Stasi St. Fidelis Sigmaringen – Sirpang Sigodang: “Semangat Oppung Dolog yang Menghidupi”
Gereja Katolik Stasi Santo Fidelis Sigmaringen-Sirpang Sigodang berada dalam wilayah Paroki Santo Stefanus Martir Pamatang Raya. Stasi ini pada awalnya dimulai di Hutailing. Hutailing adalah nama kampung sekaligus ada sebuah jembatan penghubung urat nadi dari Pamatang Raya menuju Kota Pamatang Siantar. Berdiri tahun 1936 yang diawali keluarga Marenus Siboro beristrikan Boru Sinaga yang memiliki 4 orang anak pindahan dari Sibaganding, Sawah Dua.
Keempat anaknya dibaptis oleh Pastor Elpidius Van Duijnhoven atau lebih dikenal dengan nama Oppung Dolog. Pada tahun 1942 dua orang guru dari Pematang Siantar yaitu Molan Saragih dan Mengkan Damanik ke Kampung Pangundalian utusan dari Oppung Dolog. Mereka diutus untuk mencari anak siapa yang mau bersekolah ke Balige. Mereka menemukan seorang Bapak yang mau memberikan anaknya sekolah yaitu Tormeja Purba (Orangtua dari RP. Benyamin A.C. Purba, OFMCap.)
Oppung Dolog pun mengurus agar anak tersebut bersekolah di Balige. Pada zaman misi tersebut, Oppung Dolog pun selalu setia datang ke Pangundalian, Hutailing dan Parsinalihan yang merupakan nama kampung sebelum ada Sirpang Sigodang tempat masyarakat tinggal. Maka terkumpullah 14 orang, mereka sepakat “marminggu/ ibadat sabda” di rumah Marenus Siboro.Sekitar tahun 1945 umat pun mendapatkan tanah pertapakan gereja agak jauh dari pinggir jalan. Namun pada waktu itu, Oppung Dolog bernegosiasi dengan Kepala Desa, agar tanah gereja dekat ke pinggir jalan, maka jadilah pertapakan gereja yang sekarang. Namun selama lima tahun umat masih beribadat di rumah. Pada masa ini stasi masih bergabung ke Paroki Santo Laurentius Jln. Sibolga Pematang Siantar. Tahun 1950 dibangunlah gereja dengan ukuran 8m x 10m tiang kayu, berdinding tepas bambu, bertayup ilalang.
Pada tahun 1952 stasi ini bergabung dengan Paroki Santo Fransiskus Saribu Dolog dan saat itu ada dua orang yang dibaptis. Tahun 1954 umat berjumlah 18 KK. Saat itu perkembangan umat sangat lambat karena berbagai hal. Di tahun 1957 jumlah bertambah jadi 48 KK. Pernah juga dulu ada Sekolah Rakyat (SR) didepan gereja yang didirikan Oppung Dolog dengan jumlah 30 murid. Kegiatan hanya berjalan selama 6 bulan, namun ditutup pemerintah karena pada zaman itu minimal sekolah harus ada 42 muridnya. Tahun 1958 pecahlah pemberontakan (PRRI), namun pertambahan umat tetap ada, dan menjadi 62 KK. Tahun 1936 sampai 1965 stasi ini bernama Hutailing. Baru di sekitar tahun 1966 gereja katolik Hutailing berganti nama menjadi gereja Katolik Santo Fidelis Sigmaringen Sirpang Sigodang.
Pada tahun 1972 gereja dibangun setengah beton dengan ukuran 8m x 14m dan diresmikan oleh Uskup Mgr. Pius Datu Bara,OFMCap. Pada tahun 1972 Oppung Dolog cuti pulang ke kampungnya negeri Belanda. Oppung Dolog membawa 6 lonceng gereja, satu beratnya 500 kg. 6 stasi saat itu mendapatkan lonceng gereja termasuklah Stasi Sirpang Sigodang, Purba Saribu, Halaotan, Naga Panei, Huta Tinggir, dan Gunung Mariah Purba. Bulan Desember 1973 lonceng gereja dipasang sambil Oppung Dolog mendoakan “Sai tinggil ma pinggol ni jolma na manangar soara ni giring-giring on” yang artinya “semoga orang yang mendengar lonceng gereja ini peka”. Kemudian tali lonceng ditarik sebanyak 3 x (6 kali bersuara) demikian penuturan dari Bapak H Bonifasius Saragih selaku pelaku sejarah dan saksi hidup.
