Letusan Toba, Adam, dan Mi Gomak

Kory Silaban sudah memulainya saat di TB Silalahi Center. “Terangkan lagilah tentang letusan Gunung Toba itu,” pintanya. Aku tak begitu kesulitan menjelaskan karena kami sedang berdiri di depan kotak kaca yang di dalamnya tersimpan rapi klipingan ekspedisi cincin api Kompas.
Gunung Toba: meletus terakhir kali 74.000 tahun silam dan menjadi letusan terkuat di bumi, luncuran awan panasnya menutupi area seluas 20.000 km persegi, menimbun daratan Sumatra dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur, ketebalan timbunan material awan panas rata-rata 100 meter dan di beberapa tempat mencapai 400 meter, menyemburkan abu yang menutupi wilayah 4 juta km persegi, menciptakan kolom api setinggi lebih dari 40 km lalu jatuh ke tanah karena gravitasi dan menciptakan gelombang awan panas raksasa yang menghanguskan.
Hujan asam belerang selama enam tahun yang jejaknya terlacak di Greenland, badai debu selama 200 tahun, bumi kering, dingin, dan gelap selama enam tahun, menyisakan manusia sekitar 5.000 jiwa.
Kory tampak bingung. Dia tak menyangka proses pembentukan Danau Toba sedahsyat itu. Dia yang melewatkan masa kecil hingga remajanya di Balige seakan-akan sudah menerima danau itu tanpa tanya ini dan itu.
Kami kemudian beranjak meninggalkan museum dan lanjut ke Tarabunga. Memilih jalur menyusuri garis pantai Lumban Silintong, jalan kemudian mendaki tajam dan: inilah Tarabunga. Sanjaya Nababan memang pengemudi handal. Mobil berjalan santai seakan-akan sedang bernyanyi di jalan setanjakan itu. Selain melihat matahari terbenam kami ingin sekali melihat lokasi pembuatan film Toba Dreams. Dengan demikian, juga, sekalian “ziarah” ke makam Ronggur.
Teman-teman di Jawa yang belum pernah ke Danau Toba sering bertanya tentang keindahan danau besar ini. Dan selalu kujawab: danau ini indah dilihat dari sudut mana pun, dan tidak keliru mengatakan Bali itu seperduapuluhnya Danau Toba. Dan di Tarabunga kami membenarkan itu. Kami terpacak. Terpaku. Kekaguman dan kekaguman kami itu membawa kami ke bincang-bincang sore yang dahsyat. Melihat danau ini dari sini pasti sesaat mungkin membuat siapa pun akan menjadi seorang penanya tak berkesudahan. Ahhh…sudahlah. Hanya berkunjung ke sini sajalah yang mampu menjelaskan segala detailnya.
Malam pun sudah turun. Kami bersepakat beristirahat di rumah Kory saja sebelum melanjutkan perjalanan besok hari.
Di rumah Kory kami disajikan kejutan-kejutan Toba. Pertama, air di kamar mandi itu sangat segar dan dingin dan melimpah dan bersumber dari danau. Sungguh, aku ingin mandi dua kali malam itu. Kedua, ini dia: makan malam. Santapan kami sangat istimewa: ikan mujahir goreng dipadu dengan sambal Toba yang sangat khas itu. Yah, andaliman. Sambal berandaliman. Kalau tak salah andaliman itu tanaman khas Toba. Aku teringat dengan Dee mengisahkan andaliman, “Amanguda pernah berpesan kepadaku, kalau sampai terjadi kebakaran atau bencana alam menimpa gedung kami, jangan lupa selamatkan andaliman.” Malam itu pun kami makan sembari menyelamatkan andaliman di perut kami sehingga akan menjadi kenangan nikmat bersantap. Malam yang indah sekali. Letih seharian hilang sempurna.
Tiba waktunya berbaring. Tikar sudah digelar. Bantal dan selimut sudah sedia. Kory yang masih penasaran dengan letusan Gunung Toba itu membuatnya mengajak diskusi lanjutan.
Entah siapa yang memulai, malam itu kami memasukkan Alkitab ke pembahasan kami. Tepatnya tentang hubungan letusan itu dengan Adam/Hawa. Kuajukan pertanyaan menantang ini: Mana lebih dulu terjadi, letusan Toba atau Adam?
Letusan Toba terakhir terjadi 74.000 tahum silam. Lalu kami mencoba melacak tahun penciptaan Adam melalui silsilah Yesus. Alkitab memulainya dari Abraham. Dari Abraham hingga ke Yusuf, ayah Yesus, terbentang 40 generasi. Kami mengira satu generasi 50 tahun. Artinya dari Abraham hingga Yesus berjarak sekitar 2000 tahun. Nah, berapa tahun dari Adam ke Abraham? Kami tak bisa memperkirakan. Namun, kami mencoba menyebut angka: 3000-4000 tahun. Dengan begitu, simpul kami, dari Adam hingga Yesus berselang 5000 hingga 6000 tahun.
Kembali aku bertanya, “Apakah ini artinya Adan bukan manusia pertama?” Diskusi itu sangat menarik. Kami kemudian mencoba menghubungkan letusan Toba dengan Adam: Gunung Toba sudah meletus 70.000 tahun sebelum Adam “tercipta”. Benarkah demikian? Bila itu adanya, lantas siapakah Adam sesungguhnya? Bila kita mengetahui rentang waktu dari Abraham ke Adam, maka tahu pula kita tentang “yang mana yang pertama dan mana yang kemudian”. Letusan Gunung Toba boleh jadi pintu yang pas untuk memulai diskusi tentang itu. Cepat-cepat kami memutuskan untuk tidur sebelum pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” yang lain bermunculan.
Sebelum tidur kami kembali disajikan Kory kejutan terakhir penutup hari penghantar mimpi, “Pengumuman: besok pagi sarapan kita adalah MI GOMAK.” Sangat sempurna.
Dian Purba
purbadian@gmail.com