GURU CERMIN MASA DEPAN || SELAMAT HARI GURU
Masa depan suatu bangsa terletak di tangan guru. Bukan sekedar retorika. Sulit dibayangkan suatu bangsa maju tanpa guru. Guru tak tergantikan tekhnologi. Meskipun selama pandemi Covid 19 pembelajaran dilakukan secara daring. Tekhnologi membantu guru dalam melaksanakan tugas. Hendaknya disadari bahwa peran guru sebagai pengajar dan pendidik tak tergantikan. Kunci utama pendidikan tetap di tangan guru.
Ketika bom atom meledak di Hirosima dan Nagasaki 6 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Jepang lumpuh total. Korban meninggal banyak sekali. Kerugian harta benda tak terkira. Butuh 50 tahun untuk menghilangkan efek radiasi yang ditim-bulkannya. Kaisar mengumpulkan semua jenderal. Menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Para jenderal bingung. Mereka menegaskan bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka? Kumpulkan guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini. Sekarang kepada mereka kita akan bertumpu. Bukan kepada kekuatan pasukan”.
Dalam situasi krisis, guru menjadi andalan utama untuk memulihkan negeri yang porak-poranda. Sumber daya manusia sangat menentukan. Itu ada di tangan para guru. Di awal kemerdekaan peran guru sangat penting. Indonesia merdeka bukan hanya karena kekuatan senjata dan strategi perang. Di balik semuanya itu para guru berperan besar mencerdaskan rakyat Indonesia. Membebaskan dari kebodohan. Guru dihormati. Guru tempat bertanya. Waktu itu gaji guru tak memadai. Bahkan, sejumlah guru digaji masyarakat secara swadaya. Murid membawa satu mug beras. Meskipun demikian, guru tetap tampil meyakinkan. Integritas guru tinggi dan terhormat di mata masyarakat.
Menjadi guru merupakan panggilan jiwa. Bukan sekedar profesi mendapatkan uang. Karena itu, guru terhormat di mata anak didik dan masyarakat. Kebiasaan ini masih terasa di era 70-80-an. Bila berpapasan dengan guru di tengah jalan, si murid akan berhenti dan memberi hormat. Terkadang karena hormatnya si murid berusaha menghindar supaya tidak berjumpa dengan gurunya di tengah jalan.
Sejarah mencatat awal Lembaga Pendidikan Guru Indonesia sudah menempuh perjalanan panjang. Bahkan berganti-ganti. Awalnya Guru Sekolah Desa 3 tahun, lulusan CVO (Cursus Vur Volk Onderwijs). Lama pendidikan 2 tahun. Kemudian muncul Guru Sekolah Rakyat (5 tahun), lulusan Normal School. Lama pendidikan 4 tahun. Juga muncul Guru HIS – Hollandsch-Inlandsche School (Sekolah Dasar Belanda untuk orang Indonesia). Lama pendidikan 7 tahun; serta lulusan HIK (6 tahun setelah HIS); (5) Dan lulusan Hoopdt Acte untuk guru MULO (SMP).
Di era kemerdekaan, pemerintah mendirikan Sekolah Guru B. Lama pendidikan 4 tahun setelah tamat Sekolah Rakyat (SR). Tamatan SGB mengajar SD/SR 6 tahun. Sejak tahun 1957 guru SD harus lulusan Sekolah Guru Atas (SGA). Lama pendidikan SGA 3 tahun setelah SMP. Akhirnya Sekolah Guru B (SGB) ditutup. Pemilik ijazah SGB harus menempuh penyetaraan SGA. Di masa Orde Baru Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang diperuntukkan untuk mengajar SD. Lama pendidikan tiga tahun setelah tamat SMP. Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) untuk mengajar SMP. Lama pendidikan satu tahun setelah tamat SMA. Tamatan Institut Keguruan dengan berbagai program diploma untuk mengajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat.
Menurut undang-undang terdapat lima kualifikasi yang harus dimiliki seorang guru (Bdk.UU No 14 tahun 2005), yaitu : (1) Kualifikasi akademik, minimal sarjana S1 atau Diploma IV; (2) Kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial; (3) Memiliki sertifikat pendidik; (4) sehat jasmani dan rohani; (5) Mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional maka guru berperan membentuk watak, peradaban, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bdk. Sistem Pendidikan Nasional Bab II fasal 3). Memiliki sejumlah kompetensi untuk mewujudkan pendidikan nasional. Maka kemajuan bangsa sangat ditentukan kualitas guru yang dimiliki. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa melihat guru seperti melihat masa depan cerah yang menjanjikan.
Bibit baik jika ditanam dengan baik akan memberikan hasil yang baik. Perlu cukup waktu. Butuh kesabaran. Bibit tetap terjaga, subur, dan segar. Butuh media tanam pot atau ladang. Butuh orang yang merawatnya. Butuh biaya. Itu semua tidak mudah. Hasil luar biasa lahir dari usaha yang luar biasa. Bibit itu ibarat murid. Pendidikan yang baik ibarat bibit tanaman yang baik. Murid berkualitas terkait erat dengan faktor-faktor penunjang pendidikan. Persiapan matang guru akan berdampak ke masa depan si murid. Bila si murid kelak mampu memberikan kesejahteraan kepada orang di sekitarnya, itu sudah keberhasilan. Ini ibarat petani penuh sukacita memasuki musim panen. Di situlah letak kebahagiaan seorang guru.
Sungguh agung dan sakral proses pembelajaran. Terlebih proses interaksi antara guru dan murid. Sebab tidak hanya melibatkan dua pribadi (guru dan murid), tetapi juga melibatkan pribadi ketiga. Yakni Sang Guru batin yang hidup dan mengajar di dalam diri tiap-tiap pribadi. Maka menurut Palmer (1998:31), jika kita sebagai guru tidak menyuarakan kedalaman hidup pribadi kita, kita pun tidak dapat menyuarakan kedalaman hidup murid kita (A. Mintara Sufiyanta dan Yulia Sri Prihartini: Sang Guru Sang Peziarah: 2010, hal.185).
Pahlawan bukanlah hanya yang menumpahkan darahnya. Merdeka bukanlah hanya sebuah pengakuan yang tertulis dan terlihat. Guru adalah pahlawan walau tidak menumpahkan darahnya. Guru mengajar, membimbing, menjadi teladan menuju sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan dari kebodohan dan kemiskinan dengan ilmu yang diajarkannya. Pernahkah terpikir mempromosikan guru menjadi pahlawan? Sungguh tidak. Gelar itu seharusnya sudah tersemat dengan gagahnya dalam pengabdian mereka.
Dapatkah kita raih generasi yang luar biasa tanpa bantuan guru? Tentunya tidak. Di mata orang sukses, orang pandai, tak ada pahlawan lebih berjasa selain guru. Guru adalah masa depan. Generasi yang mandiri dan merdeka dari segala kebodohan lahir berkat guru. Generasi yang baik akan memberikan kontribusi yang luar biasa bagi dirinya, keluarganya, bangsanya, serta negaranya. Generasi penerus yang baik tidak akan pernah lahir dan tak akan pernah siap tanpa campur tangan guru. Menurut Linda Lantieri bahwa pilihan yang kita buat hari ini terkait hal bagaimana kita memelihara perkembangan anak-anak kita, akan memiliki implikasi kritis bagi generasi yang akan datang (School With Spirit 2001:10). Betapa mulianya keberadaan dan peran seorang guru. Para guru membutuhkan perjuangan dan pengorbanan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.“Guruku, Pahlawanku!” Selamat Hari Guru, 25 November 2020!