Posisinya sebagai voorhanger selama tahun 1954-1987 (buku: sungguh mati dia mencintai umatnya: simon saragih). Mulai tahun 1954 kepengurusan Stasi Sirpang Sigodang yang pernah menjadi Voorhanger (KDS) yaitu: H Bonifasius Saragih, Abdun Saragih, Kalam Saragih, Jerman Saragih, Martua Simarmata, Janahot Sinaga, Johan Saragih (yang sekarang). Pada tahun 2001 umat kembali bergotong royong untuk membangun gereja menjadi beton seperti gereja yang sekarang ini. Iman yang “dianyam” bertumbuh dan berbuahSirpang Sigodang merupakan pintu gerbang memasuki kota Pamatang Raya jika kita datang dari arah Pematang Siantar. Disepanjang jalan, di teras-teras rumah hampir semua masyarakatnya bersahabat dengan bambu. Kehidupan umat di stasi Sirpang Sigodang hampir 80 persen mata pencahariannya adalah menganyam keranjang dari bambu dan bertani.
Mayoritas masyarakat menyandarkan hidup dengan membuat keranjang kating (kecil) dari bambu. Tak sekadar penyambung hidup, keterampilan menganyam bambu menjadi tradisi masyarakat. Tradisi menganyam keranjang kating di Sirpang Sigodang mula-mula berasal dari luar kampung tersebut, yaitu dari Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kabanjahe beriklim dingin dan salah satu penghasil sayur-mayur. Pada masa itu, masyarakat di sana mencari akal agar sayur yang akan mereka jual tidak rusak. Mereka akhirnya membuat keranjang dan mengemas sayur-mayur dalam wadah itu.Kehidupan menggereja umat sangat pro aktif. Hal ini kelihatan dari keaktifan umat dalam hidup menggereja. Selama bergabung dengan Paroki Santo Fransiskus Asisi Saribu Dolog hingga pemekaran Paroki Santo Stefanus Martir Pamatang Raya 2011, kehidupan umat di stasi ini tetap dapat dibanggakan.
Selain ibadat lingkungan sekali seminggu, keaktifan kategorial juga sangat dihidupi. Mulai dari ASMIKA, OMK, PARBAKAT (Parsadaan Bapak-bapak Katolik) dan PIK (Partuppuan Inang Katolik). OMK selalu aktif ibadat lingkungan/ Doa & Ngopi setiap malam minggu, demikian juga PARBAKAT, ibadat setiap Senin malam. PIK sekali sebulan selalu mengadakan kegiatan di gereja. Demikian juga ASMIKA selalu mengikuti kegiatan di paroki. Setiap kegiatan di paroki, semua kategorial itu selalu pro aktif. Setiap natal tetap ada kegiatan natal kategorial. Buah dari iman yang bertumbuh dan hidup ini nampak dari adanya panggilan hidup membiara dan imam dari stasi ini.
Adapun imam dan biarawati yang berasal dari stasi Sirpang Sigodang yaitu: RP. Gindo Gervatius Saragih, OFMConv. RD. Gundo Franci Saragih, Pr. RP. Fransiskus Radiaman Purba, OFMConv. RP. Pio Amran Purba, OFMConv. Sr. Luis Malau, KYM, Sr. Iren Purba, HK. Hingga saat ini perkembangan umat tetap bertambah. Dengan adanya program BIDUK dari KAM, umat stasi Sirpang Sigodang dapat diketahui, jumlah yang sekarang yaitu 89 KK dengan jumlah 340 jiwa.
(Andi Hotmartuah Girsang)
Artikel ini juga dimuat dalam Majalah Menjemaat No. 1 | TAHUN KE-42 | JANUARI 2020