JERUJI PERTOBATAN
Fr. Suhendro Afandi Purba, OFM Cap
Baru saja aku menyiram bunga anggrek violet ketika seorang bapak turun dari sepeda motornya. Langkahnya menyongsongku dengan gerak ramah, santun, dan beruntun. Kutundukkan sedikit kepala sambil menyambut tawaran berjabat tangan sambil membiarkan dia membuka perbincangan.
“Boleh saya berdoa di tempat ini?”
“Sangat boleh! Tempat ini memang khusus untuk ziarah dan selalu ramai dikunjungi.”
“Ohh, begitu. Bapak pekerja di tempat ini ya?” tanyanya ramah.
“Betul, saya seorang pastor sekaligus penanggung jawab Bukit Ziarah Nagahuta ini. Sudah sejak tiga tahun lalu.”
“Aduh, maaf, saya pikir…”
“Tak apa, mari silakan masuk saja. Hahaha. Semoga Bapak menikmati suasana di tempat ini,” timpalku sambil tertawa kecil. Aduh, memang tampangku sering dikira lebih cocok sebagai tukang kebun ketimbang direktur tempat ini. Pengakuan bapak tadi sungguh asli, jadi tak ada alasan menaruh reaksi negatif padanya.
Bapak itu segera memperbaiki posisi tas kecil yang disandangnya. Tampaknya dia sudah berumur, namun masih segar. Sekilas, wajah lelaki itu tidak asing. Mungkin kami pernah bertemu atau berkontak, tapi lupa di mana dan kapan persisnya. Maklumlah, para peziarah tempat doa kami ini selalu disesaki ribuan orang pertahun. Lelaki tadi memutar balik tubuhnya dan bergerak kembali menemuiku. Agak tergesa. Tatapannya lebih tepat jatuh di gelas mataku.
“Pastor, boleh saya berdoa dan meletakkan sesuatu di depan patung Maria di sebelah sana?” tanyanya sambil melebarkan tangan menunjuk sesuatu.
“Ya, silakan, silakan! Gua Maria itu memang diperuntukkan untuk berdoa. Bila punya intensi khusus, bisa juga ditaruh di kotak yang disediakan,” kataku menjelaskan.
“Terima kasih, Pastor!” Segera Bapak itu kembali melangkah pergi, hilang dari pandangan.
Suasana sore ini lumayan ramai. Mungkin karena sedang memasuki masa libur pertengahan tahun. Biasanya anak sekolah dari penjuru daerah akan bergiliran datang. Rumah retret sekaligus ziarah ini memang dibuka untuk umum. Hingga pkl.18.30, jumlah peziarah berangsur menyusut hingga berisi lengang. Tersisa satu manusia. Bapak tadi masih saja belum beranjak dari tempatnya. Dia sudah berdiam di situ sekitar tiga jam. Ah, mungkinkah ada lelaki sesaleh ini, tahan berdoa selama tiga jam tanpa henti? Ingin kutegur, hanya segan karena masih khusyuk. Barangkali juga ketiduran.
Saat hendak menutup pintu gerbang, seseorang menepuk bahuku dan menebarkan senyum.
“Terima kasih, Pastor,” sembari tersenyum tipis. Matanya berembun, sedikit basah.
Ingin kutanyakan perihal kabut yang menyelimuti bola matanya, namun kuurungkan. Terlalu dini melepas pertanyaan sedalam itu pada orang yang baru beberapa jam lalu kulihat.
“Ehh, dari tadi kita belum kenal,” sebutku sambil mengulurkan tangan. “Saya Pastor Hermas.”
“Hermas? Hermas Markus? Lahh, saya sudah duga dari tadi. Tadi saya cari-cari dalam hati orang yang mirip dengan Pastor. Ehh, ternyata benar.”
“Lho, kok sama. Saya juga pikir begitu, seperti tidak asing lagi wajahnya.”
“Lohh, Pastor juga lupa? Ini aku, Liem. Lengkapnya, Liem Chong Yew.”
“Hahh…” Aku tercekat. “Jalan Asahan, Ruang 17, lorong B?”
“Betul! Hahaha.” Bapak itu kemudian tak dapat menyembunyikan betapa berbinarnya matanya yang tadi berkaca-kaca. Sungguh mukjizat.
Tiba-tiba tawa kami pecah bercampur haru. Tak meyangka momen ini menjadi sejarah yang terulang dan menawarkan ceritanya kembali yang sungguh mengesankan. Kiranya Tuhan yang menjadi dalang di balik semua ini. Laki-laki di depanku sekarang sudah terang kukenal, sangat terang, hingga wajahnya kini bersinar, tak beda jauh dengan sinarnya di masa lalu.
***
“Kau seorang kristen?”
“Hmm, ya, boleh dikatakan begitu,” jawabku sekenanya. Aku tergagap saat pertanyaan sentimen itu pertama-tama dilayangkan padaku. Saat itu aku sedang menjalani masa kerasulan beberapa minggu di penjara sebagai bagian dari program biara. Ini juga sekaligus panggung untuk membumikan spiritualitas kekapusinan yang dikenal dekat dengan masyarakat kecil dan terasing.
“Ohh, maaf, membuatmu kurang nyaman. Aku melihat jubah aneh tapi penuh wibawa.”
“Aku seorang biarawan Katolik. Panggil saja aku Frater.
“Ohh, Frater namanya siapa?’’
“Saya Frater Hermas. Bapak juga seorang Kristen?”
