Penyerahan Diri Membawa Mukjizat Dalam Keluarga
https://komsoskam.com Gedung paroki Santo Fransiskus Xaverius Simalingkar B, menjadi saksi bisu atas peristiwa Pemberkatan Perkawinan yang terjadi pada 1 Februari 2013. Saat itu, Edward Efendi Rumapea dan Linda Nova Simalango mengucapkan janji hidup sebagai suami istri, setia dalam suka dan duka dihadapan pastor Mario Lumban Gaol OFMConv. dan disaksikan keluarga. Setelah menikah mereka punya harapan yang sama, dan tentunya keinginan untuk mendapatkan buah hati.
Mereka berasal dari keluarga Katolik yang telah saling kenal saat sama-sama belajar pada sekolah Dasar. Pendekatan antar pribadi berawal saat Paskah tiga Paroki yang digembalakan imam Konventual pada tahun 2010 di wisma Halilintar, Medan. Setelah merajut persahabatan selama tiga bulan, mereka memutuskan untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan.
Memasuki tahun kedua perkawinan, Linda mulai disusupi perasaan sedih dengan pertanyaan yang terus menggelayut ”Kok aku tak hamil seperti wanita lain?” Di periode ini menjadi tahun yang tidak menyenangkan dalam hidupnya. Ada rasa malu dan tidak nyaman berada dalam perkumpulan keluarga. Mudah tersinggung oleh sikap dan perkataan orang-orang di sekitarnya. Pada saat yang sama sang suami diliputi kekawatiran bahwa tak punya anak. Seiring berjalannya waktu rasa kuatir menjadi takut. Relasi sebagai suami istri menjadi tidak nyaman, kadang karena hal yang sepele bisa menjadi alasan untuk ribut. Namun satu hal yang tidak pernah ditinggalkan mereka yaitu tetap aktif dalam kegiatan Gereja dan tidak saling menyudutkan dan mempersalahkan. Mereka sadar ini adalah kerinduan bersama sekaligus masalah bersama.
Kegigihan Berujung pada Penyerahan Diri
Memasuki tahun ke tiga, mereka mulai mengonsumsi ramuan herbal, sang istri mendatangi tukang kusut yang direkomendasikan untuk cepat dapat momongan. Tanda-tanda kedatangan anak belum juga nampak sampai pada tahun ke empat akhirnya mereka datang ke klinik dokter kandungan Jaman Kaban. Setelah melalui pemeriksaan medis oleh sang spesialis dinyatakan ada masalah serius dengan rahim ibu yang kini menjadi guru SMA Thomas 2 ini.
Sang dokter dengan jelas dan tegas mengatakan ”Ibu tidak akan melahirkan anak dalam kondisi rahim seperti ini”. Titik pengharapan menghilang dari hidup mereka. Sebagai pasangan beriman, mereka berusaha untuk teguh dalam iman dan pengharapan. Pada tahun kelima, pasangan ini bergegas menjumpai para pendoa. Orang pertama yang didatangi adalah Sr. Gabriel Saragih KSSY di Karya Murni. Seperti rusa yang rindu akan sumber air, mereka juga menjumpai seorang pendeta di kawasan Tuntungan. Sang pendeta memberi jalan rohani dengan meminta untuk berdoa dan berpuasa selama 3 minggu, 3 bulan dengan waktu yang semakin singkat dari minggu ke minggu. Puasa yang paling ekstrim 20 jam sehari selama 5 haripun mereka jalankan sambil berdoa 3 kali Bapa Kami setiap saat memasuki hari baru.
Usaha dan penantian seperti tidak menunjukkan hasil. Tanda kehamilan belum juga terbaca. Saat itu mereka seakan pasrah. Dalam doanya bukan lagi untuk mengharapkan anak. Sang istri yang dulu aktif di Mudika Paroki Padang bulan ini memohon agar Tuhan memberi kemampuan dan sukacita agar dapat menerima apa yang terjadi. Mereka mempersiapkan diri, dan merencanakan untuk mengangkat seorang anak. Sang suami, yang juga Sekretaris panitia pembangunan gedung dan sarana Pastoral paroki ini, meneguhkan sang istri dan mengungkapkan kesetiaannya meski apapun terjadi dalam hidup mereka. Ia mengakui tetap akan bahagia dengan rencana dan keputusan mereka.
Suatu saat yakni tahun 2016, mereka mohon doa dari Pastor Paroki, Romo Eko Sutapa seraya bersharing bahwa mereka ingin mengangkat anak. Kala itu Romo Eko meminta mereka untuk menjadi Bunda Maria dan Yoseph yang membawa bayi Yesus dalam prosesi perayaan Ekaristi pada malam Natal. Mereka menurutinya, dan bergumam “Tuhan terserahlah apa kehendakmu, yang penting kami tetap saling cinta dan bahagia dalam hidup ini”.
Tangisan Umat dan Sebuah Tanda
Dalam suatu perayaan penerimaan Sakramen Baptis, seorang ibu meminta Edward dan Linda menjadi ayah dan ibu Serani bagi anaknya yang akan dipermandikan. Secara spontan Linda, yang juga anggota seksi liturgi paroki ini memberontak dalam hatinya. “Mana mungkin saya mendidik anak orang, toh saya tak punya anak!”
Bersama sang suami yang bekerja di WCS-JP (Widelife Conservation Society-Indonesia Program), mereka berkonsultasi dengan Romo Eko sebelum memutuskan, menerima atau menolak tawaran ibu itu. Rupanya Romo Eko mendukung mereka. Pada saat berlangsungnya permandian di Gereja Simalingkar B, bukan hanya air mata tangisan anak-anak yang menggema dalam Gereja. Pasangan mata umat, khususnya orangtua anak-anak mulai berbinar-binar saat acara berlangsung. Emosi kesedihan membakar perasaan karena disulut pertanyaan, “Kasihan tak punya anak ya, tapi mau jadi orangtua baptis. Mengapa mau jadi orangtua baptis, padahal belum punya anak?”
