Memahami gaya baru beriman orang-orang muda
Survei 2013 yang dilakukan di Italia menunjukkan bahwa satu dari dua orang muda Italia mengaku tidak percaya pada Gereja Katolik. Kenyataan ini dipicu oleh sikap antipati yang muncul di kalangan orang muda terhadap Gereja yang institusional dan sikap anti-klerikalisme.
Religiusitas sesungguhnya tidak sepenuhnya absen dari kehidupan orang-orang muda, tetapi berkembang dalam bentuk baru. Terlalu dini mengklaim telah terjadi sekularisasi (apalagi atheisme) dalam pengertian yang luas di kalangan orang muda. Meskipun harus diakui bahwa banyak orang-orang muda saat ini kurang memahami isi dan dasar tradisi Gereja, harus diakui bahwa masih ada jejak religiusitas yang tersisa dalam diri mereka. Ini menjadi tantangan bagi kita bahwa sense spiritual kontemporer harus ditafsirkan ulang dalam terang konteks sosial yang ditandai oleh individualisme, pluralisme budaya, konfrontasi dengan agama lain, krisis meta-narasi ilmiah dan orientasi politik pasca-ideologis.
Secara umum, sulit dibantah bahwa sikap narsistik telah menyebar selama beberapa dekade terakhir. Orang-orang muda ingin menjadi pusat perhatian (self-focus). Mereka butuh situasi dimana Tuhan menjadi sangat personal bagi mereka. Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang muda mengambil jarak dari ritual kolektif. Krisis praktik keagamaan itu sendiri oleh individualisme narsistik mengalami de-ritualisasi.
Namun, tetap harus diakui kompleksitas masalah orang muda tidak sesederhana itu. Hasrat orang muda akan sesuatu (orang) “yang lain” sebagai patron berhadapan dengan tantangan akan banyaknya pilihan. Tampaknya telah terjadi pergeseran ke berbagai aspek lewat ekspresi-ekspresi yang baru.
Di abad ke-21 yang menawarkan banyak kemungkinan menggiurkan ini sekurang-kurangnya telah memunculkan dua paradigma baru hidup beriman: penghayatan yang reflektif dan pentingnya aspek relasional.
1. Penghayatan iman yang reflektif
Orang muda adalah mereka yang kritis akan banyak hal baik tentang dirinya maupun hal-hal di luar dirinya, termasuk hal-hal yang kita anggap biasa-biasa saja (seperti tradisi iman, keyakinan, dll). Mereka tidak berminat lagi untuk pemahaman iman yang sekadar hafalan. Transisi ke pengalaman religius reflektif ini berbeda dengan kebiasaan dan pengulangan “mekanis” yang kasat mata biasa terjadi. Pada masa transisi ini banyak tawaran dan pilihan mereka di sekitar dibarengi minusnya kemampuan mengevaluasi tindakan mereka sendiri. Padahal, transisi menuju kondisi pasca-tradisi atau ‘modus operandi’ yang tidak memiliki referensi budaya yang tahan lama sesungguhnya merupakan fenomena yang ambivalen.
Di sisi lain, ada peningkatan tingkat ketidakpastian keraguan yang berisiko. Di era teknologi ini, orang-orang muda sangat peka terhadap cara hidup “nomaden” yang disebarkan melalui saluran komunikasi baru. Tak jarang, sebagai “net generation” mereka terlibat dalam arena diskusi dan “stimulasi” virtual pengalaman akan pluralisme.
Jika harapan standard kaum muda tidak dipenuhi secara memadai, mereka cenderung menjadi ‘hiper-reflektif’ yang membuka pintu menuju relativisme. Refleksivitas sesungguhnya adalah tantangan positif untuk mengenali batasan dan kontradiksi dari modernitas yang harus dipikirkan ulang secara mendalam.
2. Pentingnya aspek kedekatan relasional dalam beriman
“Relasi” adalah elemen fundamental dari pengalaman religius apa pun. Kuatnya dorongan akan “self-focus” dan karakter narsistik orang muda menyimpan aspek religiusitas yang belum terjawab. Kebanyakan orang muda lebih memilih model pastoral dengan tokoh panutan yang tidak mengabaikan hasrat mereka menjadi pelaku aktif dan protagonis dari setiap kegiatan.
Sekurang-kurangnya ada tiga tema yang menarik perhatian orang muda zaman sekarang: bagaimana relasi dengan orang lain (termasuk keluarga), aktualisasi diri dan berbagi (termasuk persahabatan dan cinta) dan menyangkut diri sendiri (kesehatan).
Keaktifan orang muda dalam ruang virtual untuk berbagi, jika di satu sisi berisiko kehilangan privasi dan keintiman, di sisi lain, hal itu menunjukkan keinginan yang kuat untuk terlibat.
Berkaitan dengan agama makna “relasi” tidak hilang tetapi mengalami bentuk yang lain: menjadi lebih kompleks, ditandai oleh tatanan baru yang kompleks. Apa yang secara lahiriah tampak seperti penarikan diri ke dalam diri sendiri (self-focus), pada kenyataannya mengungkapkan pencarian mendalam untuk kontak dengan “yang lain” yang lebih otentik. Doa, sebagai cara intim untuk mencari hubungan dengan Yang Lain (Tuhan), merupakan kesempatan terbaik merumuskan ulang makna relasi yang lebih personal.
Penulis: RP. Benny Manurung,OFMCap