KELUARGA SEJAHTERA SEBAGAI FOKUS PASTORAL KAM 2020
Gagasan Sejahtera
Istilah ‘sejahtera’ tentunya bukan sesuatu yang asing bagi kita. Siapa saja mengharapkannya. Dari masa ke masa, istilah ini selalu diwacanakan oleh individu, masyarakat, institusi, ataupun negara. Bila kita menggunakan perspektif negara, maka sejahtera sering terkait dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membantu kelompok rentan yang tidak atau kurang punya akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain. Di Indonesia, kita menjumpai bentuk bantuan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti Rastra (Bantuan Sosial Beras Sejahtera), BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), BPJS, Keluarga Harapan, dan seterusnya. Bukan hanya Indonesia, berbagai negara di seluruh dunia juga memiliki kebijakan-kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, terutama yang dikategorikan sebagai marginal. Negara-negara Skandinavia seperti Denmark dan Norwegia dinilai sebagai negara yang paling berhasil mensejahterakan warganya. Selain itu, organisasi internasional seperti PBB dan ASEAN tak ketinggalan mewacanakan masyarakat global yang sejahtera dan berbahagia melalui berbagai agendanya.
Gereja Katolik juga memiliki keyakinan bahwa sejahtera adalah salah satu harapan dan tujuan kehidupan manusia. Ketika berbicara tentang kesejahteraan, Gereja biasanya merujuk pada bonum commune, kesejahteraan umum/bersama. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum adalah “…keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah” (Gaudium et Spes art. 26). Kesejahteraan umum adalah kondisi yang diciptakan dengan tujuan agar setiap orang dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan potensi sepenuhnya (bdk. Mater et Magistra art 65).
Pada audiensi umum (general audience) di Aula Paulus VI, Vatikan pada tanggal 21 Agustus tahun 2019, Paus Fransiskus mengatakan bahwa pandangan Kristiani tentang sejahtera bukan sekedar tertuang dalam kebijakan-kebijakan yang cenderung instrumental bahkan pragmatis, melainkan menjadi kondisi dasar manusia (human condition) atau sesuatu yang alamiah dalam diri seorang Kristiani. Ini memiliki arti bahwa setiap orang mestilah memiliki kesejahteraan dalam dirinya untuk menjadi lebih manusiawi. Dalam mengusahakan kesejahteraan, Paus Fransiskus merujuk pada kehidupan para pengikut Kristus, jemaat perdana yang terbentuk dari kerelaan untuk saling berbagi (salah satunya secara ekonomi) demi kesejahteraan bersama yang tentunya terbangun dari nilai-nilai iman Kristiani. Tentu kita ingat kisah Ananias dan Safira yang melakukan tindakan tidak jujur meskipun memiliki tujuan untuk hidup sejahtera. Hal itu menunjukkan lagi bahwa bagi seorang Kristen untuk menjadi sejahtera mestilah tetap mengutamakan nilai-nilai dan spiritualitas Kristiani sebagai pedoman pengembangan diri.
Bila sejahtera dalam kacamata Kristiani memiliki dimensi spiritualitas, maka bagaimanakah semestinya membangun keluarga Kristiani yang sejahtera? Tentu saja dalam hal ini, Gereja memiliki tanggung jawab membantu dan mendukung anggota-anggotanya menggapai kondisi sejahtera. Ketika Gereja berbicara tentang kesejahteraan, teristimewa tentang ekonomi, umat pada umumnya tertarik, karena menyangkut pergulatan hidup sehari-hari. Kita barangkali pernah mendengar komentar dari umat: “Surga itu masih jauh, kami harus berpikir dan berjuang untuk makan, minum, pakaian dan pendidikan di sini, sekarang ini!”. Ungkapan seperti itu kiranya bukan hendak mengatakan bahwa surga tidak perlu dipikirkan, tetapi mengungkapkan realitas dan perjuangan hidup manusia yang real, yakni agar dapat hidup dengan sejahtera. Yang akhirnya menjadi tantangan bagi umat Kristiani adalah bagaimana memaknai dan membangun kesejahteraan dalam kerangka iman dan spiritualitas Kristiani.
Keluarga Sejahtera sebagai Fokus Pastoral
Sinode KAM VI mencatat bahwa banyak keluarga Katolik berstatus ekonomi lemah atau tingkat ekonominya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga Katolik belum seluruhnya mencapai tingkat sejahtera. Masih ada keluarga yang berada pada tingkat keluarga prasejahtera, yakni keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan. Ungkapan “banyak keluarga katolik berstatus ekonomi lemah” hendak mengatakan pandangan secara umum. KAM belum mempunyai data yang menunjukkan secara akurat tingkat kesejahteraan ekonomi umat katolik di KAM variable-variabel tertentu. Maka Sinode VI mengusulkan perlunya dibentuk dan dikelola database tentang keadaan sosial ekonomi umat KAM. (Bdk. Laporan Akhir Sinode (LAS), no. 72) Data konkrit akan sangat membantu membuat program keluarga sejahtera yang tepat sasaran: berapa jumlah keluarga yang sejahtera, berapa jumlah keluarga yang masih pra sejahtera.
Status ekonomi lemah tersebut, menurut Sinode VI, disebabkan oleh, antara lain, kurang kreatif dan rendahnya daya saing keluarga-keluarga mencari dan menemukan alternatif yang baik dan benar untuk menambah penghasilan. Selain itu, situasi tersebut terjadi karena tidak ada atau buruknya manajemen keuangan di dalam keluarga. Dicatat juga bahwa motivasi dan etos kerja yang lemah menjadikan banyak keluarga tidak bisa keluar dari masalah ekonomi yang dialaminya. Masih banyak keluarga yang bekerja seadanya, bukan pekerja keras yang bersemangat. (Bdk. LAS, no. 68).
