MEMAHAMI TENDI DALAM KEPERCAYAAN PAKPAK | Balai Budaya
Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Keyakinan dan kepercayaan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Kepercayaan tradisional Pakpak hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Pakpak itu sendiri, namun terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Pakpak. Kepercayaan tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaannya. Tendi dalam Kepercayaan Tradisional Pakpak dalam bahasa Pakpak, tendi adalah jiwa, sukma, semangat, dan roh.
Menurut kepercayaan tradisional Pakpak, tendi merupakan kepribadian manusia dan badannya merupakan pelindung jiwanya sehingga dapat bertindak bebas. Dipercayai orang Pakpak tradisional bahwa tendi selain dapat memberikan kebahagiaan juga bisa membawa kecelakaan. Tendi juga dapat sesaat meninggalkan badan, membuatnya merana dan sebagainya. Diyakini oleh masyarakat tradisional Pakpak setiap manusia memiliki tiga tendi yaitu tertua (si tuan), penengah (si penengah) dan bungsu (si ampunampun). Ada beberapa ungkapan Pakpak mengenai tendi berhubungan dengan manusia, antara lain: • nakan tendi, yaitu sajian makanan ketika orang mengucapkan saling selamat dan bahagia. • mengidupi pertendin, yaitu mengucapkan selamat mengenai sukma, jiwa dan roh seseorang. • nakan ari-ari tendi, yaitu jamuan makanan untuk menghormati tendi yang diadakan bila seseorang sangat terkejut. • mengari-ari tendi, yaitu mengadakan jamuan makan dengan tujuan agar seseorang yang baru meninggal jangan membawa roh keturunannya ke kuburan.• meraleng tendi, yaitu ritual yang dilakukan ketika seseorang terkejut karena mendengar suara keras dan keadaan dimana seseorang sedang terancam suatu bahaya.
Dengan keadaan seperti ini, maka tendinya akan pergi meninggalkan raganya. Untuk menjemput tendi yang pergi perlu diadakan ritus meraleng tendi. Biasanya diadakan dengan membawa sesajen seperti: ayam merah atau ayam putih yang diberikan kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal. Sesajen tersebut dibawa ke tempat pemakaman nenek moyang tersebut atau sesuai dengan petunjuk guru (atau dukun). Meraleng tendi tidak dapat dilakukan sembarang harus oleh orang tertentu yang ahli dalam bidang tersebut. Proses meraleng tendi dilakukan dengan doa (mantra) dan peralatan khusus. Selain terhadap manusia, page atau padi juga dipercaya mempunyai tendi, sebagai roh pelindung. Padi diyakini secara tradisional bisa menjadi banyak di ladang berkat tendi atau rohnya.
Dari keyakinan itu muncul ungkapan Pakpak metendi pagena, berat mengenai padinya, yang juga diterapkan kepada manusia, misalnya saat menggendong seorang anak. Ketika kita menggendong anak atau mengangkat padi, pantang mengucapkan kata embotong (berat) karena diyakini memiliki tendi. Padi yang tumpah dari tempatnya akan segera dikumpulkan karena diyakini memiliki tendi.Menurut kisah orang-orang dahulu, bila seseorang meninggal di ladang, terhadap keluarga yang ditinggal akan dikenakan denda secara adat yang disebut penendi page, karena menurut keyakinan bahwa roh padi akan pergi, maka dengan membayar denda penendi page roh padi itu akan kembali lagi.
Keyakinan bahwa padi memiliki tendi, tampak juga dalam masyarakat Pakpak tradisional dalam ritus menanda tahun, yaitu ritus pada saat mengawali penanaman padi. Dalam arti harafiah, ladang tidak boleh ditabur sebelum dikenali. Ritus ini biasanya dilakukan oleh dua orang dengan mata tertutup (penanda tahun) membuat lubang-lubang di tanah dan seorang lagi memasukkan padi yang telah dijadikan bibit. Ritus menanda tahun dimaksudkan agar hasil panen melimpah dan terhindar dari segala jenis hama penyebab gagal panen. Kepercayaan Pakpak pada Daya AdikodratiOrang Pakpak dahulu percaya akan adanya kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Diyakini bahwa alam raya ini diatur oleh Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara Guru, Tunggung ni Kuta, dan Beraspati ni Tanoh. Debata Guru atau Batara Guru diyakini menciptakan segala yang ada di dunia ini (simenempa marang simenghanaken suberi si lot).
Kemudian Debata Guru atau Batara Guru menjadikan wakilnya sebagai penjaga dan pelindung. Penjaga dan pelindung itu dalam masyarakat Pakpak tradisional berupa roh-roh: Tunggung ni Kuta (roh tanah kampung): roh kampung, hantu-hantu atau roh yang diduga mendiami kampung dan dengan siapa diminta pertambahan ternak. Tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda:Lapihen: primbon, buku dari kulit kayu, buku berisi mantra.Naring: wadah berisi ramuan untuk pelindung kampung. Apabila suatu kampung mendapat ancaman, maka naring akan memberikan pertanda suara gemuruh atau siulan agar masyarakat dapat mengantisipasi gangguan tersebut. Pengulubalang: guna-guna yang terdiri dari beberapa ramuan yang intinya ialah kepala manusia. Pengulubalang dapat memberikan bunyi (suara gemuruh) sebagai tanda gangguan, bala, musuh, dan penyakit yang mengancam sebuah kuta.Sibiangsa: sejenis guna-guna yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di dalam tanah yang bertugas untuk mengusir penjahat yang datang.Beraspati ni Tanoh: roh pelindung tanah, yang diserukan dengan menaruh sehelai sirih di kedua telapak tangan yang bertelungkup.
Beraspati (dengan gambar Cicak) adalah roh pelindung yang menjaga tanah dan untuk memohon panen yang bagus. Jika seseorang menebang pohon, bambu, atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati ni Tanoh.Masyarakat tradisional Pakpak juga percaya adanya roh yang baik maupun yang jahat, seperti: Sembahen: dipandang sebagai kepala roh di dunia roh. Roh-roh yang berkedudukan lebih tinggi, roh orang-orang yang sudah meninggal, roh nenek moyang, menurut dugaan terutama tinggal dekat pohon-pohon yang tinggi atau tempat-tempat gelap serta sekali-sekali mengambil bentuk ular, roh-roh pendiri kampung-kampung dan marga-marga. Sumangan: hantu, roh orang meninggal, roh nenek moyang yang meninggal, dikenal sebagai hantu yang baik. Begu: sukma seorang yang mati, hantu jahat yang bertujuan mengambil nyawa, misalnya perempuan-perempuan yang hamil. Sukma dari sanak saudara yang meninggal beberapa tahun kemudian.
Beberapa begu antara lain: begu sampar, begu kalibon, begu lae, begu mate mi lae, begu panting, begu pengerompang. Dialog dengan Kepercayaan Tradisional PakpakDalam Lapihen Simbadia (Kitab Suci) dan buku-buku liturgis bahasa Pakpak, kata Tendi merupakan terjemahan dari kata ‘Roh’ dalam bahasa Indonesia. Timbul pertanyaan, samakah pengertian Roh dengan Tendi dalam pemahaman orang Pakpak yang sudah menjadi Katolik? Sejauh mana pemahaman tradisional tentang tendi ini diperbaharui oleh pemahaman Katolik? Untuk itulah diperlukan suatu usaha dialog. Dialog yang tidak terutama mencari kesatuan pemahaman melainkan pengungkapan keyakinan.Untuk menyapa masyarakat Pakpak, mau tidak mau Gereja harus berdialog dengan budaya dan sistem kepercayaan setempat. Bentuk penghayatan iman selalu erat kaitannya dengan konteks budaya.
Tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengkontekstualisasikan iman tersebut agar dapat dihayati masyarakat setempat dengan sungguh-sungguh.Kepercayaan tradisional Pakpak ini tentu sesuai dengan irama alamnya, kepadanya terikat kehidupan dan ini dilihat memberi kehidupan serta jalan menuju keselamatan. Beranikah kita menghormati orang Pakpak dalam identitasnya, dengan keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya?Allah menjadi manusia dalam diri Kristus supaya manusia dapat diilahikan. Inilah kiranya menjadi prinsip kita. Karena itu, diharapkan Gereja mampu bersikap dialogis, menciptakan keselarasan hidup orang Pakpak. Sehingga terwujudlah seratus persen Katolik, seratus persen Pakpak.
Artikel ini juga dimuat dalam Majalah Menjemaat No. 1 | TAHUN KE-42 | JANUARI 2020BALAI BUDAYA