KATEKESEREVIEWS

ORANG MUDA & SPIRITUALITAS INTERNET

RP. Benny Manurung,OFMCap

Teknologi digital (internet) adalah sebuah peradaban terbaru dan meluas di tengah-tengah kita saat ini. Dalam hidup beriman, teknologi digital internet tak jarang menimbulkan polemik; antara penghayatan nilai sakral ber-Tuhan hingga nilai-nilai peradaban baru yang diciptakannya.

Lahirnya peradaban empiris

Filsuf Carlo Sini (1933) mengatakan adanya hubungan erat antara keberadaan kita sebagai manusia dan apa yang kita ciptakan. Manusia menjadi “semakin manusia” dengan menjadi “teknis”. Katanya, hakikat manusia secara struktural justru bersifat teknis. Karya-karya yang dibuat dari waktu ke waktu, misalnya artefak manusia adalah seperangkat teknik dan teknologi yang menceritakan jenis masyarakat yang menghasilkannya dan evolusinya dalam budaya, politik, dan agama. Selain artefak, menulis juga adalah salah satu pencapaian teknologi dasar komunikasi manusia. Peralihan dari budaya lisan ke tulisan adalah upaya abstraksi yang luar biasa dari keterampilan analisis dan sintesis. Dengan menulis, manusia menemukan ingatan historis, memungkinkannya keluar dari visi siklus waktu dan membuka diri ke masa depan yang dapat dibayangkan dan diprediksi.

Antara abad ke-15 dan 16, Niccolò Copernico (1473-1543) dan Galileo Galilei (1564-1642) membuat jalan yang menyangkal kebenaran dari tatanan transenden dan mengajukan kebenaran empiris yang dapat diverifikasi. Galileo Galilei dengan pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya menggemparkan keyakinan Gereja saat itu yang meyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta (paham yang dianut Gereja lewat konsep Aristoteles abad IV SM).

Sesudah itu, muncul Charles Darwin (1809-1882) dengan klaim bahwa kehidupan berkembang di bumi melalui proses evolusi dan seleksi alam. Ini tentu menggegerkan iman tradisional yang meyakini penciptaan manusia pertama dari Adam dan Hawa. Meskipun kebenaran iman kita pada akhirnya tetap dapat dipahami lebih baik karena penemuan-penemuan ilmiah itu, namun di sisi lain hendak ditegaskan bahwa hidup beriman selalu harus disegarkan pada konteks dimana dia hidup.

Munculnya Internet

Saat ini, revolusi teknologi digital (khususnya internet) telah merembes sangat dalam di kehidupan kita. Internet membuka bentuk dan prosedur komunikasi baru dan tak terduga di setiap bidang kehidupan sosial, budaya dan politik dalam masyarakat. Kalau melihat sejarahnya, sesungguhnya pemakaian internet itu pada mulanya sangat terbatas.

Sejarah teknologi internet mulai pada proyek ARPANET (1969) yang bertujuan untuk memastikan supremasi militer Amerika di masa Perang Dingin antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutunya. Perang dingin merupakan sebuah persaingan ideologi dalam memperebutkan pengaruh negara-negara lain, yang mulai setelah keberhasilan Sekutu mengalahkan Nazi Jerman di Perang Dunia II.

Untungnya, militer yang mempercayakan desain tersebut kepada para insinyur, teknisi, dan guru yang lebih terpesona oleh cita-cita ilmiah daripada strategi militer. Proyek ini berkembang berkat sinergi empat aktor sosial: para elit teknologi, komunitas hacker, komunitas virtual, dan dunia bisnis. Komputer pertama berhasil terhubung pada tahun 1969 dan Network Control Program mulai diimplementasikan pada tahun 1970.

Tahun 1990, proyek ARPANET secara resmi dinonaktifkan setelah terjadi kemitraan dengan industri telekomunikasi dan komputer yang membuka jalan bagi komersialisasi internet. Dengan masuknya ke dunia bisnis dimungkinkan untuk memperluas penggunaan internet di luar lingkaran elit kampus universitas Amerika. Perusahaan-perusahaan komputer Silicon Valley dan pusat finansial Wall Street Amerika menjadi titik acuan bagi inovasi kewirausahaan dan keuangan, dan Internet bertindak sebagai kekuatan pendorong untuk menaklukkan pasar secara global. Ketika terjadi krisis ekonomi global tahun 2008, Wall Street diprotes secara besar-besaran karena dituduh menyuburkan kapitalisme. Kapitalisme dituduh sebagai penyebab kesenjangan ekonomi.

