REFLEKSI

Membaca Merenungkan dan Menghayati Kitab Suci

Tidak terasa, September mendekat. Dalam hidup umat Katolik, September menjadi momen berharga untuk membaca Kitab Suci. Sehubungan dengan itu, penulis hendak berbagi refleksi. Refleksi akan indahnya membaca, merenungkan dan menghayati Kitab Suci.

Mungkin masih ada yang bertanya, mengapa perlu membaca Kitab Suci? Bukankah belum tentu seseorang menjadi baik karena membaca Kitab Suci? Banyak orang rajin ke gereja, mendengar isi Kitab Suci, tapi tidak menjalankan isinya. Tetap berdosa.

Selain itu, isi Kitab Suci DIRASA hanya itu-itu saja. RASANYA ada bagian yang tidak sejalan antara satu dengan yang lain. Sepertinya banyak cerita kekerasan. RASANYA tidak menarik. Membingungkan. Membosankan.

Penulis pernah jatuh ke lubang yang sama. Kurang menikmati isi Kitab Suci. MERASA sia-sia membaca Kitab Suci. Tidak ada perubahan dalam diri.

Mengapa penulis menekankan kata: ‘RASA’? Karena apa yang penulis alami juga dialami umat beriman lainnya. MERASA. Padahal, iman bukan masalah perasaan.

Fides quaerens intellectum’, kata St. Agustinus dari Hippo dan St. Anselmus dari Canterbury. Iman harus sejalan dengan pengetahuan. Bagaimana saya menyebut diri saya beriman jika saya tidak membaca sumber iman?

Kitab Suci adalah sumber iman. Tanpa membaca Kitab Suci, iman menjadi sia-sia. Tiada kebenaran iman tanpa Kitab Suci. Iman tanpa didasari pengetahuan yang tepat seperti berjalan dalam lorong yang gelap.

Ibarat lampu, Kitab Suci menerangi umat beriman dalam menapaki kehidupan. Kitab Suci menunjukkan sikap umat beriman di masa lampau. Yesus Kristus sendiri hanya dapat dikenal dengan membaca Kitab Suci.

Karena itu, sikap umat Kristen yang anti terhadap Kitab Suci adalah aneh. Seseorang yang menyebut dirinya Kristen harus mampu berpikir jernih. Apa itu Kristen?

Bukankah Kristen berarti pengikut Kristus? Bagaimana bisa seseorang menyebut dirinya pengikut Kristus jika ia tidak mengenal Kristus yang sebenarnya? Kitab Suci sudah membagikan gambaran Yesus Kristus yang sejati. Karena itu, marilah membaca Kitab Suci.

Perlu menghindar dari membiarkan diri hidup dalam kegelapan karena tidak membaca Kitab Suci. Orang yang sungguh beriman akan membaca Kitab Suci untuk mengenal Tuhan. Orang yang sungguh Kristen akan berusaha mengenal Yesus Kristus lewat Kitab Suci. Umat beriman harus menyadari bahwa Kitab Suci adalah bacaan umat beriman. Tidak cukup hanya mendengarnya di gereja. Tidak cukup hanya mendengarnya di radio.

Setelah membaca Kitab Suci, merenungkan isinya. Tanpa refleksi, isi Kitab Suci menjadi hambar. Karena itu, umat beriman sebaiknya menyediakan waktu untuk merenungkan isi Kitab Suci. Ibarat tanaman, merenungkan isi Kitab Suci adalah tahap memupuk dan mengairi.

Kitab Suci selalu kontekstual. Pengalaman bangsa Israel merupakan pengalaman umat beriman pada zaman sekarang. Pengalaman jemaat perdana juga demikian.

Contoh pengalaman bangsa Israel yang paling menarik ialah penyembahan berhala. Mengapa Tuhan murka? Karena bangsa Israel justru menyembah dewa-dewa. Padahal, dewa-dewa ialah fana.

Dalam zaman modern, penyembahan berhala masih terjadi. Manusia mengkultuskan hal-hal yang bersifat sementara. Manusia mengutamakan harta. Padahal, harta hanyalah fana. Manusia mengagungkan dirinya sendiri. Padahal, hidup hanyalah sementara.

Penyembahan berhala hanyalah sebuah contoh dari sekian contoh yang dibagikan oleh Kitab Suci. Masih banyak lagi hal-hal yang kontekstual. Penulis membatasi pada satu contoh agar pembaca juga menggali isi Kitab Suci.

