MENEMUKAN DAN MERAWAT WARISAN TOLERANSI BERAGAMA

“Bagi saya, berbicara tentang toleransi di Sumatera Utara adalah hal yang cukup menarik dan dapat menjadi salah satu contoh bagi umat beragama di daerah lain. Wilayah Sumatera Utara terdiri dari berbagai etnis, agama dan kebudayaan yang berbeda-beda, namun sejauh ini sikap menghargai antar umat beragama tergolong masih baik,” terang Y.M. Bhikkhu Dhirapuñño
Namun, dia menambahkan, perkembangan teknologi informasi juga menjadikan masyarakat dengan mudahnya mengakses kabar berita yang beredar baik itu kabar berita yang berdasarkan fakta maupun hoax (berita bohong) dan kemudian menjadi awal berkembangnya kelompok-kelompok yang mulai saling membenci hanya karena mempercayai berita-berita bohong. “Hal ini juga disebabkan karena kurangnya pemahaman dalam penggunaan teknologi informasi secara baik dan benar.”
“Berkenaan dengan gerakan-gerakan toleransi, hal sederhana yang telah kami jalani di Sumatera Utara terutama di kota Medan dan sekitarnya selama beberapa tahun belakangan ini adalah KOPI TOLERANSI. KOPI TOLERANSI merupakan salah satu upaya sederhana, dimana anak muda dari berbagai latar belakang agama, etnis dan budaya yang berbeda-beda berkumpul untuk saling mengenal, berdiskusi dan belajar bersama. Kegiatan yang dikemas dengan tema millennial ini umumnya mengambil lokasi di café maupun tempat ngopi bersama dengan suasana yang kental akan rasa kekeluargaan.”
Menurut Bhikku Dhira Dhirapuñño, amat dibutuhkan kesadaran untuk menumbuhkan toleransi beragama. “Jika kita semua mau menyadari, saya kira tidak akan terlalu sulit untuk membentuk diri. Menyadari bagaimana agar diri kita bisa nyaman dalam hidup ini, maka kerukunan dan toleransi dengan mudah kita rasakan. Mengapa begitu? Sebab zaman telah menjalani webur walaupun beribu pulau, banyak suku, bahasa, adat, agama, kepercayaan yang majemuk, sejarah dengan jelas mencatat bahwa bangsa Indonesia mampu hidup rukun, damai, harmonis dan bersatu, belum lagi ditambah dengan budayanya yang beragam. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya.”
Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah Menjemaat edisi Maret 2020