Uskup Kornelius Sipayung: Sebuah Pengenalan Pribadi *)
7,944 total views, 4 views today
Komsokam.com – Roma- Saya tidak ingat persis kapan Uskup kita yang baru ini (Mgr. Kornelius Sipayung) kembali dari studi. Yang saya ingat bahwa beliau pernah studi teologi di Roma dan pertama kali saya mengenal beliau secara langsung ketika menjadi staf di biara Kapusin Alverna-Sinaksak, Pematangsiantar. Beginilah pengenalanku yang sederhana tentang beliau dulu. Apa yang saya ingat kala itu bahwa beliau hadir pada masa pertengahan masa pembinaan saya di Alverna (pada masa kami dan sekarang, frater kapusin 3 tahun dididik di Alverna, sekaligus kuliah tingkat 1-3 di STFT St.Yohanes Pematangsiantar).
Sangat bersahaja, tetapi tendangannya sangat kuat
Pengenalanku dengan staf baru ini tidak terlalu istimewa. Beliau mengajar frater post-S1 di STFT dan bertanggung jawab di kolam ikan biara. Belakangan saya tahu dia sangat enjoy bekerja di kolam sambil refreshing dari kesibukan rutin. Hantaran singkat setiap memimpin Misa (staf bergiliran memimpin misa dengan jatah masing-masing satu minggu bergantian) adalah paling membosankan bagiku waktu itu. Saya dan teman-teman seperti sudah hafal apa yang akan dikatakannya setiap Misa “Inkarnasi – Allah yang transenden menjadi manusia lemah dan tinggal di tengah-tengah kita. Peristiwa inkarnasi ini adalah puncak pemberian total Allah yang sanggup mengosongkan Diri-Nya dan menjadi sama dengan kita” ungkapnya penuh penghayatan. (Belakangan kemudian, saya tahu bahwa inilah inti permenungan St.Fransiskus dan panggilan seorang kapusin). Ini-ini saja yang terus diulang-ulangnya, sehingga kita bisa menebak apa yang akan dikatakan besok dan selanjutnya.

Maklum sebagai orang muda, saya lebih tertarik dengan pengkotbah yang memakai kalimat-kalimat rujukan dengan istilah-istilah asing Inggris, Latin, Yunani, dll yang aduhai. Pokoknya untukku sebagai frater muda, pastor ini kurang keren dibandingkan staf sebelumnya yang tahu banyak bahasa dan dipakai dalam kotbah. Hanya kemudian karena dia pintar bernyanyi dan bermain bola saya kagum. Setiap bermain bola tendangannya sangat kuat, saya sungguh kagum. Dalam hatiku, mungkin waktu muda pastor ini pasti seorang pesepakbola keren.
Kerendahan Hati
Waktu beliau pindah ke biara kapusin Jalan Medan di kota yang sama, kata-kata yang disampaikannya saat perpisahan sangat menarik bagiku, sehingga sampai sekarang masih kuingat. “Kalau saya pindah ke Jalan Medan, bagiku itu hanya pindah kamar saja. Tidak terlalu ada yang istimewa, sama seperti kalau di sini saya pindah dari kamar yang satu ke kamar yang lain.” Kalimat yang sangat sederhana, tetapi sangat mendalam, kelak aku mengertinya sebagai ungkapan seorang kapusin yang sederhana yang tidak punya stabilitas loci (tempat tetap): kapusin itu seorang musafir dan perantau. Padahal bagi saya waktu itu, perpindahan ke Jalan Medan adalah kenaikan golongan (hahahahhh..meminjam istilah pemerintahan) dari Alverna ke Jalan Medan (tempat para frater tingkat 4-6, mereka yang udah dekat ke jenjang tahbisan). Selesai tingkat 3 (pertengahan 2009) saya juga pindah ke Jalan Medan untuk mulai menulis skripsi pada tingkat 4. Di sini beliau adalah guardian (pimpinan rumah) sekaligus mengajar ke STFT. Tidak ada yang istimewa, yang kuingat saya selalu menunggu selesai bermain bola (kami bermain bola setiap hari Selasa ke Sinaksak, sekitar 4 km), kapan diajak ke kota untuk makan sesuatu. Biasanya beliau mengajak ke kota untuk beli es krim pada malam hari dan saya pura-pura membaca di perpustakaan, tempat yang biasa dilewati.

Semua berlalu natural tidak ada yang sangat istimewa, kecuali yang saya ingat suara beliau yang tegas berulang-ulang menekankan agar skripsi diselesaikan tepat waktu dan pergi TOP (tahun orientasi pastoral, biasanya 1 tahun). Yang lain yang saya ingat juga bahwa beliau sangat tegas dan suara agak nyaring kalau kelalaian yang sudah diingatkan berulang-ulang terus terjadi. Yang paling berkesan justru ialah ketika saya kembali ke Jalan Medan pertengahan 2011 dari tempat TOP di paroki Aekkanopan. Bersama Fr.Krispinus Simamora (nama kecilnya Pengalaman, hehehh…) dan Sdr. Kornel Sipayung, guardian. Kami merancang gagasan baru, membuat album rohani. Karena proyek baru ini, beberapa kali saya tidak ikut rutinitas ibadat sore biara karena guardian memanggil saya ke kamarnya untuk menyempurnakan lagu yang diciptakannya. Kadang-kadang membosankan (haghaa) juga karena lagu yang dibuatnya diulang-ulang terus sampai menurut beliau sempurna. “Nga boi i” pikirku dalam hati. Tetapi dalam hati saya kagum juga dengan syair-syair yang ditulisnya, ungkapan tentang pemberian diri dan berbuah dalam panggilan selalu menjadi tekanan dari lagu-lagunya (sama seperti isi kotbah-kotbahnya). Kami masuk dapur rekaman, mulai sore hingga dini hari. Rutinitas rumah terganggu. Badanku tidak sekuat saudara-saudara yang lain, akhirnya saya opname. Demam berdarah untuk pertama kali. Satu minggu opname minggu di rumah sakit, beliau menjenguk dan katanya, sup ni b1 ma inumi asa hatop malum. Album pertama selesai, beliau mengusulkan untuk launching ke Tebet-Jakarta. Saya sangat senang (meluap-luap bahkan) karena belum pernah ke ibu kota dan naik pesawat. Bisa anda bayangkan bagaimana wajah kami di pesawat sesaat sebelum lepas landas. Belakangan saya tahu rupanya banyak juga pastor-pastor lain tidak setuju dengan keberangkatan yang dirancang oleh guardian kami ini, masih frater sudah pergi kemana-mana…. Pengalaman album pertama berlanjut ke album kedua, dst dan menjadi gebrakan untuk kreativitas kami yang lain, termasuk menulis buku.
