OPINI

MENTAL “FORTITUDE”

Pandemi Covid-19 telah merubah kehidupan kita sehari-hari secara dramatis dalam waktu yang sangat singkat. Kondisi seperti ini mempengaruhi perasaan kita, tidur kita, aktivitas fisik kita, cara kita makan, dan cara kita bekerja. Itu mengubah dinamika keluarga dan mengubah cara kita terhubung dengan semua orang dalam kehidupan kita sehari-hari. Beberapa dari kita mungkin berjuang dengan gejolak emosi seperti kesepian, kecemasan tentang keselamatan diri kita sendiri dan orang-orang yang kita cintai, dan tentang masa depan keuangan dan pekerjaan kita.

Hal lain yang bisa terjadi adalah resesi ekonomi dunia, kesenjangan antara yang kaya-miskin yang semakin lebar dan hambatan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak/generasi muda. Pendek kata, pandemi Covid-19 juga telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa besarnya di seluruh dunia, dan kita belum tahu kapan akan berakhir dan bagaimana bentuknya. Tantangan bagi semua negara adalah seberapa cepat suatu negara bisa bangkit kembali dan bergerak maju dengan cepat sesudah pandemi ini berhasil diatasi.

 

Sekarang kita masuk dalam era ‘new normal’ yaitu tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19 dengan aturan-aturan yang harus kita ikuti. Kelihatannya tidak gampang hidup menuruti aturan-aturan ‘new normal’ yang terbukti dari berbagai keluhan yang mengatakan tingkat disiplin yang rendah dari masyarakat dan tidak takut akan bahaya virus berbahaya ini.

 

Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan ‘new normal’ ditentukan oleh keadaan dan kualitas mental kita. Kita membutuhkan ‘mental fortitude’. Tanpa mengaktifkan ‘mental fortitude’, semua himbauan, ajakan, peraturan bahkan hukuman tidak akan efektif. Pepatah Scotland mengatakan: “You can lead a horse to water but you can’t make him drink”. (Anda dapat membawa seekor kuda ke air tetapi Anda tidak bisa memaksanya untuk minum). “The new normal is elegant in theory, difficult in practice” (‘New normal’ elegan dalam teori, tapi susah dalam praktek).

 

Apa sebenarnya arti ‘mental fortitude’?

 

Definisi ‘mental fortitude’ menurut kamus online Merriam Webster adalah: “strength of mind that enables a person to encounter danger or bear a pain or adversity with courage” (kekuatan pikiran yang memungkinkan seseorang menghadapi bahaya atau menanggung rasa sakit atau kesulitan dengan keberanian). Marcus Aurelius (121-180 AD) penganut Filsafat Stoic menjelaskan ‘mental fortitude’ sebagai berikut: “To be like the rock that the waves keep crashing over. It stands unmoved and the raging of the sea fall still around it” (Menjadi seperti batu karang yang dicoba diruntuh oleh ombak terus menerus. Namun ia berdiri tak tergoyangkan dari amukan laut di sekitarnya).

 

Terminologi ‘mental fortitude’ yaitu kekuatan ibarat batu karang juga dipakai oleh Yesus untuk Petrus. “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak menguasainya” (Matius: 16: 18). Petrus yang dulunya “laki-laki yang berani bersumpah tapi takut mati” (syair lagu tempo doloe: ‘Terang Bulan’, lagu  adaptasi ‘La Rosalie’, gubahan musisi Perancis Pierre-Jean Béranger, 1780-1857). Petrus berubah menjadi pemberani, mampu menghadapi kesulitan bahkan berani mati setelah dia mengaktifkan ‘mental fortitude’. Semua orang-orang sukses dan pahlawan adalah orang-orang yang bisa mengaktifkan ‘mental fortitude’ mereka.

 

Bob Proctor (lahir 5 Juli 1934) seorang penulis dan motivator dari Amerika mengatakan bahwa kita mempunyai ‘mental fortitude’ yaitu energi hidup yang dahsyat namun kita tidak mengaktifkan dan memanfaatkannya secara maksimal. ‘A lot of people operating below their potential’ (Banyak orang hidup di bawah potensi mereka). “We all know that in order to accomplish of a certain thing we need a ‘mental fortitude’ (Kita semua tahu bahwa untuk mencapai hal tertentu kita membutuhkan ‘mental fortitude’), lanjut Bob.

 

‘Mental fortitude’ adalah energi yang terdapat dalam diri setiap orang. Namun, bagaimana mengaktifkannya? Bob Proctor mengatakan bahwa cara mengaktifkan ‘mental fortitude’ adalah dengan merubah ‘paradigma’ berpikir kita. Perubahan pola dan paradigma berpikir ternyata diungkapkan dalam injil: “Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya” (Mat. 9:17). Demikian pula ‘new normal’  harus dihidupi dengan pola hidup dan ‘paradigma’  yang baru yaitu menjaga pola hidup sehat secara konsisten, berdisiplin dengan sepenuh hati (‘mental fortitude’).

 

Pandemi Covid-19 juga menggoncangkan kehidupan, tata cara beragama dan iman sejumlah orang. Seorang teman, teolog terkenal di Manila mereflesikannya dengan seruan Yesus di salib: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27: 46). Tetapi Yesus tak berhenti dalam situasi itu. Ia kemudian  menunjukkan ‘mental fortitude’ dengan berkata: Avi beyadekha afqid rukhi”: Bapa ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku (Lukas 23: 46).

 

Dalam Perjanjian Lama: Ayub menunjukkan ‘mental fortitude’ ketika kehilangan semua yang dimilikinya. Setelah kehilangan semua yang dimilikinya, Ayub sujud dan menyembah kepada Allah serta berkata: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1: 21). Ia tidak mengutuki Allah, sebaliknya memuji nama Allah. Ayub memiliki pengenalan yang benar akan Allah sehingga Ayub bisa memberikan respon yang benar pula kepada Allah. Kita juga tidak perlu meragukan dan mengutuki Allah dengan pandemi Covid-19.

 

‘Mental fortitude’ inilah yang memungkinkan nabi Habakuk mampu berseru: Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. Allah Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3: 17-19).

 

 

“Tap your inner sources.

A new live is a new mind!”

Fr. Dr. Martinus Lumbanraja, CMM.

Ka. Biro Rektor Unika Santo Thomas SU

Ananta Bangun

Pegawai Komisi Komsos KAM | Sering menulis di blog pribadi anantabangun.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *