Mengenali Diri Dan Sesama Di Tengah Pandemi Covid-19
Manusia adalah Makhluk Menyejarah
Kaum eksistensialisme mengimani suatu cara pandang baru bahwa manusia adalah makhluk yang mengada secara sadar bersama dengan yang lain dalam dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi manusia berkonfrontasi dengan yang lain.Kehadiran saya (subjek) selalu terarah keluar dari diri diarahkan pada keberadaan yang lain. Kehadiran saya (subjek) pun memberikan arti dan nilai bagi keberadaan yang lain, demikian sebaliknya kehadiran yang lain membantu saya dalam proses pencarian jati diri yang sesungguhnya.
Dalam perkuliahan Filsafat Manusia sebagai pengantar awal ditegaskan oleh Pater Leo Kleden, SVD mengatakan bahwa “Aku dan yang lain sejauh merupakan substansi yang berdikari (otonom) sejauh itu pula berhubungan timbal balik, dengan saling memberi arti dan saling mengadakan. Keduanya bersama-sama merupakan pusat-pusat yang berotonomi di dalam korelasi dan berkolarasi di dalam otonomi.
Manusia adalah makhluk menyejarah yang selalu berproses dalam segala dimensi waktu. Dikatakan sebagai mahkluk menyejarah, karena manusia merupakan makhluk yang dinamis, yang selalu dan terus menerus membuat perubahan dan transformasi dalam hidupnya. Substansi atau jiwa manusia tetap atau bersifat statis, namun yang mengalami, bertindak serta menilai diri sendiri dan orang lain.Manusia membutuhkan yang lainuntuk memahami dirinya secara holistik dan integral. Sekali lagi saya mengafirmasi bahwa kehadiran yang lain memberikan suatu kontribusi positif bagi keberadaanku untuk memahami diri dan sesama. Proses pemahaman diri manusia hanya ditemukan dalam dunia pluralitas. Karena dunia itu sendiri menyimpan keanekaragaman yang tak dapat disangkal, sebaliknya diterima, dipelajari,dihayati dan diteruskan ke generasi berikutnya.
Proses pemahaman akan arti dan makna hidup terjadi dalam setiap aliran waktu. Terkait dengan waktu, filsuf Aristoteles telah memberikan suatu pemahaman kepada manusia terlebih pada saya yang selalu hidup dalam aliran dan permainan waktu. Aristoteles menerangkan bahwa “aku tahu apa itu waktu, asalkan orang tidak bertanya kepadaku, namun, saat orang bertanya kepadaku: apa itu waktu? Aku menjadi bingung”. Terlepas dari pertanyaan Aristoteles ini, saya kembali mengafirmasi bahwa saya anda hidup dalam tiga struktur waktu yang bersifat statis yakni; masa lampau (warisan), masa depan (proyek) dan masa sekarang (ikhtiar). Ketiga struktur waktu ini sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi.
Pandemi Covid-19 adalah Waktu ‘Sekarang’
Situasi sekarang sedang landa wabah pandemi virus Corona yang memaksa manusia untuk sejenak menarik diri dari situasi keramaiaan, menjaga jarak dengan orang lain, menghentikan aktivitas di sekolah, tempat kerja atau di temapt-tempat yang mengumpulkan banyak orang. Semua anjuran yang disampaikan oleh pemerintah dan tim medis merupakan suatu bentuk perhatian yang perlu diperhatikandan dijalankan oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Situasi pandemi Covid-19, memaksa setiap individu untuk bekerja sendiri dari rumah, mengajarkan segala sesuatu yang perlu dan selalu mengusahakan pola hidup sehat. Menyaksikan situasi saat ini, saya berpikir bahwa anjuran-anjuran untuk bekerja sendiri di rumah, menjaga jarak dengan orang lain menemuai kontradiksi jika tautkan dengan sifat hakiki dari manusia yang adalah mahkluk sosial.
Sebagai mahkluk sosial, manusia yang satu membutuhkan sesama manusia yang satu selalu membutuhkan sesamanya untuk mewujudkan dirinya secara integral dalam hidup. Manusia dapat merealisasikan dirinya secara holistik hanya dan melalui hubungannya dengan yang lain. Kehadiran yang lain memberikan kontribusi positif dalam menemukan nilai, makna dan jati diri saya yang otentik. Namun, sekali lagi menganfirmasi bahwa dalam situasi sekarang, setiap orang diwajibkan untuk menjaga jarak dengan yang lain.