Dengan menggali isi Kitab Suci lewat renungan, ada hal-hal menarik yang dapat ditunjukkan Roh Kudus bagi kita. Itulah alasannya mengapa Kitab Suci selalu menarik. Satu perikop dapat membawa pada pemahaman yang semakin mendalam tentang iman.

Untuk itu, umat beriman perlu meluangkan waktu sejenak untuk berenung. Sebelum tidur atau sesudah bangun tidur. Atau, membuat jadwal khusus lainnya di tengah-tengah kesibukan.

Bagi yang berladang, mungkin menarik jika membawa Kitab Suci ke pondok berteduh. Selesai makan siang, merenungkan isi Kitab Suci. “Memang ya, burung pipit tidak menabur dan menuai. Tapi, mereka dipelihara Tuhan. Bukankah terlebih lagi aku yang sedang bekerja di ladang ini?” Renungan ringkas semacam ini selalu menarik.

Selalu ada kejadian harian yang dapat membuka mata pembaca Kitab Suci. Tiada hari tanpa merenungkan isi Kitab Suci. Sesederhana apa pun renungan pribadi, dapat menuntun pada iman yang mendalam akan kehadiran Tuhan.

Dari renungan, menuju penghayatan. Sekali lagi, ibarat tanaman. Tahap ini ialah tahap yang manis. Saat tanaman itu berbuah. Dari pengetahuan, menuju pemahaman. Dari pemahaman, menuju kebiasaan. Dari kebiasaan, menjadi habitus.

Tanpa penghayatan, isi Kitab Suci akan menjadi sia-sia. Rasul Yakobus sendiri menyebutkan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Karena itu, isi Kitab Suci harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Cara hidup jemaat perdana. Ajaran-ajaran baik yang disampaikan Yesus Kristus. Ajaran para rasul. Serta berbagai pedoman hidup Kristiani hendaknya diamalkan juga dalam kehidupan harian.

Sekaitan itu, penulis mengangkat seorang tokoh yang menghayati isi Kitab Suci. Namanya St. Fransiskus Assisi. Penghayatannya bermula dari mendengar isi Kitab Suci. Kemudian, isi Kitab Suci direnungkannya dalam doa. Setelah itu, ia melaksanakan isi Kitab Suci seteliti mungkin.

Sabda Yesus Kristus dalam Kitab Suci menjadi pegangan hidupnya, hampir harafiah. Ketika disebutkan untuk tidak memakai kasut, ia melakukannya. Ketika disebutkan tentang anak domba, ia mencintai anak domba. Ketika mengetahui kelahiran Yesus Kristus di kandang ternak, ia menciptakan kandang Natal untuk merayakan Natal.

Isi Kitab Suci tidak pernah lepas dari permenungannya. Apa buahnya? St. Fransiskus Assisi hidup dalam kekudusan. Penghayatannya berbuah dalam rupa kebaikan. Ia menjadi panutan dalam hidup banyak orang.

Selain St. Fransiskus Assisi, masih banyak orang kudus yang menunjukkan penghayatannya akan Kitab Suci. Karena itu, penghayatan adalah poin berikutnya dari membaca dan merenungkan Kitab Suci. Dengan membaca, merenungkan dan menghayati Kitab Suci, umat beriman dapat melepaskan diri dari jerat RASA.

Untuk menutup refleksi ini, penulis hendak berbagi cerita yang sudah umum. Suatu ketika, ada pernyataan menarik dalam koran. “Setiap hari, saya pergi ke gereja. Tapi, isinya itu-itu saja. Tidak ada yang menarik. Saya juga tidak pernah ingat isi khotbah pastor. Kalau memang seperti itu, untuk apa saya ke gereja?”

Pernyataannya menuai kontroversi. Berbagai pernyataan bermunculan untuk menyanggah atau mendukungnya. Akan tetapi, ada pendapat menarik yang menghentikan perdebatan itu. “Setiap hari, saya makan makanan yang dibuat istri saya. Saya tidak tahu apa nama masakannya. Terkadang rasanya tidak enak. Tapi, saya memakannya karena TAHU bahwa makan itu akan menjadi kekuatan bagi saya.”

Penulis berharap refleksi singkat ini membantu para pembaca untuk menyadari keindahan isi Kitab Suci. Mari memanfaatkan momen bulan September. Mari membaca, merenungkan dan menghayati Kitab Suci. Fides quaerens intellectum.

 

oleh: Mario Ari Leonard Barus

Ananta Bangun

Pegawai Komisi Komsos KAM | Sering menulis di blog pribadi anantabangun.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *