“FRATELLI TUTTI” (Semua bersaudara)
Ensiklik Paus Fransiskus “Fratelli Tutti” (SEMUA BERSAUDARA) ditandatangani pada 3 Oktober 2020, pada saat Paus Fransiskus berkunjung ke makam Santo Fransiskus dari Asisi. Dokumen ini diterbitkan keesokan harinya, pada 4 Oktober 2020, saat hari raya Santo Fransiskus dari Asisi. Isinya: terdiri 8 bab, 287 paragraf dan tebalnya 92 halaman.
Fratelli Tutti adalah sebuah seruan yang sangat relevan dengan situasi jaman saat ini di mana: kelaparan, wabah, perang antar bangsa, kekerasan dan perpecahan di masyarakat semakin meluas (bdk. Lk 21: 5-11).
Ensiklik ini berfokus pada persaudaraan dan persahabatan sosial yang inspirasinya ditemukan dalam kisah dan spiritualitas St. Fransiskus dari Assisi yang lahir pada 5 Juli 1182; dan meninggal di Assisi juga pada 3 Oktober 1226: ia “seorang kudus dalam kasih persaudaraan, kesederhanaan dan suka cita.”
Pandemi COVID-19 ini mengingatkan pada kita betapa beratnya terpisah dan terisolasi dari yang lain dan bahwa ini adalah saat yang paling tepat untuk benar-benar “bermimpi sebagai satu keluarga besar bangsa manusia, di mana setiap dari kita menjadi saudara dan saudari bagi semua (par. 8).” bdk. Ensiklik “Patris Corde” (dengan hati seorang Bapa) yang ditulis ditulis pada 08 des 2020 yang lalu.
Bab I: berjudul Awan hitam di atas dunia yang tertutup, menunjukkan pelbagai kekacauan, distorsi dan manipulasi sistemis di tengah sistem komunikasi yang menciptakan globalisasi dan ekonomi yang dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok (kapitalisme), semakin kita hidup sebagai “tetangga” dan bukan lagi sebagai “saudara” (par. 12). Nanti, pada bab kedua Ensiklik ini ditegaskan bahwa Gereja Katolik selalu meyakini bahwa hak kepemilikan harta benda secara privat haruslah diletakkan secara proporsional dengan prinsip utama penggunaan yang sesuai dengan tujuan penciptaan dan yang sesuai dengan tata etika dan sosial. Sederhananya, hak milik pribadi bukanlah semata untuk masing-masing individu. Negara-negara kaya misalnya menekan negara-negara miskin dengan utang luar negeri: dalih membayar utang luar negeri yang harus dibayar, diharapkan tidak membahayakan penghidupan negara-negara termiskin (par. 126).
Pengangguran, konsumerisme, kemiskinan, rasisme, perbudakan, perdagangan manusia dan organ, perempuan yang dijual-belikan dan digugurkan kandungannya, perang, serangan teroris dan persekusi atas nama agama serta ras: semua ini adalah masalah bersama yang membutuhkan solusi global. Kita membutuhkan solusi bersama yang mengembalikan kita ke horizon bersama yang menyatukan kita sebagai saudari dan saudara dalam kemanusiaan; sebagai orang-orang yang saling percaya satu sama lain. (bdk. Ensiklik “Laudato Sì” tahun 2015).
Pada paragraf 42 hingga 50, Bapa Suci menyinggung mengenai media komunikasi digital: media digital kerap kehilangan artinya yang sejati shg orang sering kali kehilangan hormat pada sesama di dunia serba digital: fake news, saling menghujat, rasisme, dll.
Bab II: berjudul Seorang Asing di Tengah Jalan: Paus Fransiskus mengangkat perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati; sebuah perumpamaan dalam Kitab Suci yang mengundang setiap orang untuk bertanggung jawab menciptakan masyarakat yang peduli dan yang mengangkat mereka yang jatuh atau sedang menderita (par. 77). Paus Fransiskus menekankan pentingnya untuk menjadi “saudari dan saudara” bagi orang lain dalam kasih (par. 81).
Paus Fransiskus juga mengkritik institusi gerejani sendiri yang begitu lambat mengutuk kekejaman perbudakan manusia dan aneka kejahatan lain yang seolah mendapat justifikasinya dari konsep-konsep teologi dan spiritualitas tertentu.
Bab III: berjudul Membayangkan & membangun dunia yang terbuka. Paus Fransiskus menunjukkan bahwa kasih tidak hanya menginginkan yang baik bagi yang dikasihi, namun pula mendorong “persatuan” antara subyek dan obyek kasih (par. 93). Kasih membuat kita keluar dari diri kita sendiri dan menuju-bersatu dengan yang dikasihi. Eksistensi kasih yang tidak egois inilah yang membuat visi tentang persaudaraan universal ini menjadi mungkin (par. 95).
Bab IV: berjudul Hati yang terbuka pada seluruh dunia, menyoroti tata kelola bersama untuk isu migrasi lokal dan global yakni: (1) krisis kemanusiaan akibat migrasi besar-besaran, dan (2) pentingnya menyadari peran lokalitas dalam konteks migrasi global.
Menyadari perbedaan di antara penduduk lokal dan para migran pendatang adalah langkah awal untuk membangun budaya yang saling memperkaya satu sama lain (par. 133-136). Di level internasional, tata kelola yang memberdayakan negara-negara miskin untuk menyuarakan pendapatnya dan untuk mendapat akses ke pasar internasional adalah sangat penting untuk kemajuan semua orang (par. 138).
Entitas yang dinamakan “masyarakat global bukanlah jumlah total dari negara-negara yang berbeda, melainkan persatuan yang nyata ada di antara mereka (par. 149).”
Bab V: berjudul Suatu bentuk politik yang lebih baik, bentuk politik dan dialog yang memanusiakan. Realitas politik hari ini yang makin akut dengan populisme dan liberalisme individualistis, ideal tentang kasih sosio-politis, dan imperatif untuk mengganti prinsip utilitarian dengan budaya baru ‘kelembutan dan kasih’ yang tidak berfokus pada pencapaian saja.
Paus Fransiskus menggunakan kata “kasih yang politis” dan bukannya “politik kasih”: politik yang menolak tunduk pada ekonomi dan ekonomi yang menolak tunduk pada teknokrasi yang ideologinya dibangun dari paradigma efisiensi (par. 177). Kasih yang politis adalah perluasan dari kasih yang personal antar individu: kasih yang mengarahkan tiap orang pada kebaikan bersama tanpa menghilangkan penghargaan pada tiap pribadi (par. 181-182).
Bab VI: berjudul Dialog dan persahabatan dalam masyarakat. Di sini ditekankan pentingnya rasa hormat pada pendapat yang berbeda dan menyadari bahwa perbedaan pandangan adalah bentuk kreativitas manusiawi yang membawa kita maju dalam kemanusiaan (par. 203). Hadirnya internet haruslah membawa kita pada perjumpaan yang murah hati dengan sesama; pada kebenaran yang lebih utuh (par. 205). Seni perjumpaan yang dialogis ini menghasilkan sukacita saat kubu masyarakat mayoritas mengenali sesama yang secara sosio-kultural dan ekonomi berbeda dengan kita, terutama saudari-saudara ‘masyarakat adat’ (par. 219).
Bab VII: berjudul Tapak jalan perjumpaan yang diperbaharui. Perdamaian sebagai rekonsiliasi dan negosiasi dimengerti sebagai usaha membentuk masyarakat baru yang didasarkan pada pelayanan satu sama lain, dan bukannya pada hasrat menguasai yang egois (par. 229 & par. 231). Dalam konteks perdamaian inilah, maaf dan pengampunan menjadi topik yang relevan. Tuhan Yesus sendiri tidak pernah mengusulkan kebencian dan intoleransi. Ia dengan terbuka mengutuk penggunaan kekerasan dan pemaksaan untuk meraih kekuasaan (par. 238). Paus mengundang setiap orang Kristiani untuk tak kehilangan hormat pada martabat manusiawi para pembunuh sekalipun dan tetap berbagi harapan untuk hidup bersama di bumi ini (par. 269-270).
Bab VIII: berjudul Agama-agama dalam pelayanan bagi persaudaraan di dunia kita. Di sini ditekankan pentingnya membangun dialog & persahabatan dalam masyarakat. Agama-agama dipanggil untuk melayani bagi terwujudnya persaudaraan di dunia: fokus pada seruan untuk mengangkat kembali tema persaudaraan lintas agama dan bagaimana semua agama hendaknya berbagi dari kekayaan spiritual mereka demi persahabatan damai dan harmoni (par. 271); menjadi sebuah Gereja yang melayani, yang meninggalkan rumah kita, berangkat keluar dari gedung peribadatan, berangkat keluar dari sakristinya, untuk menemani hidup, merawat harapan dan menjadi tanda persatuan untuk membangun jembatan, meruntuhkan tembok pemisah, dan untuk menabur benih rekonsiliasi” (par. 276).
Penutup
Dengan mengutip “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”, yang ditandatangani pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, bersama dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyib, Bapa Suci Fransiskus mengingatkan kita semua untuk “mulai mengadopsi dialog dalam berbagai cara dan membangun kerja sama sebagai aturan main, dan saling pengertian sebagai metode dan standarnya” (par. 285).
P.Benny Manurung,OFMCap