PRIBADI INKULTURATIF ITU PERGI
Obituari Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, oleh Pastor John Paul Saragih OFMCap
Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga telah wafat pada hari Sabtu, 7 November 2020. Saat itu aku sedang menata hati setelah kepergian bapakku sendiri, lima hari sebelumnya, yang tak bisa kuhadiri. Aku sedang di Roma dan bapak ada di Siantar. Situasi pandemi covid-19 menghambat langkah sebab tidak leluasa bepergian. Tetapi entah mengapa, hatiku berkata. Tulislah sesuatu tentang Mgr. Sinaga ! Aku tidak tahu mengapa dorongan ini muncul. Satu kisah kecil tiba-tiba saja teringat.
Tahun 2011 Mgr (baca Mgr Anicetus B. Sinaga) singgah di Pastoran St Fransiskus Assisi, Saribudolok, dari sebuah perjalanan ketika itu. Berbincang lalu makan di malam itu. Setelah makan dia pulang. Sambil memegang bahu kananku, ia berkata, “Unang mate ho da,” dengan gayanya yang khas. Artinya, jangan buru-buru meninggal ya. Aku tidak terkejut dengan ungkapan “aneh” yang tiba-tiba ini. “Tangianghon ma, Oppung,” jawab saya ketika itu. Artinya, doakan saya, Oppung. Kata-kata Mgr ini mungkin terkesan “aneh”, di luar konteks. Namun itulah karakternya, spontan dan mengejutkan.
Aku kenal Mgr dari buku-bukunya. Jika harus memilih satu kata yang merangkum gagasannya, aku memilih kata inkulturasi. Mgr getol mengembangkan ide inkulturasi. Ide yang digaungkan oleh Konsili Vatikan II. Bagaimana agar kekatolikan dan budaya lokal bukan dua entitas seperti rel kereta api, berjalan beriringan tetapi tidak bersentuhan. Bukan pula dua hal yang saling bertentangan. Tetapi menjadi sebuah entitas tak terpisahkan. Dan Mgr memfokuskan diri pada budaya Batak. Ia rindu agar umat Katolik Batak, 100% Katolik, 100% Batak. Mungkin, Mgr. sendiri adalah buah dari proses inkulturasi itu. Tetapi mengapa Mgr seolah jatuh cinta dengan tema inkulturasi?
Ketika aku mengetik “Mgr. Anicetus Sinaga” di mesin pencari google, tanpa sengaja, aku menemukan homili Paus Yohanes Paulus II saat tahbisan episkopat Mgr Sinaga bersama sepuluh yang lain. Tahbisan itu dirayakan di Basilika St. Petrus, pada Hari Raya Epifania 1981. Sri Paus, dalam homilinya, mengutip Lumen Gentium 24. Isinya tentang tugas missioner yang diemban para penerus Para Rasul, yakni mengajarkan Injil Tuhan Yesus Kristus kepada segenap bangsa dan segala ciptaan. Lebih lanjut, Sri Paus mengungkapkan dengan nada puitis refleksinya atas kisah Epifania: “Betapa besar iman para Majus! Betapa mereka yakin akan cahaya yang dinyalakan oleh Roh Kudus dalam hati mereka! Betapa mereka gigih mengikuti cahaya itu, mencari Mesias yang baru lahir. Hingga akhirnya mereka mencapai tujuan.” Aku membayangkan reaksi Mgr saat mendengar homili ini. Ia tentu ingat ayahnya, sang malim Batak, yang dalam spirit yang sama dengan para Majus, mencari cahaya sejati atas dorongan Roh Kudus. Ia tentu membayangkan Prefektur Apostolik Sibolga, yang naik status menjadi Keuskupan bersamaan dengan penunjukannya sebagai uskup pertama. Aku yakin, dua pesan inti dalam homili Bapa Paus itu semakin meneguhkannya mengembangkan tema yang dicintainya: inkulturasi.
Sebagai uskup, Mgr Sinaga sangat Katolik dan sangat Batak. Pastor Herman Nainggolan OFMCap menyematkan tiga titel menggambarkan sosok Mgr Sinaga: Teolog, antropolog, dan budayawan Batak. Mungkin perlu ditambahkan juga titel ini: Seorang Uskup Katolik.
Sedikit yang tahu, beliau tidak lahir dari keluarga Katolik. Ia menjadi Katolik saat usia remaja, ketika duduk di SMP Katolik Cinta Rakyat Jalan Sibolga, Pematangsiantar. Ia menjadi perintis jalan bagi ayahnya, Malim Sinaga. Sang ayah seorang malim ugamo Parmalim, julukan bagi imam agama tradisional Batak, Parmalim. Iman Katolik kemudian diterima sang ayah pada akhir hidupnya.
Tahun 2019, terbit sebuah buku otobiografi Mgr. Sinaga, Dari Imamat Parmalim ke Imamat Katolik. Membaca buku ini, aku dibawa membayangkan setiap peristiwa penting dalam hidup Mgr. Aku sangat menikmatinya. Diksi yang dipakai penuh nuansa dan sangat khas Mgr. Sinaga. Lugas, kaya akan kosa kata, dan indah dari tata bahasa.
Dari banyak kisah itu, ada bagian yang tak lekang dari ingatanku. Dilukiskan secara dramatis, bagaimana sang ayahnya meninggal di pangkuan Mgr. Saat itu, dia masih frater yang sedang studi Filsafat dan Teologi di Pematangsiantar. Tampaknya kenangan tentang kejadian itu ia refleksikan lebih dalam lagi.
Dalam salah satu pertemuan informal, tidak banyak orang, ia pernah berkisah. “Momen ketika bapak meninggal di pangkuanku, aku bayangkan diri seperti seorang imam Katolik yang sedang mengangkat sibori dan piala dalam Ekaristi, seraya menyampaikan kurban yang harum semerbak kepada Allah,” katanya.
Sebagai imam Parmalim, sang ayah mengakui bahwa imamat Katolik lebih unggul, khususnya hidup selibat. Aku yakin, penuturan sang ayahnya ini merupakan bentuk dukungan pada Bongsu remaja, nama MGR ini. Sebab saat itu Mgr sedang gundah gulana. Dia sedang berpikir, apakah melanjut jadi pastor, atau keluar lalu beralih menjadi militer, atau dokter. Dalam sebuah video, Mgr kemudian mengatakan sangat bangga karena telah memilih yang terbaik.
Membaca otobiografi ini, aku teringat Confessiones, karya St Agustinus dari Hippo. Confessiones, artinya “Pengakuan-pengakuan”. Ada kemiripan dalam cara bertutur. Lugas, pilihan kata-katanya indah. Mirip juga dalam skema yang mengikuti kronologi kehidupan, dari lahir hingga dewasa.
Aku cukup yakin, Mgr Sinaga memperoleh inspirasi dari Confessiones St. Agustinus tersebut. Otobiografi St. Agustinus, tertuang dalam Confessiones dengan 13 jilid, ditujukan bukan hanya sebagai undangan pertobatan, tetapi juga sebuah vademecum (buku panduan) pertobatan. Demikian aku memahami otobiografi Mgr. Pada dirinya ada sebuah kisah tentang proses peralihan. Ini tersirat dari judul yang dia pilih, Dari Imamat Parmalim ke Imamat Katolik. Partikel direktif, dari … ke… bukan menekankan perpindahan spasial tetapi peresapan, proses peralihan spiritualitas. Ini tentang tujuan hidupnya, yang harus dia kukuhkan kembali, yakni dengan tetap pada pilihan menjadi pastor, bukan menjadi yang lain. Proses “peresapan” ini terjadi dalam diri Mgr sendiri. Ia kemudian juga menjadi pribadi inkulturatif. Sebagai anak dari seorang malim Batak, ia memahami dengan baik kebatakan. Sebagai imam Katolik, ia paham dengan baik soal kekatolikan. Apakah Mgr gelisah dalam proses ini?
Kemungkinan besar, ya! Dia agaknya gelisah. Ada kata-kata St Agustinus sering ia kutip. Ini dia interpretasikan dan dia tarik untuk dirinya. “Inquietum est cor meum donec requiescat in pace“, gelisah hatiku (teks aslinya: hati kami) sebelum beristirahat dalam damai bersama Engkau”. Tetapi kegelisahan itu tampaknya telah menemukan cahaya terang. Cahaya yang membuat hidupnya riang gembira, yang membuat imannya teguh. Mgr. I. Suharyo merasakan aura ini dalam diri Mgr. Dalam pengantar otobiografi di atas, Mgr. Suharyo bertanya, “Peristiwa-peristiwa hidup seperti apakah yang membentuk Bapak Uskup Anicetus menjadi pribadi yang unggul dan matang secara rohani?” Aku menduga-duga, peristiwa dan keresahan itu membentang mulai dari saat kematian sang Ayah hingga mendapat peneguhan ketika mendengar homili Paus Yohanes Paulus II pada tahbisan episkopatnya. Mungkin! Motto episkopat yang dipilihnya merepresentasikan pengalaman hidupnya: Ad pascuam et aquas conducit me “Ia menuntunku ke padang rumput hijau dan ke sumber air”, motto yang terinspirasi dari Mazmur 23:2. Tampaknya Mgr. sangat yakin, Tuhan telah menuntunnya ke tempat yang tepat.
Ada hal lain yang aku suka dari Mgr. Cara berpikirnya sistematis. Ini sangat membantuku sebagai notulis dalam sidang Dewan Imam Keuskupan Agung Medan yang pernah kuikuti. Ia cukup setia menyampaikan apa yang ia persiapkan secara tertulis dalam sidang. Ia suka angka tiga, angka penting dalam budaya Batak. Umumnya, pokok-pokok yang ingin disampaikannya berjumlah tiga. Hal yang sama kala beliau berbicara secara spontan: “Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan”. Namun karena begitu luas dan kayanya pengetahuan beliau, setiap poin itu bisa beranak pinak. Hingga beberapa kali, ia lupa bahwa masih dua hal yang baru ia katakan atau sudah lebih dari tiga.
Hal lain lagi. Saat ia mendupai. Aku melihat gaya Mgr. yang anggun, khusuk. Ia berjalan tenang dengan wirug melayang layang, ke kiri ke kanan, ke atas ke bawa. Ahk, banyak keindahan dalam diri Mgr. Sinaga.
Tahun 2012, aku menerima tahbisan imamat dari tangan Mgr. Bagiku, ini momen paling mesra yang kurasakan dengan Mgr. Dalam hening, dia menumpangkan kedua telapak tangannya di kepalaku. Dia mengidungkan doa penahbisan imam dengan melodi pentatonik yang dia ciptakan sendiri. Dia kenakan pakaian imamat di badanku. Dia memegang erat tanganku dan mengurapi telapak tanganku. Dia memelukku dengan erat sebagai ungkapan selamat sambil membisikkan sepenggal Mazmur 110:4.
Akhirnya, selamat jalan Mgr. Anicetus Sinaga. Semoga dekapan tangan Mgr. Kornelius Sipayung, yang memberangkatkan engkau menghadap Bapa, menjadi lambang persembahan semerbak Ekaristi, sebagaimana engkau refleksikan kala engkau memberangkatkan ayah tercinta, dalam dekapanmu.
John Paul Saragih, OFM.Cap *Saat ini sedang melanjutkan studi di Roma