OPINIPROFILREVIEWS

Menjadi Puteri Allah Dalam Gereja Katolik (Juara 1 Lomba Menulis Feature 2021)

Loading

“Melalui Liturgi Ekaristi yang hening dan sejuk, Tuhan merayu gadis remaja ini untuk menjadi puteriNya yang terkasih.”

Anselma Paskalia Sitepu, itulah namanya. Gadis remaja ini akrab dengan sapaan Selma. Ia lahir pada 21 April 2001 dari pasangan jemaat GBKP. Ayah dan ibunya bekerja sebagai petani di desa Sukanalu, Tanah Karo. Pada usia 8 tahun, anak ke-2 dari 4 bersaudara ini memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena fisiknya yang lemah dan ekonomi keluarga yang sulit.

Saat itu, ia berpikir bahwa abangnya memiliki peluang yang lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan karena cerdas dan sehat, jadi ia berhenti sekolah dan hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD. Biaya pengobatan juga mempengaruhi ekonomi keluarga yang semakin melemah. Hal ini membuat Selma kecil begitu terpuruk dan minder dengan teman-teman sebayanya di kampung. Namun satu hal ia sadari adalah ia tidak pernah mau menjadi seorang perempuan yang lemah.

Perlahan, kesehatan Selma membaik. Hanya saja, ia merasa lebih baik untuk membantu orangtua di ladang daripada melanjutkan sekolahnya. Walaupun sebenarnya sangat ingin, tapi ia tidak mau menyusahkan orangtuanya lagi. Sudah cukup baginya membuat ayah dan ibunya pontang-panting saat sakit dahulu. Hingga suatu hari, Selma bertemu dengan seorang biarawati yang merupakan kerabat jauh ayahnya. Sr. Yoseline namanya.

Selma bercerita kepada suster Yoseline tentang masa kecilnya yang sulit dan keinginannya untuk membahagiakan orangtua yang begitu berkorban sewaktu ia sakit. Sampai pada akhirnya, Sr. Yoseline mengajak Selma untuk bekerja di Asrama Elisabet, Medan. “Waktu itu aku ragu  menerima tawaran Sr. Yoseline karena aku masih 14 tahun, apalagi aku protestan. Tapi setelah berpikir matang-matang, tidak salah untuk mencoba.”, ungkap Selma mengenang. “Orangtua dulu sangat tidak setuju, tapi aku berhasil meyakinkan mereka dengan alasan agar aku memiliki masa depan meskipun tidak sekolah”, sambungnya lagi.           

Keputusan nekat ini, menjadi langkah pertama bagi Selma untuk terjun langsung dalam kehidupan yang rumit. Meski masih sangat muda, ia berani meninggalkan kampung halamannya dengan modal pendidikan hanya sebatas baca-tulis yang kurang sempurna dan keyakinan kuat dalam hatinya.

Air Mata Emas

Bekerja di asrama Elisabet, Medan adalah lembaran baru dalam hidup Selma. Hanya saja, ada banyak kesulitan yang ia alami, terutama dalam berbahasa dan menjalin relasi dengan rekan kerja yang berbeda usia. “Saat di kampung dulu, kami lebih suka berbahasa Karo. Jadi, aku tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.”, ujarnya. Hal ini membuat Selma sulit untuk memahami perintah dan melaksanakan tugas dengan baik sehingga, sudah menjadi hal biasa baginya mendapat teguran dan nasihat dari suster atau rekan yang lain. Di sisi lain, ia juga sering termakan rindu akan kampung halaman dan keluarganya. Tidak jarang ia mengambil waktu untuk bersembunyi dan menangis melepas sedih.

Ia merasa sepi dan sendirian. Gadis remaja itu malu terhadap dirinya sendiri. Namun pada akhirnya, ia menyadari bahwa tidak ada hal yang benar-benar mulus dalam hidup ini. Semua orang harus berjuang dalam hidup mereka, entah siapapun dan apa statusnya di dunia ini. Saat ini, Selma selalu mengenang air mata yang terjatuh itu sebagai air mata emas yang berharga sebagai tanda perjuangannya. Ia selalu percaya pada apa yang diyakininya dalam hati. Oleh karena itu, sesulit apapun situasi pada waktu itu, meskipun ia tergolong masih sangat muda, ia tetap kuat dan berdoa kepada Tuhan.

Baca juga  PAROKI STA. MARIA DARI GUNUNG KARMEL TIGALINGGA “GEREJA INI BISA DIBANGUN KARENA KUASA DAN KASIH-NYA LEWAT BANYAK ORANG”

Suatu hari, ia bertemu dengan Sr. Merisanta yang ternyata adalah orang Karo. Sr. Merisanta dan beberapa rekan kerjanya, banyak menemani dan membantu gadis belia ini untuk memahami bahasa Indonesia. Perlahan-lahan, dalam keseharian, Selma mulai terbiasa dengan bahasa Indonesia dan dapat bekerja dan memahami perintah dengan baik.      

Sentuhan tangan Tuhan

Tidak hanya bekerja, semua karyawan-karyawati Asrama Elisabet juga diharapkan untuk mengikuti kegiatan biara, seperti; perayaan misa, devosi rosario, jalan salib,dll. Selma, sebagai seorang protestan merasa berbeda dan ragu untuk mengikuti kegiatan biara atau tidak. Namun, dorongan dan hatinya memaksa Selma untuk turut hadir dalam kegiatan. Pertama kali mengikuti perayaan Ekaristi, Gadis remaja ini bingung karena seluruh perayaan berlangsung dengan sangat hening, sejuk, dan damai. “Itulah kali pertama aku menikmati yang namanya memasuki Rumah Tuhan. Aku seperti merasakan sentuhan tangan Tuhan membuatku jantungku berdetak tidak biasa.”, ujarnya. Selma begitu mengagumi keindahan Liturgi Ekaristi yang sangat agung.

Di waktu yang berbeda, ia juga sangat mengagumi devosi rosario. Meskipun merasa seperti orang bodoh, ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Yesus dan Maria dalam Ekaristi dan Rosario. Selma mulai bertanya pada rekan-rekanya yang beragama katolik seputar misa, rosario, dan bahkan orang-orang kudus. Hal itu membuatnya mulai mengenal sedikit demi sedikit segala sesuatu yang ada dalam gereja katolik.           

Sejak saat itu, sepanjang hari ia begitu menantikan perayaan misa dan doa rosario. Selma menaruh hati dan menjadikan semua itu sebagai sumber penghiburan baginya. Suatu hari, karena cintanya yang tak terbendung dan keyakinan hatinya yang begitu kuat,  ia menemui Sr. Merisanta dan dengan bulat hati memutuskan untuk menjadi katolik. Sr. Merisanta mengetahui latarbelakang Selma yang tidak menyelesaikan Sekolah Dasar dan sulit dalam hal baca tulis. “Waktu itu, Sr.Meri hanya mengatakan bahwa menjadi katolik itu bukan hal yang mudah, apalagi aku sulit untuk membaca, menulis, apalagi mengingat. Pikirkanlah matang-matang.”, kenang Selma. “Yah, karena suster bilang begitu, aku akhirnya down dan mengurungkan niat itu.”, sambungnya. Namun tetap saja, setiap misa dan rosario, Selma selalu hadir dan merasa sangat senang untuk ikut di dalamnya.                   

Selama 4 tahun, Selma bekerja di Asrama Elisabet. Ia harus pergi karena ketentuan ketenagakerjaan pada waktu itu memutuskan bahwa pekerja di tempat itu haruslah mereka yang telah tamat SMA-sederajat.

Berjuang Demi Cinta

Setelah pergi dari Asrama Elisabet, Selma bekerja di Rumah Ret-ret Maranatha yang dikelola oleh suster-suster FSE. Pekerjaan di tempat ini tidak jauh berbeda dari kegiatan di asrama Elisabet.    “Aku masih sangat ingin menjadi katolik. Jadi, akupun bercerita kepada Sr. Flavia”, katanya. Sr. Flavia berpendapat lain. Ia sangat mendukung aku dan mengatakan bahwa justru kelemahan yang ada padaku harus menjadi kekuatan bagiku supaya lebih berjuang demi keinginan itu. Gereja Katolik tidak menutup pintu bagi orang yang tidak sekolah. Yesus sendiri tidak memilih-milih orang untuk menjadi pengikutnya. Kamu hanya harus lebih berjuang dari orang-orang yang sudah lulus sekolah.  

Baca juga  Misa Mingguan secara Online? Ini Penjelasan Vikaris Yudisial KAM

Selma sangat tersentuh dengan nasihat itu dan kembali membulatkan hati untuk menjadi katolik. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar merestui dan menerima dirinya di dalam gereja katolik.                         
Pada waktu itu, masih belum ada jadwal bagi paroki untuk membuka penerimaan umat baru. Jadi, Selma menggunakan waktu untuk mengingat doa-doa pokok, syahadat para rasul, dan hal-hal mendasar yang diperlukan sebagai calon penerimaan baru. Mengingat semua itu bukanlah hal mudah bagi Selma. Ia membutuhkan banyak sekali waktu. Tapi cintanya kepada Ekaristi dan rosario membuat dia selalu berusaha meskipun sangat sulit.                

“Saat bercerita kepada orangtua tentang niat ini, orangtua sangat berat hati dan bahkan tidak mengizinkan. Tapi, aku tetap mempertahankan keinginan ini meskipun mereka tidak setuju. Aku tidak mau tahu alasan orangtua tidak merestui aku. Yang terpenting, mereka tahu bahwa aku sungguh-sungguh ingin menjadi puteri Allah di dalam Gereja Katolik.”, kata gadis remaja ini dengan yakin.         

Sesudah bekerja di Maranatha selama 1 tahun, Selma memutuskan untuk pindah bekerja di Sopo Malem Jaranguda, Berastagi. Tempat itu masih berada dalam satu cakupan dengan Paroki Berastagi. Setiap hari Minggu, ia selalu mengikuti perayaan misa dengan hati gembira dan dalam hati yang terdalam sangat merindukan untuk bersatu dengan Kristus dalam hosti kudus.         

Suatu hari, ada pengumuman bahwa paroki sudah membuka penerimaan calon baptis dan anggota gereja. Tanpa berpikir panjang, Selma bersama seorang rekan kerja yang dekat dengannya, Mia, mendaftarkan diri di seketariat paroki. “ Aku tak menyangka sudah melangkah sejah ini, dan itu membuatku sangat bergembira.”, kenang Selma. Dengan sepenuh hati, ia mengikuti proses baik itu administrasi maupun pembekalan iman yang diberikan. Sejak saat itu, Selma mencoba untuk membaca Kitab Suci setiap malam untuk melatih kemampuan membacanya dan untuk semakin mengenal Kristus yang dicintainya.

Selama 3 bulan ia mengikuti pembelajaran. Akhirnya pada 30 Agustus 2020, Selma telah sah menjadi seorang Katolik. Saat menyambut komuni pertama, gadis remaja itu menangis menyampaikan syukurnya kepada Yesus atas rahmatNya yang mengizinkan dia  untuk menjadi puteriNya dalam Gereja Katolik. “Hari itu menjadi hari yang takkan terlupakan dalam hidupku”, serunya mantap.      

Selma percaya akan cinta Yesus yang mengagumkan. Dia percaya bahwa meskipun dirinya tidak meluluskan sekolah, miskin, kurang pandai, dan tidak terpandang, namun Yesus sendiri sangat mencintai dirinya. Gadis remaja itu menemukan kepercayaan itu dalam keheningan dan kedamaian Misa Suci. Demikianlah keyakinan itu menjadi semangat dalam dirinya untuk selalu bergembira dalam melaksanakan pekerjaan. Meskipun usianya yang masih sangat muda dan keadaannya yang kurang meyakinkan, tapi siapa sangka, Yesus sendiri menurunkan tangan untuk menyentuh hatinya dalam Ekaristi Suci.             
           

Begitulah sampai saat ini Selma sangat mencintai Ekaristi Suci dan devosi rosario yang menyejukkan perasaannya. Kesadaran akan kecintaan ini menjadi satu pegangan yang kuat bahwa meskipun dalam keluarga dirinya sendiri yang beragama katolik, Selma tahu kalau dirinya jugalah yang paling dicintai oleh Yesus.

Oleh: Fr. Nicodemus Sihaloho, OFM Cap
Biara Kapusin San Damiano, Jaranguda, Berastagi  

Facebook Comments

Rina Barus

Menikmati Hidup!!!

Leave a Reply