KATEKESE

KEADILAN DAN BELAS KASIH ALLAH

Loading

RP. Frans Sihol Situmorang, OFMCap

Hari Minggu Biasa XXV, 20 September 2020
Yes 55:6-9; Flp 1:20c-24.27a; Mat 20:1-16a

Pikiran-Ku bukanlah pikiranmu dan pikiranmu bukanlah pikiran-Ku

Pada suatu hari yang terik, seorang petani duduk bernaung di bawah sebuah pohon kenari sambil memperhatikan tanaman labunya. Di tengah lamunannya, ia berkata, “Allah ternyata tidak adil. Ia membuat buah labu yang besar dan berat pada tanaman merambat dan yang tidak memiliki kekuatan. Mengapa Ia justru menggantungkan buah kenari yang kecil pada pohon yang cabangnya dapat menahan berat seorang manusia?” Katanya lagi, “Andaikan saya jadi Allah, saya akan membuat yang sebaliknya.” Dalam khayalannya petani itu tertidur. Tiba-tiba sebiji buah kenari jatuh persis mengenai hidungnya. Ia pun kaget dan berteriak, “Ternyata Allah sungguh adil. Dia bijaksana. Halleluya.”

Manusia kerap bingung menghadapi belas kasih dan keadilan Allah. Ia tidak menunggu kembalinya pendosa, tetapi mencarinya. Tak ada kesalahan yang bisa memutuskan kasih-Nya. Keputusan Allah yang demikian kerap menjadi sandungan bagi manusia sampai-sampai menuduh Allah tidak adil.

Yesus mempertegas perbedaan jalan Tuhan dengan jalan manusia. Kita diminta mencermati ulang anggapan kita mengenai keadilan. Mereka yang bersungut-sungut itu justru tidak melihat sisi yang lebih dasar dari keadilan, yaitu peluang yang sama untuk mendapatkan nafkah. Orang yang protes itu terhitung beruntung, karena mendapat pekerjaan sejak pagi dan upah yang jelas dan wajar, sementara banyak orang harus menganggur sampai siang bahkan sore, karena tidak ada yang memberi pekerjaan. Mereka cemas dari mana mendapat nafkah. Keadilan seperti ini tak muncul di hati orang yang bersungut-sungut tadi. Tuan itu memberi upah satu hari bagi yang bekerja hanya satu jam, karena ia tahu bahwa upah kurang dari sedinar tidak cukup untuk menghidupi satu keluarga. Orang yang bekerja sejam itu diberi upah karena sungguh-sungguh bekerja. Sedinar tak dihadiahkan begitu saja.

Baca juga  Betlehem Ketaren: Semakin Larut dalam Karya Pastoral Komunikasi Sosial

Perumpamaan ini bukan tentang seorang hakim, tetapi sikap seseorang yang didorong oleh kebaikan, kemurahan hati, kepedulian dan solidaritas. Inilah cara hidup dalam Kerajaan Surga yang harus berkembang dalam diri para murid. Kerajaan Surga berkembang bukan atas dasar prestasi atau jasa. Tuhan bertindak melampaui batas keadilan. Tuhan memberi bukan karena manusia pantas, tapi karena Dia murah hati.

Orang-orang Farisi merasa diri sebagai pewaris Kerajaan Surga. Mereka protes dan bersungut-sungut sebab Yesus dekat dengan pendosa. Tapi Allah menghendaki semua orang bersatu dengan Dia dalam kebahagiaan-Nya. Ia menyuruh para hamba-Nya pergi ke persimpangan jalan dan mengundang siapa saja. Setiap orang yang mereka jumpai dan diberi kesempatan.

Kita berkumpul sekeliling Yesus layaknya mereka yang datang terakhir masuk bekerja. Kita mendekat dan menerima satu dinar dan kembali dengan hati gembira. Dinar itu adalah lambang kebahagiaan dan hidup abadi yang diberikan bukan karena jasa kita. Kebahagiaan yang kita terima bukannya berkurang sedikit pun bila Tuhan memberi kebahagiaan yang sama untuk orang lain. Sangat aneh bila kita masih cemburu. Rasa cemburu inilah yang menjadi penyakit manusia yang sulit disembuhkan. Setelah kita mengalami kemurahan, kebaikan dan belas kasih Tuhan, kita diajak berbuat yang sama, yakni berpikir dan bertindak berpedoman pada kemurahan hati. Amin.

Facebook Comments

Rina Barus

Menikmati Hidup!!!

Leave a Reply