Adapun pertanyaan yang muncul dari benak saya, yakni apakah situasi pandemi Covid-19 ini, menjadi suatu tantangan bagi saya dalam pencarian dan perwujudtan jati diri? Bagaimana mungkin saya dapat merealisasikan diri saya jika tidak diarahkan kepada yang lain? Apakah hal ini akan menjadi mungkin?Dalam permenungan pribadi, saya beragumentasi bahwa pandemi Covid-19 adalah waktu “sekarang”. Waktu sekarang dalam bidang kajian epistemologi (filsafat manusia) dipahami sebagai pertemuan antara masa lampau dan masa depan.
Berdasarkan dalam masa sekarang, begitu banyak orang mengalami kecemasan dalam situasi pandemi Covid-19 saat.
Kecemasan bisa dilampaui dengan baik, jika kita mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan penyesalan yang kerap mencengkaram pikirannya. Hal kecil akan menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran orang dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan. Beban pikiran dan kecemasan yang berlebihan membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup manusia itu sebenarnya. Kunci untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran manusia dalam pemikiran filsafat Socrates yang berkisar antara pertanyaan dasar: Siapakah itu manusia?Apa hakikat manusia?
Manusia adalah jiwa atau roh, yang membedakan dari segala sesuatu yang lain. Roh inilah yang menjadi pusat kemampuan berpikir dan penilaian tindakan etis manusia. Jiwa adalah aku yang sadar sebagai makhluk rasional dan moral. Karena hakikat manusia adalah jiwa maka dia harus memperhatikan perkembangan jiwanya. Tubuh hanyalah alat bagi jiwa untuk mengekspersikan dirinya. Badan melayani jiwa. Sebagaimana tubuh adalah satubagaian dari dunia materil, demikian pun jiwa kita adalah bagaian dari rasio universal. Daya rasio universal dapat dibaca dalam diri kita sendiri: seperti jiwa menguasai tubuh kita, rasio universal menguasai universum.Socrates menginterpretasikan tulisan pada kuil Delphi “Gnoti Seauton” (Kenalilah dirimu sendiri) menunjukan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami pikiran, yang merupakan salah satu keberadaan yang khas manusia.
“Kenalilah Dirimu”? menuntun saya untuk merefleksikan bagaimana memahami manusia sebagai substansi dan subjek yang terbatas di tengah situasi Pandemi Covid-19 sekarang ini?Virus Covid-19; saya sebut sebagai tragedi yang mengahyutkan nyawa manusia, disebut sebagai tragedi, karena pristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan yang amat dalam bagi banyak orang. Pristiwa ini juga menyadarkan kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun pristiwa ini juga bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga tidak mengulangi hal yang sama di masa depan.
Hubungan dengan sesama manusia?
Sampai dimana kita benar-benar belajar menjadi manusia cerdas yang terus bertanya, merasakan apa yang dialami oleh orang lain, dan merumuskan jalan keluar bersama. Atau sebaliknya, seberapa dalam kita masih terjebak dalam pembodohan berlapis-lapis dan keangkuhan moral atas hidup dan mati sesama. Jumlah nyawa manusia yang melayang akibat sebab hentakan pandemi saat ini, yangmenjadikan kita akan sadar atas kesalahan tingka laku kita, atau justru sering menyalakan waktu dan situasi?
Pandemi Covid-19 menujukan batas-batas diri manusia modern. Ketika semua kesibukan dipaksa berhenti, mobilitas yang tinggi dipaksa untuk diam, kebingsingan dan hiruk pikuk dipaksa senyap, dan segala rutinitas keseharian diputus mata rantainya, kita, masyarakat modern terlempar keterasingan yang mengerikan. Virus ini, demikian setan bermahkota duri, belum diketahui secara pasti obat dan vaksinya, tetapi rasanya sudah mulai merajahi hati dan pikiran kita. Karena tidak merusak dan mengacukan sistem kekebalan tubuh manusia sebagai bagian dari alam, tetapi lebih mendasar lagi, patogen ini menimbulkan histeria, menggrogoti sistem pikiran dan sistem penilaian moral kita yang rapuh dan sekarat dihadapan kematian dan di dalam penderitaan.
Harus diakaui, masyarakat modern adalah masyarakat yang tenggelam dalam rutinitas keseharian yang padat, nomad sejati yang selalu bergerak, tak kenal diam. Didorong oleh idealisme untuk memeluk kemajuan setinggi mungkin, masyarakat modern tak pernah punya waktu untuk merenungkan palung terdalam eksistensinya. Situasi ini membuat masyarakat modern tidak mengalami apa yang filsuf eksistensial yang terkenal yaitu Socrates sebut sebagai “kecemasan eksistensial manusia”. Kecemasan selalu eksistensial sifatnya, suatu keadaam di mana seseorang menjadi sadar akan kemungkinan ketidakberdayaan. Teuntu saja bisa memilih antara rasa takut atau kecemasan eksistensial. Rasa takut menuntut kita untuk memperhatikan semua instruksi pemerintah dan tenaga kesehatan agar terhindar dari paparan Covid-19. Tetapi manusia yang otentik bisa melampaui sekedar rasa takut menuju kepada kecemasan eksistensial. Dengan berhentinya roda kesibukan dan berkurangnya mobilitas, kita merenungkan palung terdalam kehidupan kita.
Di sana ruang percakapan dengan eksistensi, kita, masyarakat modern, mungkin akan menemukan bahwa di samping segala bentuk idealisme kemajuan dan aroganisasi kemewahan yang memaksa kita untuk terus bergerak, bising, hiruk-pikuk, tenggelam dalam rutinitas dan jadwal yang serba padat, eksistensi kita sesungguhnya rapuh. Oleh karena rasa takut, kita tentu melawan Covid-19 membuat kita sadar akan kerapuhan eksistensi kita masing-masing.
Manusia dengan Lingkungan Hidup
Manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, ia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatur alam dan lingkungan untuk menjaga dan melindungi segala ciptaan-Nya. Mungkin Covid-19 merupakan stimulus atau uji coba untuk manusia di seluruh dunia. Bagaimana pentingnya tetap menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Karena meskipun adanya Covid-19 bumi sedikit membaik, alangkah baiknya jika manusia pun memikirka apa yang harus ia perbuat untuk kehidupan selanjutnya.
Manusia dengan Tuhan
Pengetahuan akan Allah tidak diperoleh dari permenungan tentang dunia dan alam, melainkan lahir dari permenungan atas diri sendiri. Allah tidak hanya memberikan kepada manusia tanda-tanda tetapi juga suara dalam batin. Semua manusia dapat mendengar suara ini. Dalam masa Pandemi Covid-19 manusia mengalami “Kecemasan”. Seorang cemas secara eksistensial akan dibenturkan pada pertanyaan-pertanyaan ini: Dari mana saya berasal? Ke mana saya pergi? Mengapa saya ada? Apa Tujuan hidup saya? Untuk apa saya ada?Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan seperti ini kita mesti mengingatkan kembali pemikirannya Socrates “Kenalilah Dirimu?Dalam artian bahwakita manusia mesti menyadari dan merefleksikan diri masing-masing untuk apa saya ada dan kemana saya akan pergi? . semua pertanyaan seperti ini, menjadikan untuk semakin dekat dengan Tuhan yang adalah sumber pemberian hidup kita.
Penutup: Kenalilah Dirimu
Dalam situasi saat ini, seruan filsuf Socrates “Kenalilah Dirimu” sangat relevan dalam menyikapi persoalan pandemik Covid-19 yang menyerang manusia secara menyeluruh. Situasi ini semacam suatu kesempatan bagi setiap orang untuk berbenah serentak bertanya diri, siapakah aku bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain? Mempertanyakan diri sendiri selalu dihubungan dengan relasi selalu dihubungkan dengan relasi aku dan yang lain. Sehingga manusia itu dikatakan makhluk yang memikat yang memiliki sifat sosial dalam dirinya
Seruan ‘kenalilah dirimu’ mengajak kita untuk memurnikan motivasi dan orientasi hidup kita yang mungkin masa lampau kita selalu diarahkan pada diri sendiri (egoisme) dan bersikap apatis terhadap penderitaan orang lain.
Yodan Loni, Mahasiswa STFK Ledadero