NASIONALNEWS

IMBOMON: Tempat Yesus Naik ke Surga

Loading

Aku terus mendaki puncak bukit zaitun dan di sana telah menunggu kedua puluh tiga kawan dari kelas Archeology Biblis di Hebrew University. Kami berasal dari berbagai bangsa. Kami pun terus membentuk dua kelompok dua belas dan membangun tenda-tenda di sekitar bangunan kecil berkubah yang disebut Imbomon dan diyakini tempat Yesus naik ke surga. Malam harinya kami menggelar pertunjukkan musik, lagu dan tari dari beragam bangsa, menyongsong kenangan akan hari sukacita para murid Yesus saat Guru mereka terangkat ke surga (Luk 24:50-52).

Pagi harinya bergabung dua kelompok umat-Nya yang sehari-harian jarang bersatu, yakni umat Kristen Katolik Roma/Latin dan jemaat Kristen Katolik Ortodok. Soalnya, Gereja Ortodok merayakan Tri Hari Suci, Paskah dan Pentekosta satu minggu sesudah Tri Hari Suci, Paskah dan Pentekosta Gereja Katolik Roma. Hanya dalam perayaan Yesus naik ke surga saja mereka berpesta bersama. Alasannya sangat praktis dan agak berbau politis. Lokasi yang diyakini tempat Yesus naik ke surga itu milik orang-orang Islam dan mereka hanya mengizinkan sekali perayaan di tempat itu, tepatnya empat puluh hari setelah perayaan Paskah GerejaKatolik Roma.

Pada zaman St. Hieronimus, bangunan di tempat itu berupa tempat ibadat berbentuk lingkaran tanpa atap, sehingga orang yang berada di dalamnya bisa langsung menatap ke langit dan lebih gampang mengimajinasikan saat kenaikan Yesus ke surga. Tempat itu disebut Imbomon yang berarti tempat di puncak bukit. Tahun 376 Pomenia mendirikan bangunan Imbomon yang berdiameter 32 m, tetapi tahun 614 dihancurkan oleh pasukan Persia dan baru abad ke-12 para pejuang Perang Salib membangunnya kembali dengan bentuk oktagonal (persegi delapan). Di bagian tengahnya terdapat sebuah kapel kecil berbentuk oktagonal juga, yang di dalamnya terdapat batu karang suci, yang menurut tradisi diyakini sebagai tempat Yesus dahulu berdiri menginjakkan kaki-Nya sebelum terangkat ke surga.

Tahun 1198 orang-orang Arab pimpinan Saladin datang menghancurkan gereja itu, tetapi membiarkan kapelnya tetap berdiri dan menguasai wilayah puncak perbukitan itu. Pada bangunan berbentuk kapel kecil berdiameter 6,60 m itu ditambahkan kubah sebagai atapnya dan dikelilingi tembok dari halaman Mesjid. Bangunan itu kini masih berdiri di puncak bukit Zaitun dan di situlah dahulu para murid menatap Yesus yang terangkat awan naik ke surga.

Yesus naik ke surga? Langit, tempat bintang-bintang dan ekspedisi para Astronot, tidak identik dengan surga yang kita imani. Surga yang kita imani adalah Kerajaan Allah sendiri yang tak terkait dengan waktu, tempat, arah dan jarak. Oleh karena itu, kenaikan Yesus ke surga memang suatu perjalanan, tetapi perjalanan dari waktu sementara ke waktu kekal, dari yang kelihatan ke yang tak kelihatan, dari imanen ke transenden, dari kegelapan dunia ke terang ilahi, dan dari keberadaan manusiawi ke yang ilahi. Maka dengan kenaikannya ke surga, Yesus masuk dalam dunia ilahi, yang tak seorang pun dapat ke sana, jika tidak dipilih oleh Allah (Luk 24:51; Kis 1:9). Ia hidup bersama Allah dalam kesempurnaan cara berada, kasih, kemuliaan, terang dan kebahagiaan.

Bila kenaikan Yesus ke surga bukan berarti kenaikan secara fisik ke langit, lalu untuk apa Penginjil Lukas mengisahkan peristiwa itu begitu dramatis dalam Kis 1:9-11? Hanya Lukas menceritakan kenaikan Yesus ke surga secara kasat mata dan dramatis (Kis 1:9-11). Penginjil Markus hanya mencatat: “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah” (Mrk 16:19). Sedangkan dalam Injil Matius malah tidak ada kisah tentang kenaikan Yesus ke surga. Matius menutup Injilnya dengan pernyataan: “Yesus mendekati mereka dan berkata: Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:18-20).

Baca juga  Membaca Merenungkan dan Menghayati Kitab Suci

Bagi Matius, kebangkitan Yesus sudah merupakan kenaikan-Nya juga ke surga. Sebab barangsiapa mengatakan “kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” berarti bahwa Ia telah memiliki kuasa itu dan sudah berada di surga duduk di sebelah kanan Allah. Hal ini senada dengan Penginjil Yohanes yang mengatakan bahwa kematian Yesus adalah perjalanan-Nya kepada Bapa (Yoh 3:13): “Aku meninggalkan dunia dan pergi kepada Bapa” (Yoh 16:28). Menurut Yohanes pun ketika Yesus bersabda “terimalah Roh Kudus” berarti bahwa Ia sudah berada di surga dan memberikan Roh-Nya kepada para murid (Yoh 7:39; 16:7).

Oleh karena itu, Rasul Paulus mengartikan kebangkitan Kristus sebagai peninggian dan pemuliaan dalam kuasa Allah: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp 2:8-11); “Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Rm 1:24).