Atmosfer kesedihan dengan lelehan air mata di wajah umat, meledakkan tangisan Edward dan Linda. Mereka dibuat tak berdaya dalam acara baptis tersebut. Namun dengan ketulusan, mereka berusaha untuk tegar. Usia acara Pembaptisan, mereka pulang dengan status memiliki anak yang lahir dari iman bukan dari rahim istrinya.
Empat bulan usai peristiwa Baptis itu, Linda merasa tak enak badan, seperti masuk angin dan secara tiba-tiba hasrat makan durian memuncak. Segera ia menghabiskan tiga buah durian dalam waktu singkat. Ia sendiri terkejut atas permintaan tubuhnya. Setelah itu, ia pergi berobat di Poli Umum sebab perasaan masuk angin belum juga reda. Oleh dr. Rita, ia diberi neurobion. Saat hendak menginjeksi anti biotik, dokter yang beragama Islam itu bertanya “Kapan menstruasi terakhir?” Ia menggelengkan kepala karena tak ingat lagi. Oleh dokter, Linda diminta untuk tes kehamilan. Dalam hatinya seolah berlawanan. Sebab pikirnya tidak mungkin hamil, namun karena disarankan petugas medis dilakukan juga. Antibiotik itu batal dimasukkan ke tubuhnya.
Pagi hari berikut, ia melakukan tespek. Hasilnya mengejutkan, alat tes kehamilan itu menunjukkan tanda positif, garis dua. Segera tangisannya meledak di kamar mandi. Suaminya sangat senang tapi keduanya masih diliputi keragu-raguan. Setelah diizinkan sekolah untuk tidak mengajar hari itu, mereka pergi melakukan tes medis di salah satu rumah sakit di Simpang Pos.
Kabar menyedihkan justru mereka terima. dr. Leo Simanjuntak mengatakan sang ibu memiliki rahim ganda, tetapi belum diketahui mana rahim yang kuat dan lemah yang saat ini dihuni calon bayi berusia 3 minggu. Semoga rahim yang kuatlah tempat sang bayi bertumbuh, demikian kata dokter memberi harapan dan peneguhan.
Kembali hati mereka lebih remuk redam. Harapan yang sempat bersinar segera tenggelam. Kali ini pergumulan lebih dahsyat, karena kesehatan sang ibu juga dipertaruhkan. Dalam doanya, Linda tiada hentihentinya meneteskan air mata kesedihan. Ia hanya mampu berkata “Tuhan jangan ambil anak saya”.
Tanpa kehilangan akal mereka segera meluncur ke Rumah Sakit Columbia. dr. Yosimin, yang telah berpengalaman seputar masalah kehamilan menjadi rekan konsultasi permanen. Sejak saat itu, dengan telaten mereka melakukan seluruh panduan dokter demi kesehatan bayi dan ibu. Setelah dua bulan berlangsungnya konsultasi, dokter katakan bayinya sehat. Kembali sukacita menjadi selimut kehangatan kebersamaan mereka. Mereka senang melakukan checkup karena penasaran dengan keadaan bayi seraya dengan hati gembira melayani kebutuhan pastoral di paroki. Mereka ingin berbagi dengan kegembiraan Romo Eko dalam pesta peraknya dengan terlibat aktif dalam kepanitiaan.
Sang Bayi Datang, Harapan Mekar
Hari yang dinanti untuk menyambut sang bayipun tiba. Pada tanggal 14 Februari 2019, sang ibu sudah berada di ruang bersalin RS. Columbia. Hari-hari pergumulan telah berlalu. Dokter mengatakan persalinan dilakukan dengan operasi sesar. Secara pribadi, pak Edward, diajak berbicara secara pribadi sebelum tindakan medis “Ada mion sebesar bola pingpong. Setelah 6 bulan persalinan harus diangkat” kata dokter. “Apa efek sampingnya?” tanyanya balik. Dokter Yosimin mengatakan kurang lebih 1 jam pendarahan. Ini saat terberat bagi sang suami membayangkan apa yang terjadi. Ia menyimpan dalam hati informasi ini sambil berdoa dan berpasrah.
Kira-kira pukul 09.34 WIB tangisan sang bayi pertama kalinya diperdengarkan. Sukacita melonjak dalam hati mereka. Seakan pergumulan, pertandingan antara harapan dan keputusasaan telah berakhir dengan kemenangan pada mukjizat kedatangan sang putra. Anak ini diberi nama Augurius Rumapea. Ternyata bukan hanya sang ibu yang melahirkan anak tetapi sang anak juga melahirkan Pak Edward menjadi Pak Augurius Rumapea, dan sang ibu dipanggil Mak Augurius. Ini gelar baru yang mereka sandang karena kasih Tuhan. Bagi mereka, kehamilan dan kelahiran sang putra pertama ini merupakan mukjizat nyata dalam hidup mereka.
Pasangan ini belajar banyak dalam memahami rencana Tuhan. Tidak punya anak bukan tabu dan tidak menghambat kebahagiaan, seraya terus berdoa. Rupanya Tuhan punya rencana indah lewat lika liku iman. Kini sang anak berusia 6 tahun dan mereka hidup bahagia dan tetap mengandalkan kasih karunia Tuhan. Sungguh mukjizat itu nyata bagi orang yang percaya.
Seperti dikisahkan kepada RD Benno Ola Tage, Majalah Menjemaat.