Kreatif Mengelola Pekarangan Rumah Tangga
FAITH (FOOD ALWAYS IN THE HOME)
FAITH kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Iman, tapi FAITH merupakan singkatan dari Food Always In The Home kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah makanan selalu ada di sekitar rumah. Maksudnya bukan berarti makanan selalu ada disekitar rumah yang dibeli dari super market atau dari pasar, tetapi makanan yang diperoleh dari hasil kreatifitas keluarga itu sendiri dengan memanfaatkan lahan sempit sekitar rumah.
Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang secitra dengan Dia. Secitra maksudnya segambar dengan Allah. Maka manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling luhur dan sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan-Nya yang lain. Karena hanya manusialah yang diberi akal dan budi. Manusia diberi akal dan budi untuk memelihara dan melestarikan ciptaan-Nya. Selain itu manusia juga diberi kemampuan untuk mencintai diri, sesama dan lingkungannya. Dengan demikian manusialah yang bertanggung jawab atas keutuhan ciptaan-Nya.
Sebagai manusia yang bertanggungjawab untuk melestarikan dan membudidayakan alam ciptaan kita harus mulai dari diri kita sendiri dan di dalam keluarga. Keluargalah sekolah pertama tempat kita belajar hal-hal yang baik. Belajar untuk mencintai kehidupan. Mencintai alam sekitar kita. Keluarga yang sejahtera merupakan idaman setiap orang. Apalagi keluarga yang dipenuhi cinta kasih merupakan dambaan setiap orang.
Akan tetapi bagaimana menjadi keluarga yang sejahtera jika setiap pribadi yang didalamnya tidak sehat atau sakit-sakitan? Apakah ini dinamakan komunitas atau keluarga yang dirindukan? Tentu saja tidak. Komunitas atau keluarga yang sejahtera akan tercipta jika setiap pribadi yang di dalamnya mengalami kasih, kerukunan dan kesehatan. Dan kebahagiaan itu tidak perlu kita cari dari orang lain. Melainkan mari kita mulai dari diri kita sendiri.
Boleh jadi kita berkata pada orang lain, bagaimana aku bisa sejahtera sementara makan tiga kali seharipun susah. Pekerjaan tidak menetap. Biaya hidup tinggi. Semua harus serba beli. Barangkali banyak keluhan yang kita ungkapkan menunjukkan betapa pahitnya hidup ini untuk dijalani. Namun orang yang berpengharapan akan selalu mencari jalan untuk mencapai kebahagiaan. Selalu ada seberkas sinar dalam kegelapan. Peluang dalam setiap kesempatan.
Maka kemiskinan bukanlah menjadi halangan untuk bahagia. Karena sebenarnya Tuhan memberi ktia organ tubuh yang lengkap yang bisa kita pergunakan dengan baik. Kita diberi akal dan budi untuk kita pergunakan untuk berpikir sehingga menciptakan sesuatu yang barangkali bermanfaat bagi kelangsungan hidup kita. Maka sebagai citra Allah yang segambar dengan Dia marilah kita pergunakan hak istimewa itu untuk meluhurkan dan memuliakan Dia.
Mari kita amati lingkungan sekitar kita. Kita hidup di daerah yang subur. Ketika kita melemparkan batang ubi kayu dan kita tinggalkan begitu saja di lahan yang subur kita akan terkejut ketika kita melihat pertumbuhannya. Batang itu akan ditumbuhi tunas dan beberapa bulan kemudian kita akan panen. Itulah karena suburnya tanah kita yang dianugerahkan Tuhan pada kita.
Lalu apa lagi yang menjadi permasalahan kita? Sebenarnya kita tidak miskin tetapi kita tidak mau berbuat alias malas. Kita terlalu mapan dengan keberadaan kita. Kita takut keluar dari zona nyaman yang membuat kita kerdil dan tidak berkembang. Kita cepat berpuas diri dengan keberadaan kita saat ini. Atau kita cepat berpasrah pada nasib. Inilah aku. Inilah hidupku. Inilah keluargaku. Jadi mau apalagi???
Coba kita amati kehidupan sekitar kita atau kehidupan kita sendiri. Yang kaya akan tetap kaya karena mereka terus memutar otak untuk semakin berkembang dalam semua aspek kehidupan mereka. Sementara yang miskin akan tetap tinggal dalam kemiskinan sambil meratap mengapa aku begini Tuhan? Tuhan, aku tidak memiliki pekerjaan menetap, anak-anak butuh biaya sekolah, kami butuh biaya hidup dan harga bahan pokok dipasaran melambung tinggi. Apakah kita akan tinggal dalam ratapan dan keluhan?
Saat ini kita diajak untuk berpikir global namun bergerak dengan cita rasa lokal. Kita tidak perlu memperkaya orang lain namun kita tetap miskin. Kita tidak perlu menunggu hari esok sudah saatnya kita harus berbuat. Boleh jadi kita mengatakan lahanku tidak ada untuk bercocok tanam. Modal untuk membuka usaha aku tidak punya. Kemampuanku tidak memadai untuk ke jenjang lebih tinggi. Sekarang kata-kata itu harus kita buang jauh-jauh. Karena kita berbuat bukan untuk hal yang spektakuler yang harus dipuji banyak orang atau dilihat banyak orang tetapi kita dapat berbuat hal yang sangat sederhana. Contoh konkrit mari kita lihat di sekitar rumah kita masih banyak lahan yang bisa kita isi untuk sesuatu yang menghasilkan.
Antara lain kita dapat mengolah lahan di depan rumah kita dengan menanam sayur, cabai, tomat atau apa saja untuk mengurangi biaya ekonomi. Kita boleh juga mengumpulkan barang-barang bekas yang bisa kita temukan di sekitar kita. Plastik deterjen bisa kita pergunakan sebagai polybag dan menanam cabai atau apa saja. Tidak ada yang sulit jika kita mau memotivasi diri kita sendiri melakukan sesuatu yang baik. Bahkan kita mengajari anak-anak untuk mencintai lingkungan dengan mengumpulkan barang bekas bukan membuangnya sembarangan. Maka tidak mustahil sejak dini anak-anak akan terlatih untuk mencintai alam semesata.
Lahan sempit itu akan tampak indah dan segar ketika itu semua kita lakukan. Bahkan kita akan merasa nyaman atau betah untuk berlama-lama tinggal di rumah kita sambil mengagumi keindahan lahan kita. Bahkan biaya atau pengeluaran untuk dapurpun akan berkurang. Atau malah lahan sempit itu dapat menambah pemasukan bagi kehidupan keluarga kita.
Kita sebagai komunitas yang penuh cinta dapat menjadi teladan dan tidak mustahil akan menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak mustahil contoh yang kita buat di halaman atau di belakang rumah kita akan banyak orang yang terinsipirasi. Jadi tidak hanya diri kita saja yang mengalami manfaatnya namun orang lain juga merasakan kebahagiaan. Maka marilah kita menjadi agen perubahan yang membawa berkat bagi banyak orang.
*Buha Simbolon (Penulis adalah Pegiat Pengembangan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agung Medan)