Dari catatan Injil dan surat Paulus tersebut nyata bahwa kenaikan Yesus ke surga bukan peristiwa yang terlihat mata, tetapi terselubung dan langsung terkait dengan kebangkitan-Nya. Pandangan yang mengaitkan kenaikan ke surga dengan kebangkitan ini berlangsung hingga abad ke-4 seperti kata Bapa-bapa Gereja, Tertulianus, Hipolitus, Eusebius, Atanasius, Ambrosius, dan Hieronimus. St. Hieronimus pernah berkotbah: “Dominica adalah hari kebangkitan, hari untuk umat kristiani, hari kita. Oleh karena itu, disebut hari Tuhan, sebab pada hari itu Tuhan kita naik ke surga menuju Bapa” (Corpus Christianorum 78.550).

Dalam liturgi pun perayaan tentang baik kebangkitan maupun kenaikan Yesus ke surga sebagai satu kesatuan, berlangsung hingga abad ke-5. Baru sesudah abad ke-5, berkat lukisan dramatis dari Lukas dalam Kis 1:9-11, perayaan Yesus naik ke surga dipisahkan dari perayaan kebangkitan-Nya dan dijadikan pesta tersendiri.

Di akhir Injil Lukas tercatat: “Lalu Yesus membawa mereka ke luar kota sampai dekat Betania. Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke surga. Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersuka cita. Mereka senantiasa berada di Bait Allah dan memuliakan Allah” (Luk 24:50-53).

Warta yang sama ditulis Lukas dalam Kis 1:9-11, “Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.”

Baca juga  Paroki St. Fidelis Sigmaringen Mempersiapkan Pewarta Kitab Suci

Dua perikop tersebut melukiskan kisah kenaikan Yesus ke surga dalam versi yang berbeda, yakni yang nyata-nyata terlihat (Kis 1:9-11) dan yang terselubung (Luk 24:50-53). Kenaikan ke surga secara terselubung tidak dikenal di dunia Yunani-Romawi kuno dan Yahudi. Di kalangan mereka tersebar kisah tentang pengangkatan orang-orang termashur yang terlihat nyata dan dikisahkan secara menakjubkan. Sang tokoh menyampaikan pesan terakhirnya kepada umat manusia, sahabat-sahabatnya atau murid-muridnya dan segera setelah itu lenyap ke langit ditelan awan atau kegelapan sebagai ciri keberadaannya yang transenden dengan bumi.

Di kalangan penduduk kota Roma ada kisah menjakjubkan tentang sejarah hidup Romulus, raja pertama Roma. Titus Livius menulis: “Pada suatu hari, Romulus mengumpulkan rakyatnya di salah satu sisi tembok kota dan menasihati mereka agar hidup bernegara dan bermasyarakat yang baik. Tiba-tiba datang angin ribut. Sang raja dilingkupi oleh awan dan saat awan itu lenyap, Romulus pun tidak ada lagi di bumi. Ia telah terangkat ke langit. Awalnya, seluruh rakyat sekedar mengagumi peristiwa itu, namun di kemudian hari beredar kisah yang mengagungkan Romulus sebagai dewa baru dan dijadikan bapa pelindung kota Roma” (Livius I.16).

Kisah serupa dengan Romulus itu dialami juga oleh Heraklitos, Empidokles, Aleksander Agung dan Apolonius dari Tiana yang dikenal baik oleh masyarakat Yunani. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama pun ada kisah tentang pengangkatan Henokh: “Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah” (Kej 5:24). Dalam teks bahasa Slavo, Eropa Timur, yang merupakan salah satu tulisan Yahudi abad ke-1 SM dikisahkan: “Sesudah Henokh berbicara dengan umat, Tuhan mendatangkan kegelapan di atas bumi yang membuat semua orang tidak bisa saling melihat. Kemudian datanglah para malaikat, lalu mengambil Henokh dan membawanya ke atas langit. Tuhan menyambut Henokh dan menempatkan di hadapan-Nya untuk selama-lamanya. Setelah kegelapan itu lenyap, terbitlah terang. Seluruh umat tertegun dan tidak tahu bagaimana Henokh diangkat ke surga. Maka mereka memuji Allah dan pulang ke rumah masing-masing.”

Satu lagi, Kitab Suci mengisahkan kenaikan Elia ke surga dalam angin badai (baca 2Raj 2:1-18). Berkat kisah-kisah parallel tersebut jelas bahwa Lukas memakai skema dan model cerita untuk melukiskan perjalanan Yesus dari keterbatasan waktu ke keabadian, dari kemanusiaan ke keillahian. Dalam berkatekese pun saat seseorang mau mengkomunikasikan kebenaran yang diwahyukan, sering memakai cerita/dongeng, drama atau teater, tanpa menghilangkan makna kebenaran itu.

Dengan mengangkat kisah kenaikan Yesus ke surga sebagai penutup Injilnya, Lukas mau memberi penghormatan dan tempat istimewa bagi seorang tokoh besar, Yesus, Putera Allah, yang kembali ke surga, dari mana Ia dahulu datang. Untuk itu ia menambahkan berbagai keistimewaan. Sebelumnya Lukas tidak pernah menulis tentang Yesus yang memberkati para murid-Nya, tetapi sekarang Ia memberkati murid-murid-Nya; sebelumnya Yesus tidak pernah disembah oleh para murid-Nya, sekarang mereka bersembahsujud kepada-Nya untuk pertama kalinya. Dengan demikian kenaikan Yesus ke surga menunjukkan kesempurnaan penuh dari sejarah kehidupan Yesus.

 

ditulis oleh: RP. Surip Stanislaus OFM Cap (Dosen Kitab Suci di STFT Pematangsiantar)

Facebook Comments

Ananta Bangun

Pegawai Komisi Komsos KAM | Sering menulis di blog pribadi anantabangun.wordpress.com

Leave a Reply