Stasi St. Petrus Batukaran
“Semoga Jadilah Kehendak Kristus Senantiasa di Stasi Batukarang, Seperti Yesus Berkata Kepada Petrus: “Di Atas Batu Karang Ini Kudirikan GerejaKu.”
Beberapa menit sebelum turut misa Minggu (12/11/2017) di Stasi St. Petrus – Batukarang, Menjemaat terkesiap saat seorang umat meminta, “Coba ambil foto Sinabung itu. Baru saja erupsi,” katanya seraya menunjuk Gunung Sinabung, yang tampak jelas dari beranda gereja seperti sisa tumpukan arang perapian.
Mungkin karena telah terbiasa, para umat stasi tidak panik. Sebagian besar malah asyik bersenda gurau dengan bahasa daerah. Misa yang dipimpin oleh Parokus Tiganderket, RP. Evangelis Pardede OFMCap, menjadi titik mula penulisan riwayat Gereja Stasi Batukarang untuk kolom ‘Pesona Gereja’ di Menjemaat edisi ini. Berikut napaktilas pewartaan dan pelayanan, yang telah berjalan hingga setengah abad, salah satu gereja dengan jumlah umat terbesar di Tanah Karo.
Sejarah Awal Pewartaan
Buku karya RP. Leo Joosten OFM Cap “Mbuah Page Nisuan: Perkembangan Gereja Katolik di Tanah Karo Khususnya Paroki Kabanjahe 1939 – 2006” menuturkan, peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) turut andil dalam pewartaan agama Katolik di desa Batukarang. Meskipun sebelumnya agama Protestan (GBKP) dan Islam telah lebih dahulu dianut sejumlah penduduk.
“GBKP bahkan telah 50 tahun lebih awal melaksanakan misi pewartaan di Batukarang, sebelum Katolik. Ketika Gereja Stasi Batukarang merayakan Jubileum 50 Tahun pada 2016 lalu, GBKP juga telah merayakan Jubileum 100 tahun di desa ini,” demikian diterangkan Ketua Dewan Pastoral Stasi (DPS) St. Petrus – Batukarang, Antoni Bangun kepada Menjemaat seusai Misa Minggu (12/11/2017).
Dalam buku disebut sebelumnya, Pastor Leo Joosten menuliskan: “Agama Katolik masuk secara resmi dan mulai dikenal pada tahun 1966, bersamaan dengan situasi negara dan politik yang menetapkan supaya tiap-tiap orang harus menganut satu agama. Maka pada tahun tersebut ditunjuk beberapa orang bapak-bapak untuk menjumpai pimpinan Gereja Katolik di Kabanjahe, yaitu RP. Licinius Fasol Ginting OFMCap.”
Sebagai misionaris gereja Katolik di Tanah Karo, Pastor Lisi (sapaan akrab RP. Licinius) menyambut gembira permintaan pewartaan ke Batukarang, yang disampaikan oleh utusan: Persen Sinulingga, Maklum Bangun, dan Cahaya Tarigan. Pada waktu yang telah ditetapkan, Pastor Lisi bersama dua orang temannya berkunjung ke desa Batukarang. Pertemuan pertama dilaksanakan di rumah bapak Jumpamin Bangun.
“Penduduk desa Batukarang ternyata semakin hari semakin banyak yang mau belajar tentang Gereja Katolik. Begitulah permulaannya ada kelompok katekumen dalam perkumpulan Katolik di desa Batukarang. Pertemuan di rumah tidak tertampung lagi,” imbuh Pastor Leo dalam nukilan buku dengan cover gereja lama Paroki St. Perawan Maria Diangkat ke Surga – Kabanjahe. “Atas usul bapak Binangun Surbakti (Kepala Sekolah SMP Negeri Batukarang) waktu dijadikanlah salah satu ruangan sekolah SMP Negeri Batukarang jadi Gereja sementara. Cukup lama juga ruangan itu dijadikan gereja.”
Pada 9 November 1966, umat Katolik perdana di Batukarang membeli pertapakan Gereja seluas 30 m x 50 m dengan jalan masuk. Karena kebutuhan yang mendesak, pengurus dan umat memutuskan untuk membangun gereja yang tetap. Dan terwujudlah pembangunan gereja dengan luas: 9 m x 16 m. Berkat semangat gotong royong yang luar biasa bisa, pembangunan gereja stasi dapat rampung dalam tempo dua tahun. Uskup Agung Medan (pada masa itu), Mgr. Ferrerius Van Den Hurk OFMCap memberkati gereja Stasi Batukarang pertama, pada 17 November 1968.
Berbarengan dengan masa pembangunan, (setelah katekumen selama satu tahun) diadakan Misa dan Permandian Pertama bagi 250 orang (60 KK). Di samping itu, beberapa pengurus Stasi juga dipilih untuk menggembalakan umat setempat. Yakni, Binangun Surbakti sebagai Vorhanger (kini dikenal sebagai Ketua Pengurus Harian Stasi), Cahaya Tarigan selaku Sekretaris, dan Kirem Bangun sebagai Bendahara.
Pelayanan dalam Kasih Itu pun Berbuah
Cahaya Tarigan mengenang pewartaan awal agama Katolik di Batukarang tidak banyak mengalami kendala. “Selain karena tekanan di masa Gestapu, bahwa setiap orang (di masa itu) didesak untuk menganut salah satu agama yang diakui negara. Pastor Lisi juga tidak banyak menghapus budaya Karo. Sungguh berbeda dengan ajaran agama sebelumnya yang kaku, bahkan cukup menentang beberapa ritual adat Karo,” kata Cahaya, seraya juga diakui Antoni, kepada Menjemaat.
Merujuk buku “Misionaris Tanah Karo Licinius Fasol OFM Cap: Cintanya Melelehkan” (ditulis oleh: Irfantinus Tarigan, Pr dan Simon Saragih), aktivis gereja Stasi Batukarang, Jenda Malem Ginting menceritakan, pendekatan Pastor Lisi dengan umat perdana tidak hanya ‘menarik’ namun juga ‘membakar’ nyala semangat pewartaan di hati mereka.
“Bagi saya, Lisi adalah Pastor perintis yang mau menyantap pagit-pagit, arsik dan masakan-masakan khas Karo yang lain. Rasanya sungguh mengharukan seorang Eropah mau memakan makanan kita, dengan lahap pula,” tutur bapak tiga anak tersebut.
Pastor Lisi kemudian meminta para umat perdana turut menyebarkan Katolik di Batukarang. “Banyak kami yang spontan sepakat: “Ya… ayo. Kita cari orang biar cepat bertambah umat Katolik. Biar jangan sia-sia kerja Pastor Lisi …,” kata Jenda. “Salah satu contoh, waktu itu kami anak-anak SMP pergi ke ladang-ladang orang-orang yang belum Katolik, dan sedang menyabit padi yang siap dipanen. Kami rame-rame membantu untuk menarik simpati pemilik ladang tersebut.”
Di samping itu, setiap kali ada pesta adat, Jenda dan rekan umat Katolik turut mencarikan daun pisang sebagai wadah makan para tetamu. “Waktu itu belum ada piring seperti sekarang. Demikian pula jika ada orang meninggal. Kami terlebih dahulu hadir di situ sebelum utusan dari agama lain datang. Mengapa kami melakukan demikian? Kami senang dan ingin karya Pastor Lisi berkembang,” ujar Jenda.
Pelayanan dalam kasih tersebut pun berbuah, dengan pertumbuhan jumlah umat Katolik semakin banyak dari tahun ke tahun di desa Batukarang. Pastor Leo Joosten mencatat, “Perkembangan Gereja Katolik begitu pesat. Dan kebutuhan gereja yang lebih besar sangat diperlukan karena gereja awal sudah terlalu kecil. Maka pada tahun 1996 pengurus bersama umat merencanakan pembangunan gereja yang lebih besar. Atas inisiatif pengurus, pembangunan gereja stasi dipercayakanlah kepada: Antoni Bangun, Jenda Malem Ginting dan Kayu Bangun untuk mendata nama-nama yang akan menjadi panitia pembangunan gereja stasi berskala nasional sekaligus mencari pertapakan gereja yang baru di tempat yang strategis.”
Pada 16 November 1996, RP Laurentius Sinaga OFMCap memimpin misa pelantikan Panitia Pembangunan gereja baru Stasi Batukarang. Yakni: Ketua Umum: Rajakin Bangun (Medan), Sekretaris Umum: Drs. M. Sinter Bangun (Medan), Bendahara Umum: Drs. Kuat Sitepu (Medan), Koordinator dana: Drs. Herli Ginting serta rekan (Medan), dan Masda Mburak Ginting serta rekan (Jakarta). “Panitia pembangunan kebanyakan berdomisili di luar Batukarang yang tidak mungkin satu-persatu dituliskan,” imbuh Pastor Leo.
Selain panitia, Paroki (saat itu) St. Perawan Maria Kabanjahe juga membentuk tim khusus pengumpulan dana dengan cara mengunjungi umat dan donatur dari rumah ke rumah. “Tim yang cukup bekerja keras ini adalah: Jenda Malem Ginting, Kromo Bangun, Antoni Bangun, Cahaya Tarigan, Darma Purba, Kayu Bangun, Maramis Sembiring, Sudarmin, Bangun dan didukung oleh ketua-ketua lingkungan 1-10,” terang Pastor Leo, selaku Parokus di masa tersebut. ”Walaupun dalam keadaan ekonomi merosot dan situasi negara yang kacau akibat masa-masa peralihan kepemimpinan di Indonesia, pengumpulan dana tetap berjalan walau tersendat-sendat.”
Pada Februari 2000, RP Leo Joosten, OFMCap memimpin misa peletakan batu pertama gedung gereja Stasi Batukarang yang baru. “Dengan semangat tinggi gereja dibangun oleh Bruder Ananinus Snik OFM Cap, kepala pusat Teknik Katolik Pematang Siantar. Berkat anugerah Allah Tritunggal maka pada tanggal 1 Juni 2003 diberkatilah Gereja Katolik oleh Uskup Agung Medan, Mgr. Pius Datubara OFM Cap.”
Menjelang pemberkatan gereja baru Stasi Batukarang, Pastor Leo mendiskusikan nama pelindung. “Pastor Leo bertanya kepada kami, apakah Stasi Batukarang sudah memiliki nama pelindung. Kami menjawab ‘belum’. Nah, jika demikian sungguh pas bila pelindungnya adalah St. Petrus ya,” kenang Antoni, sebagaimana dikutip Menjemaat. “Umat pun turut setuju atas usulan tersebut.”
Pastor Leo turut menekankan harapannya pada Stasi Batukarang dengan perlindungan St. Petrus, dalam buku Mbuah Page Nisuan. “Semoga jadilah kehendak Kristus senantiasa di Stasi Batukarang, seperti Yesus berkata kepada Petrus: “Di Atas Batu Karang ini Kudirikan Gereja-KU.””
(Ananta Bangun) | Pustaka: “Mbuah Page Nisuan: Perkembangan Gereja Katolik di Tanah Karo Khususnya Paroki Kabanjahe 1939 – 2006” (Penulis: RP Leo Joosten OFM Cap); “Misionaris Tanah Karo Licinius Fasol OFM Cap: Cintanya Melelehkan”
Penulis:
Irfantinus Tarigan, Pr
Simon Saragih