Sosok Kebapaan
Masa kuliahku seluruhnya selesai pada pertengahan 2013 dan saya ditugaskan di paroki Pakkat. Pada 2015 beliau menjadi provinsial Kapusin Medan setelah periode sebelumnya sudah terpilih menjadi wakil provinsial. Waktu rapat regio kapusin Tapanuli (anggotanya, kapusin yang berkarya di paroki Parapat, Palipi, Pangururan, Parlilitan, Balige dan Pakkat) beliau datang untuk mendampingi rapat regio ini. Pada saat break (minum) beliau mengajak saya menonton anak-anak asrama putra Pakkat yang sedang main volley di dekat asrama. Sambil menonton beliau mengatakan, “Cocok do ra ho tu seminari ate?!” Saya sangat terkejut, karena, tidak ada informasi sebelumnya saya akan ke seminari dan dalam hati ‘koq disampaikan pas menonton volly seperti ini pula (biasanya pembicaraan resmi begini disampaikan oleh provinsial secara formal dalam satu ruangan), tetapi sekaligus itulah ciri kedekatan yang paling saya kagumi dari beliau hingga kini. Sama halnya ketika meminta saya studi ke tempat ini, disampaikan sesudah makan siang di seminari ketika tidak ada lagi orang yang tinggal. Sebuah spontanitas tetapi juga simbol kedekatan mendalam yang saya tangkap dari beliau.
Isyarat Tersembunyi
Di Roma saya berjumpa beliau ketika ada kapitel general kapusin (27 Agustus – 15 September 2018 yang lalu). Sebelum datang ke Roma beliau memberi kabar. Tidak segan saya bilang, di kamarhu ma hamu ate, nomor 220. Dan bangga juga saya akhirnya, kamar saya ini sudah ditempati oleh uskup yang baru, selama sebulan, hehehhhh.. Tanggal 15 September 2018 saya pulang ke collegio (rumah kami sekarang, tempat para studen kapusin dari berbagai negara) dari live-in selama sebulan di Venezia (sekitar 400 km dari Roma), rupanya para provinsial kapusin sudah pulang dan tinggal beberapa saja termasuk uskup yang baru ini. Saya memakai kamar yang lain karena beliau masih di kamarku. Besoknya, Minggu, 16 September beliau mengajak saya ke Vatikan untuk membeli kasula, katanya supaya ada inventaris pakaian liturgi di biara Naga Huta. Beberapa toko kami masuki, tawar-menawar, maklum katanya mencari kasula terbaik supaya ada dipakai untuk pesta. Di sebuah toko yang kami masuki secara seloroh saya mengatakan, “ini tidak ikut?” Sambil menunjuk tongkat dan pakaian uskup. Saya dapat merasakan waktu itu beliau agak terkejut, tetapi saya tidak sadar dan merasa biasa saja. Tidak ada kecurigaan sedikit pun di balik reaksi. Beliau mencoba beberapa kasula dan saya foto, cocok saya bilang. Akhirnya jadilah 2 kasula yang sangat bagus berikut beberapa simbol rohani. Di jalan pulang kami berdiskusi tentang banyak hal termasuk panggilan, ordo juga kehidupan menggereja.
Tanggal 19 September 2018 chatting terakhir saya dengan beliau sebagai provinsialku. Memang agak kecewa karena jawabannya sangat singkat tidak seperti biasanya, “Boima i tapikkiri pe…“ Mungkin waktu itu pikiran sudah agak ribet ya…hehehhh. Tepat 08 Desember 2018 ketika kami sedang misa (pkl. 12.05, saat doa syukur agung) dalam misa bersama orang-orang Batak yang tinggal di Roma secara tidak sengaja saya buka WA dan membaca berita dari Mgr. Martinus Situmorang bahwa beliau telah dipilih oleh Paus Fransiskus menjadi uskup. Beberapa hal saya runut ke belakang dan menjadi jelas, misalnya mengapa tahbisan imam di KAM biasanya bulan Februari digeser ke bulan Desember (tanggal 22 ini), lagi rupanya kasula yang dibeli kemarin itu di Vatikan adalah untuk tahbisan uskup nanti (belum tahu kapan persisnya). Wah… Saya sangat bahagia sekaligus sedih karena tidak mungkin lagi berdiskusi lewat WA seperti ketika beliau masih provinsial kapusin. Selamat melayani Amang. Masih muda, berbakat bernyanyi (jarang kulihat seorang uskup pintar bernyanyi sehebat beliau, kalau ada maafkan aku..). Gampang bergaul dengan siapa saja, pekerja keras dan visioner (futuristik).
*) RP Benny Manurung OFMCap, Studi di Roma.