Dahaga Tepuk Tangan
“Siapakah Aku ini sehingga Ibu Tuhanku datang kepadaku”
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari perkataan Elisabet di atas, sebuah penyerahan diri dikarenakan perasaan yang kurang layak.
Pujian kerap kali menjadi batu sandungan yang begitu menyakitkan. Pujian mengarahkan kita menuju kesombongan, membuat kita lalai akan kebenaran. Beberapa orang mengunakan pujian sebagai standar keberhasilan. Pujian dijadikan sebagai dopamin penambah semangat, sehingga dia lupa akan alasan utama melakukan suatu hal.
Dahaga tepuk tangan berarti berlawanan dengan perspektif luas
Filsuf perancis Pierre Hadot mengatakan bahwa “ memandang dari atas mengubah penilaian kita “
Dahaga tepuk tangan membuat pemikiran kita sempit, membuat kita lupa untuk bersyukur, karena kebenarannya ialah bahwa setiap hari kita memiliki tantangan baru dan berbeda, kadang berurutan atau bahkan tumpang tindih lalu campur aduk.
Tidak mendapat pujian atau tepuk tangan kadang kala dapat membuat kita depresi sesaat hingga dapat menjadi toxic language atau yang lebih extrime menjadi depresi, itu mengubah kita menjadi seorang yang anti kritik sekaligus menjadikan kritik sebagai ancaman.
Dahaga tepuk tangan mengubur passion. Passion adalah emosi yang kuat dan tak terkendali, antusiasme terhadap sesuatu, serta keinginan yang kuat untuk suatu hal. Dahaga tepuk tangan membuyarkan hal itu, sehingga kita lebih memilih menyenangkan orang lain terlebih dahulu.
Tanpa sadar kita memang kerap kali menunggu pujian untuk setiap hal yang kita lakukan, baik dalam hal-hal kecil maupun besar. Contohnya like di postingan istagram, mengumbar kemewahan di akun social media dan menunggu komentar sanjungan disetiap postingan.
Apakah dengan dahaga akan pujian, kita dapat merasa puas untuk waktu yang lama? Apakah dahaga tepuk tangan kita jadikan sebagai puncak kepuasan kita? Di zaman sekarang naif bila kita berkata tidak. Kita membutuhkan pujian, kita membutuhkan ucapan-ucapan positif, kita bahkan menginginkan like beribu-ribu disetiap postingan kita, dan merasa istimewa bila kita mempunyai followers begitu banyak jumlahnya di akun media sosial kita.
Namun apakah Tuhan meminta tepuk tangan atas pengorbanan-Nya di kayu salib? Apakah Yesus sendiri sangat senang ketika Dia dipanggil sebagai guru yang baik? Kita mengubah model kepribadian kita untuk trend, bersembunyi dibalik kata-kata “open mind” hanya untuk dapat merasakan kebebasan yang tidak beraturan.
Sungguh sulit mendapat kepercayaan di era sekarang. Semua orang berlomba-lomba ingin unjuk gigi, beberapa diantaranya mempermalukan diri untuk mendapatkan label viral. Tuhan menyambutmu atas segala kekuranganmu, atas keadaan siapa sebenarnya dirimu.
Solusi terbaik untuk mendapatkan kebahagian ialah dengan mencintai proses kehidupan itu sendiri, tak perlu membuat ekspektasi terlalu tinggi di dalamnya dan tak perlu dahaga tepuk tangan di dalamnya. Kita harus mengerti bahwa bila semua bunga mau menjadi sakura, alam akan kehilangan kesemarakan musim seminya dan musim lainnya hanya sebagai ciptaan pelengkap. Tidakkah itu membosankan?
Merunduk adalah ciri cinta kasih yang paling utama.
Sekarang, bukalah topeng yang menutupi wajah di jiwamu, sekarang bukalah peniti-peniti kepribadian semu itu. Ketahuilah, Tuhan membenci dahaga tepuk tangan. Bahwa kita harus jujur dan bersikap luas, tak perlu berjingkrak, bergembira belebihan, lupa diri atau berusaha menampilkan yang bukan diri kita sendiri. Kita harus menjauhkan diri dari beretorika dan berusaha menjadi kaki tangan kepura-puraan atau pejilat, tetapi bersikaplah terbuka terhadap koreksi untuk sampai kepada kebenaran. Itu yang kita butuhkan bukan dahaga tepuk tangan.
Gregorius Etnan