatnya lebih terhubung dengan orang lain.

Benny Ardi Manurung,OFMCap*)

Facebook Comments

Rina Barus

Menikmati Hidup!!!

Leave a Reply