Blog (singkatan dari weblog) yang sebelumnya dimiliki PyraLab dan kemudian diakuisisi oleh Google pada tahun 2002 diartikan sebagai datangnya era baru demokratisasi kebebasan berpikir dan berekspresi. Sejak itu, banyak aplikasi-aplikasi yang bersifat terbuka, yang membantu para blogger mengembangkan blog yang dimiliki. Namun ini bagaikan jendela terbuka. Seiring dengan menghirup udara segar, banyak udara berbau busuk juga datang dan bermunculan (mis. hoax), yang dihasilkan oleh akumulasi produksi yang lebih ditujukan untuk melampiaskan amarah daripada untuk studi atau debat ilmiah.

Tahun 2004, facebook muncul bagai kecepatan cahaya. Naluri narsistik dan motivasi mulia aktualisasi diri bercampur aduk di dalamnya. Tak lama kemudian bermunculan applikasi youtube (2005), whatsapp (2009), instagram (2010), line (2011), telegram (2013), dll.

Teknologi digital, robotika dan kecerdasan buatan manusia semakin berkembang dan hadir di setiap bidang kehidupan kita. Yang dibutuhkan sekarang adalah sebuah paradigma baru, spiritualitas digital.

Manfred Spitzer (ahli syaraf Jerman), dalam bukunya Digitale Demenz: Wie wir uns und unsere Kinder um den Verstand bringen (2013) mengkritik teknologi digital karena berpotensi menurunkan daya otak dan tubuh manusia. Bagi anak-anak, teknologi digital melenyapkan aspek pengalaman kognitif yang lebih luas. Misalnya, mewarnai gambar di tablet sangat menarik dan hampir ajaib, tetapi lewat kuas, warna, dan pastel asli, lebih banyak lagi fungsi kontrol dan gerakan fisik yang diaktifkan. Untuk orang dewasa informasi yang melimpah dalam pembelajaran online menimbulkan kebingungan dalam berdistansi: antara sikap kritis dalam pemilihan materi, mencari sumber dan evaluasi antara apa yang bernilai dan apa yang tidak bernilai.

Jean-Michel Besnier (pakar teknologi Perancis) dalam L’homme simplifié (2012) mengatakan bahwa dengan teknologi digital manusia ‘disederhanakan’. Mesin atau robot, betapapun canggihnya berinteraksi dengan lingkungan, mereka tetap tidak dapat mengelola kompleksitas yang ada dalam realitas kita.

Media digital berusaha merangsang kita, meskipun itu sangat artifisial. Misalnya, saat halaman facebook terbuka kalimat pertama yang muncul adalah: “Apa yang Anda pikirkan?” Meskipun kadang-kadang, kita tidak selalu (sedang atau harus) memikirkan sesuatu. Kecenderungan yang sama terhadap penyederhanaan diekspresikan dalam permintaan evaluasi berbagai postingan dengan hanya menekan: ‘saya suka’ dan ‘saya tidak suka’. Ini mempersempit potensi kita sebagai manusia dalam menilai, mengafirmasi dan alasan di baliknya.

Spiritualitas teknologi

Masih bisakah kita menyimpulkan bahwa teknologi internet adalah simbol kebebasan manusia? Semua tampak paradoksal. Ikan yang tertangkap di dalam jaring yang besar tetap tidak merasa bebas. Sama seperti situasi kita saat ini. Tak ada di antara kita yang dapat mengklaim diri tidak berada dalam pusaran jaringan internet. Kita seolah terjebak dalam budaya baru yang disebut dengan kebebasan. Byung-Chul HAN (Psychopolitik, 2000) berkata kita sedang berada di jaman rezim dan jebakan psikopolitik digital.

Kita harus ingat bahwa manusia adalah produsen sekaligus produk teknologi. Melalui teknologi inilah kita dapat memahami kemanusiaan seperti apa yang sedang kita bangun dan ke arah mana kita akan melangkah. Spiritualitas teknologi adalah kebutuhan urgen jaman ini agar tidak mengulangi kegagalan seruan kecama “kematian Tuhan” Nietzsche (1844-1900). Inilah juga alasan yang melahirkan tokoh-tokoh Postmodern seperti Jacques Derrida (1930-2004) yang menekankan pentingnya merefleksikan cara teks dipikirkan dan dibaca.

Kemajuan teknologi bukanlah kekuatan yang dipaksakan sendiri, tetapi selalu hasil dari kelompok yang memutuskan untuk memaksakan diri. Ketimpangan besar ekonomi antar benua, kesejahteraan di sebuah negara tertentu selalu menciptakan kemiskinan di negara lain. Inilah sisi terburuk kapitalisme. Negara-negara terkaya dan paling kuat tidak mau mundur sedikit untuk membiarkan yang termiskin tumbuh. Yang terkuat dan paling berkuasa akan menggunakan teknologi untuk mengamankan hak istimewanya: teknologi subur di mana ada kekuasaan dan kekayaan.