Bapa Uskup Agung Medan, melanjutkan implementasi hasil Sinode VI KAM dalam kaitan dengan visi misi dan nilai-nilai KAM, menetapkan Keluarga Sejahtera, sebagai Fokus Pastoral untuk tahun 2020, dengan tujuan membangun keluarga yang sejahtera. Ini merupakan upaya untuk menjawab keprihatian Sinode tersebut. Dengan Fokus Pastoral ini, seluruh umat di KAM diajak untuk memberi perhatian pada upaya-upaya membangun keluarga yang sejahtera.
Adapun Indikator Keberhasilan Fokus (IK) Pastoral Keluarga Sejahtera, tahun 2020 adalah sebagai berikut:
Kesatu: 100% Keluarga Katolik Memiliki Etos Kerja Kristiani yang Kuat.
Kedua: 100% Keluarga Katolik Mampu Memenuhi Kebutuhan Dasar.
Ketiga: 100% Keluarga Katolik Mampu Mengelola Keuangan.
Keempat: 100% Keluarga Katolik Tertib dalam Administrasi Gereja dan Sipil.
Kelima: 100% Keluarga Katolik Hidup Rukun dengan Pemeluk Agama Lain.
Kesejahteran pastilah menyangkut banyak aspek kehidupan. Fokus Pastoral Keluarga Sejahtera, secara umum boleh dikatakan lebih terarah dan memberi perhatian kepada aspek ekonomi, kendati juga memberi perhatian pada aspek lain seperti, hidup rukun dengan pemeluk agama lain (bdk IK – 5). Upaya membangun keluarga yang sejahtera, sebenarnya bukan hanya pada tahun ini. Sejak tahun pertama implementasi hasil Sinode VI Gereja KAM telah mengupayakan pembangunan keluarga yang sejahtera dalam berbagai aspek. Kita telah mengawalinya dengan dengan Fokus Pastoral Keluarga Berdoa. Dengan ini fokus tersebut hendak diwujudkan keluarga sejahtera yang mampu memenuhi kebutuhan dasar dalam bidang spiritual, yang menyangkut relasi dengan Tuhan. Pada tahun sesudahnya dengan Keluarga Rukun, hendak dibangun keluarga sejahtera dengan mengupayakan relasi yang serasi dan selaras dalam keluarga inti dan juga dengan keluarga besar. Kemudian dalam Keluarga Memasyarakat hendak dibangun juga keluarga sejahtera yang berelasi baik dengan masyarakat dan mampu memberi sumbangsih dalam hidup bermasyarakat. Tiap-tiap Fokus Pastoral saling mendukung satu dengan yang lain. Ada tahapan dan proses yang telah ditempuh dan sedang berlangsung dalam membangun keluarga yang sejahtera.
Indikator-indikator Fokus Pastoral Keluarga Sejahtera merupakan suasana yang diharapkan terjadi di setiap Keluarga Katolik di seluruh KAM. Apa yang perlu dibuat agar Keluarga Katolik Memiliki Etos Kerja Kristiani yang Kuat, Mampu Memenuhi Kebutuhan Dasar, Mampu Mengelola Keuangan, Tertib dalam Administrasi Gereja dan Sipil, Hidup Rukun dengan Pemeluk Agama Lain? Perlu upaya-upaya konkrit. Tim Program Pastoral KAM (TPP KAM) telah mengadakan sosialisasi Fokus Pastoral ini pertama sekali ke komisi-komisi KAM pada 10-12 September 2019 dan dilanjutkan dengan penyusunan program sesuai dengan kompetensi komisi masing-masing. Selanjutnya sosialisasi dilaksanakan ke paroki-paroki, Tarekat Hidup Bakti dan unit-unit pelayan di KAM (Pendidikan, kesehatan dll.) pada 14-17 Oktober 2019 dengan menawarkan program-program yang telah disusun oleh komisi-komisi KAM. Mereka (yang menerima sosialiasi) juga telah selesai menyusun program-program, sesuai dengan kondisi masing-masing untuk membangun keluarga yang sejahtera. Ada banyak program yang telah telah tersusun. Program-program yang disusun tampak mengutamakan upaya pemberdayaan, pembaharuan semangat dan prinsip hidup untuk menggapai kesejahteraan. Yang dibutuhkan sekarang adalah tindaklanjut dan eksekusi dari program tersebut.
Kesejahteraan Bersama
Dengan Fokus Pastoral Keluarga Sejahtera, KAM mengajak seluruh keluarga mengupayakan keterlibatan/kepedulian sosial untuk membantu peningkatan kesejahteraan bersama (bonum commune) (LAS, no. 75). Prinsip kesejahteraan bersama menegaskan bahwa kita semua bertanggung jawab seorang terhadap yang lain. Tanggung jawab tersebut mewajibkan kita semua bekerja membangun kondisi-kondisi yang menjamin agar setiap pribadi dan setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan potensi mereka. Yang sudah sejahtera memiliki tanggung jawab atas mereka yang belum sejahtera.
Gereja KAM tentu tidak menawarkan tips atau program-program pragmatis untuk menggapai keluarga sejahtera, tetapi lebih kepada program yang memberdayakan, yang mendidik, yang mengajak umat membangun sebuah kebiasan, spirit, yang diwarnai nilai-nilai Kristiani, yang menghantar kepada kesejahteraan. Agar Fokus Pastoral ini tidak hanya menjadi slogan yang enak didengar, maka program-program yang telah dirancang kiranya perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan didukung semua umat. Animasi-animasi, kotbah-kotbah dan pembicaraan-pembicaraan umat pun perlu diarahkan untuk membangun keluarga yang sejahtera.
RD Petrus Simarmata (Tim TPP Keuskupan Agung Medan)