MEMBIASAKAN DIRI MELAKUKAN YANG BERMAKNA
Saya sangat tertarik dengan pemikiran Alasdair MacIntyre dalam tulisannya “After Virtue” (1981). Meski sudah 40 tahun yang lalu, namun pemikirannya masih sangat aktual bagi kehidupan kita manusia modern. Mengapa? Manusia zaman modern cenderung melakukan sesuatu untuk menjalankan peraturan sejauh ia “terkontrol” oleh lingkungan, tidak pergi ke gereja bukan karena kesadaran bahwa itu bernilai tapi karena malu disebut tak beragama. Bahkan acara adat dihadiri bukan karena nilai dari adat-istiadat itu sendiri tetapi karena malu disebut “ndang maradat” (tak beradat). Lebih parah lagi, orang bahkan lebih malu disebut “tak ber-adat” dari pada tak ber-Tuhan.
Ini yang biasa disebut kecenderungan legal. Kecenderungan legal merasuki pemahaman manusia, terutama setelah abad pencerahan (sekitar abad kedelapanbelas/tahun 1700-an). Manusia mengembangkan etika rasional, yang lebih berfokus pada peraturan atau norma, atau prinsip yang harus ditaati. Misalnya seseorang merasa penting untuk berdoa setelah ia mengalami sebuah kecelakaan, atau ‘terpaksa’ berdoa demi mengharapkan sebuah mukjizat. Berdoa tidak dilihat sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri. Artinya: dorongan untuk berdoa bukan karena dorongan kesadaran dari dalam diri, akan nilai doa itu sendiri.
Lagi, manusia modern kadang lupa akan arti pertanyaan ini: apa sebenarnya arti hidup manusia? Manusia lupa bahwa hidupnya bernilai, berbeda dari makhluk lain. Alasdair MacIntyre berpendapat bahwa etika pasca tradisional sudah gagal dalam usahanya untuk mendasarkan moralitas pada pembuktian rasional yang meyakinkan. Etika hanya dapat diselamatkan apabila kita mau kembali ke pengetahuan etika tradisional bahwa yang menjadi titik tolak moralitas adalah keutamaan, BUKAN prinsip-prinsip atau norma-norma. Menurut MacIntyre, kegagalan itu terjadi karena ada inkonsistensi mendasar.
Saya teringat akan sebuah anekdot sederhana yang mengkritisi fenomena seperti ini. Di suatu biara, pada zaman awal didirikan banyak kaum religius yang hidup bersama dengan peraturan yang ketat. Mereka berdoa bersama sepanjang hari. Di biara itu, mereka memelihara banyak kucing. Setiap kali hendak berdoa kucing-kucing itu berdatangan ke gereja dan sangat mengganggu peribadatan. Suatu kali diputuskan dalam rapat bersama bahwa setiap kali hendak berdoa ritus pertama yang harus dilakukan bersama adalah mengurung kucing-kucing dalam ruangan tertentu. Dan hal ini menjadi sebuah kebiasaan. Tahun ke tahun jumlah penghuni biara semakin sedikit namun tradisi mengurung kucing sebelum berdoa tetap dilakukan kendati jumlah kucing pun tinggal sedikit dan tidak lagi mengganggu. Tradisi itu diteruskan turun-temurun begitu saja oleh para penghuni biara berikutnya tanpa mengetahui mengapa dilakukan demikian. Etika tradisional bernilai bila kita mengetahui makna atau nilai yang terkandung di dalamnya.
Dalam buku After Virtue, MacIntyre sangat menekankan perlunya keutamaan. Kata “keutamaan” berasal dari kata Yunani arete, Latin virtus dan virtue dalam bahasa Inggris. Kata sifat dalam bahasa Inggris adalah virtuous yang diterjemahkan “saleh”. Untuk memperdalam pengertian “keutamaan”, MacIntyre memasukkan tiga paham yang khas bagi manusia dan merupakan kerangka yang harus dipakai untuk mengerti manusia, yaitu: paham “kegiatan bermakna” (practice), paham “tatanan naratif kehidupan seseorang” (narrative of a single human life), dan “tradisi moral” (moral tradition). Dari ketiga aspek itu, saya sangat tertarik dengan paham “kegiatan bermakna”.
Setiap hari sebenarnya kita dihadapkan dengan pentingnya motivasi hidup bermakna. Beberapa kali saya lihat orang-orang Katolik tidak membuat tanda salib dengan baik (asal-asalan). Padahal membuat tanda salib adalah ungkapan iman yang sangat mendalam. Kesadaran itu rupanya belum sungguh mendarah daging. Dan saya bertambah heran setelah tahu kalau para pesepak bola Eropa tidak serta-merta adalah seorang Katolik beriman ketika dia membuat tanda salib seketika mencetak gol atau sebelum masuk lapangan. Kebanyakan mengira itu simbol keberuntungan (magis) dan dikira sebuah tren seorang “mega-bintang”.
MacIntyre sangat membedakan aktivitas bermakna dari kegiatan biasa. Misalnya, bermain sepak bola berbeda dari bermain-main dengan bola. Kegiatan bermakna mempunyai nilai internal, seperti bermain bola adalah menyenangkan dan juga menyehatkan. Tetapi kegiatan itu bisa juga mempunyai nilai eksternal, misalnya kalau menang gengsi akan naik atau akan mendapat uang atau hadiah. Kalau nilai eksternal diutamakan, kegiatan bermakna sendiri akan rusak. Sedangkan nilai internal tidak akan merusak kegiatan bermakna, sebab kalah atau menang dalam bermain bola tidak menentukan apakah bermain bola menyenangkan atau tidak. Dari situ kita dapat melihat bahwa ada dua macam nilai internal dalam sebuah kegiatan bermakna: mutu atau kualitasnya dan yang kedua adalah bahwa dalam kegiatan bermakna saya ikut di dalamnya dan itu bernilai bagi saya. Makin banyak kegiatan bermakna yang saya ikuti dan berjalan semestinya, makin bernilailah hidup saya. Dengan demikian, sebuah kegiatan bermakna mengandaikan standar-standar mutu dan ketaatan terhadap aturan-aturan serta pencapaian sesuatu yang bernilai. Keutamaan dalam arti yang sebenarnya adalah mutu (excellency), atau kemampuan, atau kekuatan seseorang berpartisipasi dalam sebuah kegiatan bermakna.
Untuk mencapai mutu internal ini dibutuhkan kejujuran dan kepercayaan (truthfulness & trust). Kalau kita bersama-sama melakukan sebuah kegiatan bermakna dan salah seorang menipu, maka maknanya hilang. Kedua adalah keadilan (justice). Keadilan menuntut agar orang lain diperlakukan dengan jasanya sesuai dengan standar-standar kegiatan bermakna yang bersangkutan. Dan yang ketiga adalah keberanian (courage). Keberanian dibutuhkan karena kalau orang, begitu mengalami perlawanan, mundur dari melakukan bagiannya dalam melakukan kegiatan bermakna, tentu kegiatan itu tidak dapat berhasil. Dengan kata lain, kejujuran, keadilan, dan keberanian merupakan keutamaan yang sungguh-sungguh.
Sebuah kegiatan bermakna baru bermakna kalau terintegrasi dalam dinamika sebuah kehidupan manusia dalam keseluruhannya. Dalam arti ini kita semakin mampu menghayati bahwa hidup kita bernilai, bermartabat. Kita berharga sebagai manusia yang memiliki kesadaran yang tidak dipengaruhi dari luar saja tetapi sungguh memancar dari kedalaman hati pribadi.