Lelaki itu menggeleng. “Aku penganut agama mistik, mencintai patung-patung tradis Cina: Toa Pek Kong, Sam Tai Kong, Kuan Im. Porselen-porselen dewa-dewi lain juga kami sembah di altar tertentu. Para tetua kami pandai membaca mantera memanggil arwah para dewa dan leluhur. Sejak kecil aku sudah terbiasa beribadat di klenteng-klenteng. Kau pasti sudah paham penjelasanku.”
Aku mengangguk. Kutatapi jendela kecil besi di bagian atas belakang. Udara yang melewatinya sedikit. Melihatnya saja membuatku sesak. Langit-langit selnya penuh noda, sangat kotor dan bau. Cukup membuat perut mual. Lantai semennya kasar dan tidak nyaman bila diinjak. Tidak ada ranjang, hanya lantai kasar yang dilapisi pandan tipis dan koran kumal.
***
Percakapan itu menjadi pembuka pertemuan kami dengan Liem, seorang bapak yang kemudian kutahu dipenjara karena kasus pembunuhan. Dia tega membunuh seseorang yang berhutang padanya sekitar tiga puluhan juta. Emosinya membukit dan meledak saat utang itu tak kunjung memiliki tanda-tanda untuk dilunasi. Oleh pengadilan, dia dijatuhi hukuman seumur hidup.
Untunglah, peristiwa dalam jeruji menjadi tolak peralihan hidupnya. Saat aku bertemu dengannya, dia tertarik dengan Kitab Suci yang kubawa. Liem merasa tertarik dan mencoba ikut membacanya. Tak sampai satu bulan Kitab Kejadian hingga Wahyu habis dia baca. Paling tertarik dia dengan kisah orang Israel yang menyembah Baal hingga pembuangan ke Babel untuk mendapat pemurnian sebagai bangsa terpilih.
“Aku pikir keluargamu akan bangga dengan perubahan yang Bapak alami ini,” kataku saat kami berdua bekerja sama membersihkan ruangan penjara yang atapnya sedang direhap.
Cepat Liem tersenyum sinis, menunda untuk menjelaskan.
“Aku tak punya keluarga.”
“Betulkah? Bapak belum menikah? Belum punya istri atau barangkali anak?” tanyaku beruntun.
“Selama aku di penjara, tak seorang pun melawat aku. Keluargaku sunguh lupa. Bahkan kabar mereka yang terakhir sangat menyakitkan. Salah seorang keponakanku datang sebentar tanpa bertemu, menitip kabar kalau ibuku sudah meninggal. Meski ibuku sudah lanjut usia, aku tetap terpukul.”
“Mengapa Bapak tak berusaha untuk datang melihatnya terakhir kali?”
“Aku sudah meminta surat kematian ibuku sebagai salah satu syarat untuk bisa keluar dari penjara. Tapi tak satupun keluarga mengindahkan keinginanku.”
“Kenapa bisa?”
“Itu yang membuatku menaruh curiga soal kematian ibuku. Nuraniku katakan mereka telah mengatur skenario tak adil. Mereka pasti bukan sedang berkabung menangisi kepergian ibu, namun sedang ribut memperebutkan saham yang dimiliki ibu. Kepedihanku jadi berujung sakit hati.”
Aku tertegun mendengarkan. Tapi dia tidak butuh waktu lama untuk melanjutkan cerita.
“Penjara membuatku kehilangan kesempatan bertemu ibuku. Tapi aku bersyukur, penjara menjadi awal mengenal sosok Ibu Maria yang begitu kukagumi tertera dalam Kitab Suci.”
“Bunda Maria? Bunda orang Kristen?”
“Aku banyak belajar arti ketabahan walau mungkin ruang jeruji ini menjadi dunia terakhirku.” Matanya sedikit berbinar. Sejak itu aku tahu laku tapanya tiap malam, diam-diam merapal devosi rosario, suatu biji mata ketabahan. Aku pun mulai ikut dan berdoa bersama. Sungguh damai kurasakan bersama saudara ini. Aku sangat beruntung pernah bersama tinggal di bui yang dihuni oleh Pak Liem.
Saat aku akan menyelesaikan masa kerasulan, dia hanya saling berpesan singkat.
“Terima kasih atas kehadiranmu, Frater. Saya memperoleh harapan baru untuk terus mensyukuri hidup. Jubah Kapusin Frater ikut menambah semangatku untuk mempersembahkan diri pada Tuhan yang Mahabaik. Bila kelak jadi Frater ditahbiskan dan menjadi pastor, doakan aku saat merayakan misa agar jiwaku semakin tenteram.’’ Aku mengangguk setuju, menyadari betapa dalam iman lelaki ini. Bincang terakhir kami di pintu jeruji berisi harapan semoga masih punya kesempatan bertemu lagi. Dia mengangguk optimistis, tiada keraguan.
***
Pertemuan sore ini adalah mukzijat. Sungguh pertemuan yang di luar dugaan dan tak terpikirkan sebelumnya. Sosoknya banyak berubah, terutama soal kerapian dan sikap wibawa. Hanya satu pertanyaan mengganjal terus menyelimutiku sejak tadi. Pertemuan kami serasa ganjil. Masih persis kuingat hukuman seumur hidup itu. Perbincangan ini terjadi setelah kami terakhir kali bertemu dua belas tahun lalu. Mengapa bisa bebas dari pintu penjara secepat ini?
Ingin kutanyakan segera, namun bibirku seperti terkunci setelah kulihat mimik patung Bunda Maria yang sedang tersenyum di seberang kami. Devosinya pasti sedang berbuah.