Goresan Kecil Tentang Warna-Warni Hidupku
Malam itu tampak sepi, udara dingin menusuk tulang, serasa otot dan kulit tidak ada lagi. Hanya seekor anak burung dari sekian burung yang berani terbang dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Dia tampak mencari perlindungan ditengah derasnya hujan yang kini tinggal gerimis kecil. Si burung yang malang, demikian aku menyebutnya. Mungkin dia juga memiliki rentetan kisah yang mirip denganku dalam menghadapi badai kehidupan ini. Bayang-bayang memori masa kecilku ketika aku belum menginjak Sekolah Dasar, muncul tanpa diundang tiap kali aku melihat hujan deras seperti malam ini.
“Byuuuurrr”, angin tiba-tiba bertiup menggoyangkan pohon mangga tua, tempat si burung malang itu berlindung. Bulu romaku berdiri rapi, lalu kuelus lembut kulit hitamku untuk memberi ketenangan pada kedua lenganku. Kuyakinkan diriku bahwa ini adalah kehendak Yang Kuasa kepada diri ini. Sebenarnya aku juga tidak tega melihat si burung malang yang sudah basah kuyub itu terus mencari tempat yang lebih nyaman. Entah karena apa aku masih ingin tetap tinggal di tengah suasana malam yang dingin ini. Mungkinkah suasana ini mengingatkanku pada keluargaku? Lalu apakah kedua orangtuaku saat ini berada di sisi kanan dan kiriku?, apakah saudara saudariku juga datang menghiburku?, demikian aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan konyol pada diriku yang terluka oleh pengalaman-pengalaman pahit ini. Perasaan bingung dan keinginan bertahan di teras panti ini campur aduk dalam hatiku.
Memori pada dini hari itu muncul lagi ibarat film bioskop kesayanganku. Aku tahu si hujan deras ini telah memancing emosiku hingga muncul ke permukaan. Ketika itu, ibu dan kakak perempuanku yang paling besar sedang sibuk dengan masakannya. Maklumlah, pukul 06:00 WIB, kakak-kakakkku harus sudah berangkat ke sekolah karena jarak sekolah dan rumah kami sangat jauh. Dan kedua orangtuaku yang setiap hari bekerja membalik tanah harus cepat berangkat ke ladang, sebelum sang mentari memancarkan panasnya sampai ke permukaan bumi. Sementara aku dan seorang adikku sudah bagian tetap menjaga gawang alias tinggal di rumah setiap hari. Sebenarnya, aku tidak ikhlas menerima pembagian jatah ini. Bagiku, lebih seru menjadi pemain yang ikut membantu ke ladang daripada menjadi si penjaga gawang, yang menjenuhkan. Maka dini hari sebelum sang surya menampakkan diri, keluarga kami sudah bergegas dari hangatnya selimut dan mimpi indah yang merayu kelopak mata ini untuk tetap tertutup.
Saat itu, aku, ayahku dan adikku masih terlelap dalam tidur. Ketika ibu dan kakakku ini sedang memasak, tiba-tiba ombak besar datang menerjang rumah kami. Kami terkejut dan panik tak karuan. Situasi pagi itu disertai dengan hujan deras dan tiupan angin kencang. Dinginnya dan munculnya air laut dengan derasnya membawaku larut dalam tangis dan ketakutan. Air laut yang selama ini sahabat kami, tempat kami berenang di siang hari bersama adikku tercinta, kini telah memasuki rumah kami dengan cara yang menakutkan. Dia mulai masuk melalui celah-celah rumah kami yang tak sanggup lagi menahan kuatnya terjangan air laut. Dinding rumah kami yaitu papan tua yang disampingku pun ikut terlepas dari kayu penyangganya. Apakah aku akan meninggalkan dunia fana ini bersama dengan air laut sahabatku? Ataukah sebaliknya, aku akan diselamatkan olehnya? Aku tidak kuat lagi. Kedua lenganku memeluk erat sisi ban hijau yang kebetulan terapung di depanku. Si ban hijau yang tiap hari menjadi teman setiaku saat berenang di laut, datang menemuiku. Mungkin dia mendengarkan hatiku berteriak minta tolong. Saat itu tak ada perhatian untukku bahkan tangisku yang sudah berubah menjadi jeritan taka da gunanya. Karena memang kami semua terpencar dan mereka semua hilang dibawa ombak besar dini hari itu. Tak hanya keluargaku saja yang dimakan oleh tsunami itu tetapi juga orang-orang sekecamatan kami.
Sesekali si burung malang yang tak jauh dari depanku membuka mulut mungilnya, “Keok.. keok..”, mungkin karena tidak sanggup lagi bersiul seperti biasanya.Tenggorokannya sudah lelah. Sepertinya air hujan yang menetes dari tiap helai daun mangga tua itu bukan lagi memuaskan dahaganya tetapi justru membawa kesedihan padanya. Mungkinkah induknya akan datang menemuinya? Mungkinkah sesuatu yang baik akan datang? Apakah Tuhan Allah itu memang ada? Demikian aku sering bertanya seolah tak beriman. Kepahitan hidup tanpa keluarga sudah menjadi santapan bagiku siang dan malam. Kadang aku menuntut kepada Yang Kuasa dimanakah keadilan itu? Bagaimanakah rasanya? Bagaimana bentuk dan warnanya? Kedua kelopak mataku buta akan itu. Aku ingin sekali mencicipi kebahagiaan bersama keluargaku seperti dulu.
Tinggal di panti asuhan ini adalah jalan terbaik dari sekian banyak jalan yang telah kulalui. Dari setiap simpang yang pernah kusinggahi. Perjalanan hidup menjadi bola yang dioper kuterima dan menjadi pengalaman sakit yang menambah luka batinku, mulai dari rumah keluarga yang satu ke rumah keluarga yang lain. Disana aku mendapatkan perlakuan yang kurang pantas sebagai anak kecil, hingga aku sendiri merasa tidak nyaman tinggal dengan mereka. Masih dua minggu tinggal di panti, terasa rumah ini seperti pohon mangga lebat yang nyaman bagi si burung malang berlindung dari dingin dan pedihnya kehidupan. Yang tak tahu kapan gula putih bersih itu bercampur dengan pahitnya kopi kehidupan ini, hingga terasa hidup ini nikmat seperti kopi hangat di pagi hari. Ini adalah goresan kecil TENTANG warna-warni hidupku.
Oleh: Sr. Seraphine KYM
* cerpen ini sebelumnya telah dimuat di majalah Menjemaat edisi Januari 2020