Teknologi digital sebagai peluang

Bagaimana orang-orang muda merefleksikan diri atas jaman ini harus dimulai dan bercermin dari kerangka cara berfikir global dan perjalanan sejarah yang diuraikan di atas. Ini bukan hanya masalah pemahaman bahwa perangkat teknologi mengubah hubungan dan komunikasi kita; kita harus menyadari bahwa masyarakat yang sejahtera membuat hati nurani kita mati rasa dan membuat kita buta dan egois sampai kita kehilangan kemampuan untuk meninjau ulang gaya hidup kita.

Paus Fransiskus melihat budaya getir yang didominasi oleh teknologi ini sebagai bentuk kesedihan dan kesepian di mana banyak orang jatuh termasuk orang-orang muda. Pengikut Kristus harus membuat pilihan radikal: Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan… Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Mat 6:24).

Dalam kehidupan sebagai orang kristen, masih terdapat jarak antara seruan Injil dan kehidupan sehari-hari, ketika setiap elemen Gereja termasuk hierarki-nya jauh dari apa yang diminta oleh Paus Fransiskus: “menjadi gembala berbau domba”. Komunitas Kristen harus dapat bersaksi melalui praktik kehidupan bahwa “Kerajaan Allah” bukanlah isapan jempol dan dongeng pengantar tidur yang bagus, khususnya bagi orang-orang yang miskin dan tertindas, tetapi sebuah visi bahwa hidup adalah sebuah anugerah.

Di tengah hasrat manusia jaman ini pada kekayaan, kesuksesan, ketenaran dan kekuasaan, lantas bagaimana kita dapat menghayati nilai-nilai Kristiani tentang pelayanan, berbagi, amal, kesetiaan, pengorbanan, pemberian, pengiriman, dll. Maka, masalahnya memang bukan pada teknologi, tetapi budaya, sosial, agama dan politik yang kita bangun sendiri. Budaya konsumeris menjadikan orang narsis, menyerah pada situasi yang ada dan mengisi kekosongan hidup dengan obat-obatan, gadget, kosmetik, dll. Minimnya kedekatan relasi personal yang mendalam membuat orang mencari pertemanan virtual dan kurangnya prinsip hidup serta makna hidup membuat orang mencari pelarian pada hal-hal sepele.

Panggilan menjadi pengikut Kristus adalah sebuah pilihan. Karena itu, kita ditantang untuk membangun kembali lingkungan sosial budaya dan ekonomi tempat kita hidup saat ini. Hidup yang “biasa-biasa saja” itu berbahaya karena tawaran Yesus juga sangat radikal, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24).

Orang-orang kristen, secara khusus orang-orang muda, harus ahli dalam teknologi digital. Bahkan mereka harus memiliki keterampilan hacker, tetapi juga menguasai sejarah, budaya, politik, ekonomi, dan apa yang dibutuhkan untuk dapat merancang kehidupan sosial agar teknologi membantu pembangunan kebaikan bersama. Mereka harus melawan korupsi, melawan kejahatan terorganisir dan melawan segala bentuk pelecehan dan penganiayaan manusia. Mereka harus memiliki visi kebaikan lokal dan global, meyakini bahwa kapitalisme bisa dilawan karena membuat kepincangan dalam kesejahteraan orang secara lebih luas. Inilah seruan besar Laudato Si Paus Fransiskus (24 Mei 2015). Kita mempunyai hak hidup sejahtera di bumi ini dan bumi sendiri cukup untuk membahagiakan semua orang.

Semakin menjamurnya orang-orang muda yang tak lagi beriman kepada Tuhan dewasa ini, sesungguhnya ini adalah tuduhan yang dilayangkan langsung kepada mereka yang menjalankan iman Kristen itu sendiri. Semakin banyak orang muda meyakini bahwa Tuhan tidak diperlukan untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Bukankah ini juga tanggung jawab orang-orang kristen yang tidak mampu menunjukkan kesaksian perbedaan antara hidup beriman dan tidak? (bdk. Franco Garelli, Piccoli atei crescono, 2016).

Orang muda tetap akan menjadi garam dan terang dunia ketika berdisposisi secara tepat pada porsinya. Teknologi digital bukan sebuah masalah melainkan sebuah peluang ketika kata-kata Injil ini kita jadikan prinsip: Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Mat 6,21).

Rina Barus

Menikmati Hidup!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *