NEWSVATICAN

Seruan Pertobatan Ekologis Menyambut 10 tahun Laudato Si

Loading

Komsoskam.com | Konferensi dan dewan uskup dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin (SECAM, CELAM, dan FABC) bersama Komisi Kepausan untuk Amerika Latin menerbitkan dokumen yang menyerukan keadilan iklim dan pertobatan ekologis menjelang konferensi perubahan iklim PBB, COP30, yang akan berlangsung pada bulan November di Brasil.

Konferensi dan dewan uskup regional dari Asia, Afrika, serta Amerika Tengah dan Selatan, bekerja sama dengan Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, bersatu menyerukan keadilan iklim dan pertobatan ekologis di seluruh dunia.

Melansir Vatikannews, menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30), yang akan berlangsung di Belém, Brasil, pada 10 hingga 21 November 2025, badan-badan ini menerbitkan sebuah dokumen bersama berjudul “Seruan untuk Keadilan Iklim dan Rumah Bersama: Pertobatan Ekologis, Transformasi dan Perlawanan terhadap Solusi Palsu”, yang dipresentasikan pada hari Senin, 1 Juli, dalam konferensi pers di Kantor Pers Tahta Suci.

Dokumen ini juga telah diserahkan kepada Paus Leo XIV di pagi harinya. Dokumen tersebut menegaskan kembali komitmen Gereja terhadap keadilan iklim dan menyerukan kepada negara-negara serta pemerintah untuk bertindak, terinspirasi oleh seruan Paus untuk mempromosikan ekologi integral, selaras dengan ensiklik Laudato Si’ karya Paus Fransiskus yang tahun ini genap berusia 10 tahun.

Paus Leo XIV menerima para uskup dan salinan dokumen

“Pesan kami hari ini bukanlah diplomatik; melainkan sepenuhnya pastoral. Ini adalah seruan kepada hati nurani menghadapi sistem yang mengancam akan melahap ciptaan, seolah-olah planet ini hanyalah komoditas lain,” kata Kardinal Filipe Neri Ferrão, Uskup Agung Goa dan Damao di India, sekaligus Presiden Federasi Konferensi Uskup Asia (FABC).

Ia didampingi dalam konferensi pers oleh Kardinal Jaime Spengler, Uskup Agung Porto Alegre (Brasil), Presiden Konferensi Waligereja Brasil (CNBB) dan Dewan Episkopal Amerika Latin dan Karibia (CELAM); Kardinal Fridolin Ambongo Besungu, Uskup Agung Kinshasa (Republik Demokratik Kongo) dan Presiden Simposium Konferensi Waligereja Afrika dan Madagaskar (SECAM); serta Emlice Cuda, sekretaris Komisi Kepausan untuk Amerika Latin.

“Sebagai para rasul misioner dari Gereja sinodal yang sedang bergerak keluar, kami akan pergi ke COP30 untuk membangun perdamaian di tengah perang berkeping-keping melawan ciptaan, di mana banyak orang telah dan akan terus mati jika kita tidak bertindak sekarang,” ujar Cuda.

“Kami melakukan ini karena, seperti kata Paus Leo XIV, Gereja ‘selalu berusaha dekat, terutama kepada mereka yang menderita’.”

Dari Amazon hingga Afrika, Gereja menyuarakan keprihatinannya

“Saya menyuarakan suara yang bukan hanya milik saya, tetapi milik rakyat Amazon, para martir bumi—bisa dikatakan para martir iklim—dan komunitas tepian sungai, masyarakat adat, keturunan Afrika, petani serta warga perkotaan,” ujar Kardinal Spengler, berbicara dari perspektif Amerika Latin.

“Ada kebutuhan mendesak untuk menyadari perlunya perubahan gaya hidup, pola produksi dan konsumsi.”

Ia juga mengkritik “penyamaran” kepentingan ekonomi dengan nama-nama seperti “kapitalisme hijau” atau “ekonomi transisi”, serta pembukaan sumur minyak baru di wilayah Amazon, dan menekankan bahwa Gereja menolak mekanisme seperti “finansialisasi alam”.

Demikian pula, Kardinal Ambongo berbicara “atas nama Gereja-Gereja di benua Afrika”, yang telah “dimiskinkan oleh berabad-abad ekstraktivisme, perbudakan, dan eksploitasi”. Ia menyoroti bagaimana perlombaan untuk mengeksploitasi mineral menjadi “asal mula proliferasi kelompok-kelompok bersenjata” dan menyerukan “ekonomi yang tidak didasarkan pada pengorbanan penduduk Afrika demi memperkaya pihak lain”. “Afrika ingin berkontribusi pada masa depan yang adil dan damai bagi seluruh umat manusia,” tegasnya.

“Kami berkata: cukup sudah, cukup dengan solusi palsu, cukup dengan keputusan yang diambil tanpa mendengarkan mereka yang berada di garis depan keruntuhan iklim.”

Dari sudut pandang benua Asia, Kardinal Ferrao menjelaskan bahwa “jutaan orang sudah hidup dalam dampak yang menghancurkan dari perubahan iklim: topan, migrasi paksa, hilangnya pulau-pulau, pencemaran sungai”, sementara “solusi-solusi palsu terus berkembang: infrastruktur raksasa, penggusuran demi energi ‘bersih’ yang tidak menghargai martabat manusia, dan pertambangan tanpa jiwa atas nama baterai hijau.”

Ia menambahkan bahwa “Negara-negara kaya seharusnya mengakui dan membayar utang ekologis mereka, tanpa terus membebani ”. Gereja, lanjutnya, ingin mempromosikan alternatif seperti “program pendidikan,” “jalan-jalan ekonomi baru”, atau “pendampingan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan” yang seringkali menjadi kelompok paling terdampak.

 

 

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *