KEKRISTENAN SEJATI || Hari Minggu Biasa XXXI
Mal 1:14b-2:2b.8-10; 1Tes 2:7b-9.13; Mat 23:1-12/Hari Minggu Biasa XXXI
Siapa pun yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu
Dalam tradisi bangsa Israel, imam termasuk kedudukan penting, karena para imam bertugas menjamin terlaksananya perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Mereka fasih mengajarkan kebenaran serta menetapkan aturan dengan rinci. Mereka juga menjaga tata peribadatan dengan rapi. Namun, keterampilan dalam mengajar dan menjaga ketentuan tidak mencerminkan penghayatan mereka yang tampak dalam tingkah laku.
Dengan tajam Nabi Maleakhi menyoroti kesenjangan antara pengajaran dan hidup harian para imam. Semestinya para imam berada di barisan depan dalam menghayati perjanjian dengan Allah. Dalam kenyataan, pola hidup mereka malah jadi sandungan yang membuat orang lain tergelincir. Posisi mereka yang luhur justru menjadi sumber malapetaka bagi mereka.
Yesus mencela mereka yang menduduki kursi Musa sebagai munafik. Celaan itu terasa mengejutan sebab posisi itu cukup terhormat. Tapi, celaan itu sebanding dengan sandungan yang mereka buat. Orang Farisi dan ahli Taurat bertanggung jawab membentuk hidup keagamaan dan pemeliharaan perjanjian. Mereka tahu dengan baik bahwa kesetiaan pada perjanjian tidak tampak dari kesetiaan membawa kurban persembahan atau melaksanakan ritus-ritus keagamaan. Mereka tahu bahwa ada hal yang jauh lebih penting daripada aturan, yakni menegakkan keadilan dan belas kasih.
Celakanya, untuk mempertahankan posisi, mereka mereduksi kesetiaan kepada Allah kepada kesetiaan pada aturan keagamaan. Mereka seolah-olah menjalankan kesetiaan kepada Allah, tapi dalam kenyataan menjadikan diri pusat perhatian dengan mengesampingkan Allah. Yesus memuji kefasihan mereka dalam mengajar, tetapi mengawaskan pola hidup mereka yang tidak sejalan dengan yang mereka ajarkan. Hidup mestinya menjadi implementasi konkrit dari ajaran iman, yang akan menolong orang untuk hidup beriman.
Di hadapan kemunafikan seperti ini, dapat dipahami reaksi Yesus yang cukup keras. Bagi suatu agama yang sangat menekankan cinta kasih, sikap legalistis adalah musuh. Bila agama tidak lebih dari suatu rangkaian aturan, maka dinamika hidup beragama akan hilang. Yesus melihat kemunafikan sebagai suatu bahaya besar karena mengesampingkan nilai-nilai dasariah.
Seorang tukang roti membeli mentega dari seorang petani. Suatu hari dia curiga bahwa menteganya tidak sama beratnya dengan mentega yang pertamakali dibelinya. Selama beberapa hari ia menimbang-nimbang mentega itu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa mentega yang dijual petani itu beratnya menurun sedikit demi sedikit. Dengan hati marah ia melaporkannya kepada yang berwenang, dan petani itu segera ditahan. “Saya andaikan, Anda mempunyai timbangan,” kata hakim kepada petani. “Tidak, pak,” jawab petani. “Lalu, bagaimana Anda bisa menimbang mentega yang Anda jual?” “Hal itu mudah,” kata petani itu. “Ketika tukang roti membeli mentega dari saya, saya membeli roti dari dia, dan berat satu pon roti itulah yang saya gunakan sebagai ukuran berat untuk mentega yang saya jual. Jika berat mentega itu salah, tukang roti itu harus menyalahkan dirinya.”
Yesus mewanti-wanti kecenderungan manusia untuk menduduki posisi terhormat seperti rabi, bapa atau pemimpin. Kedudukan luhur dan mulia itu justru menjadi bumerang apabila tidak mampu diselaraskan dengan hidup konkrit. Yesus tidak mencela keinginan menjadi yang terbesar sebagai yang jahat. Yesus mewaspadai perlunya spiritualitas yang mendasarinya. Sebab, kebesaran seseorang tidak ditentukan oleh tingginya kedudukan, melainkan dari pelayanan yang ia perbuat. Yesus hadir sebagai saudara dan pemimpin. Ia menjadi pemimpin dengan melayani. Amin.