MENJALANI LIKU-LIKU HIDUP
KOTBAH MINGGU | RP FRANS SITUMORANG OFMCap
Yes 7:10-14; Rom 1:1-7; Mat 1:18-24/Hari Minggu Adven IV
Imanuel, Allah menyertai kita
Dalam tradisi Yahudi pertunangan adalah tahapan pertama perkawinan. Sejak itu pria dan wanita sudah dihitung sebagai suami-isteri. Pertunangan hanya dapat diakhiri karena faktor kematian atau perceraian. Sebelum hidup bersama, Maria telah mengandung. Hal ini dianggap sebagai perzinahan dan diancam hukuman mati dengan dilempari batu di depan pintu rumah ayah si perempuan yang dianggap telah mencemarkan nama baik ayahnya. Inisyatif perceraian berada di pihak suami dan dilakukan di hadapan umum, supaya setiap orang mengetahui alasannya.
Mengetahui Maria telah mengandung, Yusuf berniat menceraikannya. Sebagai seorang yang tulus hati, Yusuf tetap menghormati Maria. Dia tidak ingin menceraikan dan mempermalukan Maria di depan umum. Ia memilih tetap bertindak secara halus, sopan dan elegan. Namun, keputusan luhur ini bukanlah jalan keluar, sebab Allah memiliki rencana atas diri Yusuf.
Lewat mimpi, malaikat memberitahu Yusuf rahasia seputar kandungan Maria. Diminta kesediaan Yusuf menjadi suami Maria dan memberi nama kepada anak yang akan dilahirkan Maria supaya Yesus mendapat kepastian status pribadi dan sosial serta masuk dalam keturunan keluarga raja Daud. Setelah mengetahui apa yang terjadi Yusuf menunjukkan betapa mulianya pribadinya. “Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.” Di sini tampak ketulusan hati Yusuf. Ia menjalankan kewajibannya selaku bapa keluarga hingga akhir hayatnya.
Dulu Allah mempunyai banyak beban berat yang harus dipikul-Nya dari satu tempat ke tempat lain di bumi. Maka Ia meminta bantuan binatang-binatang. Tapi semua minta maaf: gajah merasa diri terlalu terhormat; singa terlalu sombong. Akhirnya, burung-burung menghadap Allah, katanya, “Jika Engkau membagi beban-beban itu ke dalam bundelan-bundelan kecil, kami dengan senang hati akan membantu-Mu. Kami memang kecil, tapi suka membantu. Allah meletakkan ke pundak mereka masing-masing satu bundel kecil. Mereka semua melintasi padang luas.
Mereka terbang sambil bernyanyi, dan seakan tidak merasakan sama sekali beratnya beban yang mereka pikul. Setiap hari beban itu terasa semakin ringan, hingga pada suatu saat seolah-olah beban itulah yang mengangkat burung-burung itu. Setelah tiba di tempat tujuan, saat menanggalkan beban-beban itu, mereka menemukan sayap-sayap baru yang memungkinkan mereka terbang ke angkasa dan puncak-puncak pohon. Mereka belajar memikul bebannya, dan beban itu telah berubah menjadi sayap-sayap yang mengantarkan mereka mendekat kepada Allah. Beban yang kita pikul untuk orang lain mungkin menjadi sayap-sayap semangat untuk mengangkat kita ke kebahagiaan yang belum pernah kita alami.
Karya penyelamatan Tuhan memakai jalan manusia. Karya itu tumbuh dalam lingkungan yang manusiawi. Rencana Allah melibatkan partisipasi manusia. Kita bisa belajar dari Yusuf, si pendiam yang hatinya murni, tulus dan ikhlas. Baginya yang penting ialah rencana Allah terwujud. Ia memberi diri sebagai alat di tangah Tuhan.
Mesias akan datang dalam rupa anak kecil. Semoga Maria dan Yusuf menjadi model iman dan kepercayaan kita untuk mendengarkan suara Allah dengan setia, walau banyak tantangan. Yusuf berhasil menjalani liku-liku hidup oleh bimbingan ilahi. Natal menantang kita untuk memberi arti yang lebih nyata tentang Imanuel. Allah memanggil kita menjadi penampakan karya-Nya. Itu kita wujudkan dengan melaksanakan panggilan kita dengan setia, tulus, jujur dan tanpa banyak kata, seperti Santo Yusuf. Amin.