NEWSREVIEWS

PARA FRATER IKUTI SOSIALISASI LITERASI MEDIA SOSIAL

Komsoskam.com-Maumere- “Zaman semakin berkembang dalam tataran globalisasi yang tak terelakkan. Eksistensi dunia yang semakin mengglobal ini mempresentasikan rupa-rupa media sosial yang domainnya ialah ruang siber berbasis digital.

Hadirnya media sosial ini turut mengonstruksi pola pikir serta budaya baru dalam masyarakat yakni budaya digital” demikian Pater Agus Duka SVD mengawali Literasi Media Sosial bagi para seminaris. Kegiatan ini diadakan hari Sabtu 22 Februari 2020 diikuti oleh para Frater di Wisma St. Mikhael dan St. Gabriel Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Maumere, NTT.

Literasi Media Sosial ini membahas tentang sejumlah hal yang berkaitan dengan penggunaan media sosial yang benar, eksistensi budaya masyarakat digital pada zaman ini serta menelisik metode dan peluang pastoral yang dapat ditempuh oleh para agen pastoral dalam usaha mewartakan Sabda Allah dalam era digital seperti ini.

Pater Agus Duka SVD, menyampaikan materi Literasi Media Sosial

Sosialisasi Literasi Media Sosial ini dibawakan oleh pengamat komunikasi sosial, Pater Agus Alfons Duka, SVD, seorang dosen komunikasi di , Universitas Nusa Nipa Maumere dan STFK Ledalero Maumere NTT. Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan pada pukul 08.00-09.30 WITA, di ruang Bouma STFK Ledalero.

Dalam uraian pembuka, ia menegaskan bahwa media sosial merupakan suatu realitas yang tak terelakkan. Media sosial merupakan suatu media komunikasi sosial berjejaring yang domainnya ialah digital.

Dalam salah satu bagian doa berbahasa Latin Veni Creator Spiritus (Datanglah ya Roh Pencipta) tertulis Digitus Paternae dextere (Jari tangan kanan Bapa). Digitus berarti jari dan dengan jari Yesus menjamah, menyentuh sesama yang menderita, mengaduk, mengoles, memberkati, menciptakan. Dampak dari digitus (jari) ialah banyak orang disembuhkan, ditahirkan, diselamatkan, dimerdekakan dan memperoleh sukacita yang besar.

Lebih lanjut ia mengajak peserta untuk berrefleski, sudah sejauh mana Media Sosial yang berbasis digital atau jari yang telah digunakan sehari-hari itu bisa “menyentuh dan memberkati” sesama manusia dalam era digital ini.

Media sosial sesungguhnya adalah media yang kudus karena eksistensinya adalah rahmat Allah sendiri yang dapat menjadi building bridge atau jembatan penghubung bagi yang tercerai berai, sarana untuk membangun kembali yang telah runtuh dan sarana untuk memupuk tali persaudaraan serta perdamaian” tambahnya.

Pemanfaatan Media Sosial ini merujuk pada pesan atau wasiat Kristus untuk pergi hingga ke penghujung dunia untuk mewartakan kabar sukacita Kristus. Wasiat Kristus ini merujuk pada sejumlah point penting yakni agar para agen pastoral mampu membaca tanda zaman dan keluar dari zona nyamannya untuk mewartakan terang Kristus sendiri dan juga agar mereka dapat datang dan menemukan misi baru dalam budaya digital saat ini.

Kehadiran mereka sesungguhnya bukan untuk kembali mengarahkan manusia pada corak budaya lama yang sudah ditinggalkan itu tetapi usaha untuk menata dan membina hidup yang baik sesuai dengan amanat cinta kasih Kristus dalam budaya digital itu.

Selanjutnya ia memaparkan materi tentang budaya swafoto (selfie) yakni foto mandiri yang diproses dengan sangat cerdas dan disebarluaskan melalui internet sebagai bentuk komunikasi visual instant yang sering digunakan individu untuk memperesentasikan dirinya kepada publik, mengonstruksi diri dan membuka diri pada publik. Pola pikir manusia dikonstruksi sedemikian sehingga seolah-olah keberadaan manusia hanya ditentukan oleh narsis atau tidaknya ia dalam media sosial.

Hal kedua ialah illusory society. Illusory society merupakan pola budaya yang cenderung mementingkan dan memamerkan tampilan luar untuk membohongi serta mengelabui publik. Identitas diri yang sebenarnya disembunyikan demi memamerkan keindahan semu. Terhadap realitas ini para agen pastoral perlu waspada.

Hal ini kiranya perlu oleh karena pesan Tuhan yang berdasar pada kecaman-Nya terhadap orang-orang farisi dan ahli-ahli Taurat bangsa Yahudi “celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya tetapi yang sebelah dalamnya penuh rampasan dan dan kerakusan (Matius 23: 25)”. Tampilan diri apa adanya (inner beauty) amatlah penting untuk direfleksikan dan dihidupi dalam konteks hidup sehari-hari apalagi oleh para agen pastoral dalam era digital saat ini” pungkasnya.

Pada bagian penutup ia menegaskan kepada para frater agar mempergunakan media sosial secara benar khususnya berkaitan dengan tata cara sebelum mengupload foto di media sosial dengan mempertimbangkan beberapa hal penting yakni:

• Materi foto tidak mengandung informasi pribadi
• Konten foto tidak menjurus pada pornografi
• Bukan foto tindak kekerasan, kecelakaan berdarah dan jenazah
• Foto yang tidak memancing SARA
• Bukan foto pribadi orang lain
• Jangan sembarang men-tag orang
• Jangan menjadi ajang pamer
• Perhatikan waktu upload foto liburan atau dalam perjalanan

Selanjutnya ia mengajak para frater yang adalah para agen pastoral untuk mulai menggunakan media sosial sebagai domain misi sebab dalam media sosial terdapat begitu banyak orang yang saling terkoneksi dalam ribuan bahkan jutaan relasi berjejaring yang kiranya juga dapat “disentuh dan diberkati” dengan rahmat Allah sehingga mereka pun diselamatkan .

Pada sesi selanjutnya diadakan sesi tanya jawab tentang penggunaan media sosial dan tantangan-tantangan yang dialami dalam medan misi saat ini. Rangkaian acara ini berjalan dengan lancar dan apik.

“Kondisikan pola pewartaan kita dengan konteks dunia saat ini yang berbudaya digital, ini bukanlah sarana satu-satunya tetapi salah satu alternatif yang sangat penting untuk media pewartaan sabda Allah” tukas Pater Agus Duka, SVD menutup seluruh rangkain sosialisasi literasi media sosial.

Theobaldus Armando Seran – Penulis menetap di wisma St. Mikhael Ledalero- Maumere, NTT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *