KATEKESEREFLEKSI

SECANGKIR AIR SEJUK

Loading

RP. Frans Sihol Situmorang OFMCap, Dosen STFT Pematangsiantar

28 Juni 2020

Hari Minggu Biasa XIII

2Raj 4:8-11.14-16a; Rom 6:3-4.8-11; Mat 10:37-42

Ia tidak akan kehilang upahnya

Menerima orang lain dengan keramahtamahan adalah tanda kesetiaan pada perintah cinta kepada sesama. Kita tidak saja wajib menerima teman, anggota keluarga atau sahabat (yang juga dilakukan bangsa kafir), tapi juga menerima orang asing, miskin dan yang tak mampu untuk membalasnya. Hal itu ditegaskan Yesus ketika mengutus murid-murid-Nya, “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku. Barangsiapa yang menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.” Sambutan terhadap utusan Tuhan adalah sambutan kepada Tuhan sendiri. Setiap bentuk pelayanan terhadap sesama, juga yang paling sederhana, tidak akan kehilangan upahnya. Yesus mengharapkan agar para murid tidak jemu-jemu berbuat baik.

Penyambutan yang penuh kemurahan hati itu didorong oleh kesadaran bahwa sambutan itu kita tujukan bagi Dia yang telah menjadikan diri Orang Asing dan yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala. Dalam diri orang yang lapar, haus, miskin, sakit, telanjang, peziarah dan yang ditawan, hadir Yesus yang mengetuk pintu hati kita dan memohon pertolongan kita. Kesediaan untuk menerima orang lain, khususnya orang miskin, termasuk indikasi kesetiaan kepada Injil. Di akhir zaman, pada penghakiman terakhir, pelayanan kita kepada orang lain menjadi ukuran penilaian terhadap kita.

Perempuan kaya di Sunem menunjukkan perhatian kepada Elisa, abdi Allah, dengan menyediakan makanan dan tempat istirahat. Kemurahan dan kebaikan hati perempuan itu diganjari kelahiran anak laki-laki. Kebaikan yang dibuat oleh perempuan itu tidak sebanding dengan sukacita yang dia terima dengan kelahiran anaknya. Aib, kemurungan dan pandangan remeh orang lain yang selama ini menghantui perempuan itu dan suaminya, kini disingkirkan. Kemurahan hati membawa berkat dan rahmat melimpah.

Dr. Karl Menninger, seorang psikiater ternama, suatu saat memberi ceramah tetang kesehatan mental. Seorang peserta bertanya, “Apa yang Anda nasihatkan kepada seseorang untuk dilakukan jika orang itu merasa cemas?” Para perserta mengira bahwa psikiater itu akan menjawab, ‘mintalah nasihat dari psikiater’. Perserta terkejut saat mendengar jawaban psikiater, “Kuncilah pintu rumahmu, susurilah jalan raya dan temuilah seseorang yang membutuhkan bantuanmu, dan lakukanlah sesuatu untuk membantu orang itu.” 

Memberi dari yang kurang kita butuhkan atau dari kelebihan adalah hal yang baik. Tetapi, memberi dari apa yang kita butuhkan jauh lebih bernilai. Kita kerap kikir, merasa berat atau terpaksa ketika memberi sesuatu, sebab kita takut milik kita berkurang. Kita menghitung kebaikan yang telah kita perbuat, tapi tidak menghitung rahmat yang kita terima. Bila saja kita sadar dan yakin bahwa apa ada pada kita berasal dari kemurahan hati Tuhan, kita pasti dengan senang hati berbagi dengan orang lain.

Memberi menjadi keutamaan bukan karena banyaknya pemberian itu, tapi karena kita harus berkorban dan melakukannya dengan ikhlas, bukan karena berharap bahwa suatu saat orang lain akan berbuat yang baik kepada kita. Memberi sesuatu bagi orang miskin dan asing berarti mengembalikan kepada pemilikya. Berbagi dan berbuat baik tak pernah rugi, tapi membawa berkat yang tak terkira, melampaui semua yang pernah kita beri. Menurut Rasul Paulus, memberi jauh lebih berharga daripada menerima. Secangkir air tawar memang sangat sederhana bahkan serasa tak bernilai, tetapi yang sederhana dan kecil itu, bila diberi dengan hati yang ikhlas, pasti membawa pahala dan berkat. Amin.

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *